Pangkat kehormatanDalam sistem kemiliteran Indonesia, pangkat kehormatan merupakan satu dari sejumlah sistem kepangkatan khusus. Pada saat ini, dasar hukum pangkat kehormatan sudah tidak ada lagi setelah klausul mengenai hal tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1959 oleh Presiden Soekarno dihapuskan oleh penggantinya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 oleh Presiden Soeharto. Meski demikian, pangkat ini masih diberikan oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini, dengan Agus Andrianto sebagai penerima pangkat kehormatan terbaru pada tanggal 5 November 2024. Dasar hukumPeraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1959Regulasi mengenai pangkat kehormatan pertama kali ditetapkan dalam Bab IV Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1959 oleh Presiden Soekarno, yang ditetapkan pada tanggal 4 Juni 1959. Berdasarkan peraturan ini, pangkat kehormatan "diberikan kepada warga-negara Indonesia bukan militer sukarela atau militer wajib sebagai suatu penghargaan dari jasa-jasa atau bantuan-bantuan yang ia sumbangkan, sehingga membawa kemajuan atau memberikan keuntungan bagi angkatan Perang keseluruhannya". Pangkat kehormatan ini diberikan oleh Presiden Indonesia dengan melibatkan Menteri serta Kepala Staf, dan pangkat yang diberikan berkisar mulai dari mayor (perwira menengah) hingga jenderal penuh. Berbeda dengan pangkat khusus lainnya, pangkat ini tidak menimbulkan adanya kenaikan gaji, dan pangkat ini sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Presiden. Pangkat ini dapat diberikan kepada warga negara Indonesia non-militer dan warga negara asing.[1] Surat Keputusan Men/Pangad tanggal 31 Maret 1966Regulasi mengenai pangkat kehormatan dalam angkatan darat diatur lebih lanjut oleh Jenderal Soeharto dalam Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat Nomor KEP-1010b/9/1966 pada tanggal 31 Maret 1966. Dalam peraturan tersebut, pangkat kehormatan dapat diberikan kepada anggota militer yang telah pensiun[2] atau meninggal.[3] Pangkat kehormatan diberikan dengan sejumlah syarat, yakni telah berdinas selama delapan tahun, tidak pernah terlibat dalam Gerakan 30 September, tidak pernah dipidana, dan terus menunjukkan prestasi dan "kegiatan positif" lainnya setelah pensiun dari kemiliteran. Berbeda dengan peraturan pemerintah yang telah dikeluarkan sebelumnya, pangkat kehormatan tidak hanya dibatasi pada tingkat mayor dan dapat diberikan hingga tingkat pangkat terendah (mulai dari prajurit satu).[4] Pangkat kehormatan dapat diusulkan setelah melalui penelitian oleh unit ataupun pimpinan militer dari yang diajukan. Usulan ini kemudian diteruskan kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat melalui asisten personel Menteri/Panglima Angkatan Darat. Usulan ini kemudian dibahas melalui rapat dewan jabatan dan kepangkatan tinggi (untuk perwira tinggi), dewan jabatan dan kepangkatan (untuk kolonel), dan Dewan Pertimbangan Penganugerahan Tanda Jasa dan Penghargaan Negara (untuk pangkat perwira menengah hingga ke bawah). Pangkat ini hanya bisa diberikan satu kali[5] dan diberikan setiap peringatan hari ABRI pada 5 Oktober atau hari tertentu lainnya.[6] Pemegang pangkat kehormatan berhak mencantumkan pangkatnya dalam namanya dengan tambahan (HOR) dan diberikan satu stel pakaian militer lengkap dengan pangkat kehormatannya.[7] Pangkat dan seragam dapat digunakan hanya pada hari-hari tertentu saja, seperti saat menyampaikan laporan kepada pejabat yang berwenang dan pada saat upacara resmi.[8] Pencabutan peraturanPeraturan mengenai pangkat kehormatan dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1990 oleh Presiden Soeharto, yang ditetapkan pada tanggal 11 Maret 1990. Dalam penjelasan peraturan pemerintah ini, pangkat kehormatan dihapuskan karena pangkat kehormatan hanya berupa penghargaan dan tidak membawa dampak apapun dalam kemiliteran. Peraturan ini tetap mengizinkan pemegang pangkat kehormatan untuk tetap memegangnya, namun menyarankan agar penghargaan dalam bentuk selain pangkat kehormatan diberikan kepada warga negara yang berjasa kepada militer.[9] Undang-undang yang mengatur mengenai kepangkatan militer saat ini, yakni Undang-Undang No. 34 tahun 2004, tidak menyebutkan adanya pangkat kehormatan.[10][11] Meski secara hukum pangkat kehormatan sudah dihapus, dalam prakteknya pangkat kehormatan masih terus dianugerahkan. Pangkat kehormatan umumnya diberikan kepada perwira tinggi yang sudah pensiun namun menduduki jabatan yang biasanya dipegang oleh pemegang pangkat yang lebih tinggi.[12][13] KontroversiJenderal kehormatan A.M. Hendropriyono dan Hari Sabarno
Pada bulan September 2004, Wakil Presiden Hamzah Haz melalui sekretarisnya, Prijono Tjiptoherijanto, mengusulkan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menaikkan pangkat dari Hari Sabarno. Hari Sabarno sebelumnya menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, namun diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono yang mencalonkan diri sebagai presiden. Dalam usulan tersebut, pertimbangan utama dari pangkat jenderal kepada Hari Sabarno adalah agar tugas Sabarno sebagai menteri koordinator dapat berjalan lebih efektif.[14] Surat usulan oleh Prijono tersebut dikirimkan juga kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia Endriartono Sutarto untuk diproses, namun Endriartono menolak memberikan otorisasi dikarenakan dasar hukum dari kenaikan pangkat tersebut sudah dicabut. Meski demikian, surat balasan penolakan Endriartono tidak pernah dijawab oleh Sekretariat Negara. Secara mendadak, pada tanggal 4 Oktober 2004 Megawati mengeluarkan keputusan presiden yang menaikkan pangkat Hari Sabarno sekaligus Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono menjadi jenderal kehormatan.[14] Kenaikan pangkat tersebut mengejutkan Endriartono, dan Endriartono segera bertemu dengan Megawati untuk membahas mengenai kenaikan pangkat tersebut. Endriartono mempertanyakan dasar hukum keputusan tersebut, yang direspons dengan "suara melengking" oleh Presiden Megawati. Endriartono kemudian meninggalkan pertemuannya dengan Megawati.[15] Setelah pangkat tersebut diberikan, Hari Sabarno dan Hendropriyono mengakui bahwa mereka tidak mengetahui bahwa pangkat tersebut tidak diberikan dengan izin dari Markas Besar TNI. Hari Sabarno menyatakan akan menghadap Endriartono, sedangkan Hendropriyono menganggapnya sebagai hak prerogratif presiden.[16][14] Pengangkatan Hari dan Hendropriyono menjadi jenderal kehormatan menimbulkan kontroversi di kalangan militer. Beberapa saat setelah pertemuannya dengan Megawati, pada tanggal 24 September Endriartono mengajukan pengunduran dirinya dari Panglima TNI. Meski Endriartono secara resmi mengajukan pensiun karena usianya sudah melewati batas umur, sejumlah pengamat militer menganggap bahwa pengunduran dirinya dikaitkan dengan pemberian pangkat kehormatan.[14] Mantan Kepala Staf Umum ABRI Soeyono menganggap bahwa kenaikan pangkat kehormatan harus dihapuskan karena berdampak negatif terhadap anggota militer lainnya yang bertempur di medan perang dan akan memperbanyak jumlah jenderal yang tidak profesional.[17] Jenderal kehormatan Prabowo SubiantoPada tanggal 27 Februari 2024, Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto dikabarkan akan menerima pangkat jenderal kehormatan. Menurut juru bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, pemberian pangkat tersebut didasarkan atas "dedikasi dan kontribusi Pak Prabowo selama ini di dunia militer dan pertahanan".[18] Penyerahan pangkat tersebut dilaksanakan keesokan harinya, pada tanggal 28 Februari dalam Rapat Pimpinan TNI di Markas Besar TNI.[19] Pemberian pangkat kehormatan Prabowo tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak, terutama aktivis hak asasi manusia. Direktur Imparsial Gufron Mabruri menganggap bahwa pemberian pangkat kehormatan tersebut merupakan keanehan karena Prabowo diberhentikan dari dinas militer tetap karena dugaan keterlibatannya dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi pada 1997 sampai 1998. Selain itu, Prabowo juga ditetapkan sebagai pelanggar HAM berat dalam kasus penculikan dan penghilangan paksa oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.[20] Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, yang mewaspadai adanya upaya impunitas maupun pencucian kontroversi masa lalu melalui pemberian pangkat kehormatan, dan oleh Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, yang menyatakan bahwa pemberian pangkat kehormatan bagi Prabowo tidak memiliki urgensi apapun.[21] Anggota DPR TB Hasanuddin menganggap bahwa pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo tidak sah karena ketiadaan undang-undang yang mengatur mengenai pangkat kehormatan.[11] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan bahwa penganugerahan pangkat kehormatan bagi Prabowo menandai "kematian kehormatan tentara".[22] Terkait dengan pemecatan Prabowo dari dinas militer, Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal R. Nugraha Gumilar menyatakan bahwa Prabowo tidak pernah dipecat dan surat keputusan yang memberhentikannya pada tahun 1998 menggunakan diksi "diberhentikan dengan hormat dan mendapatkan hak pensiun".[23] Hal senada disampaikan oleh Selamat Ginting, meski ia mengakui bahwa pemberian pangkat kehormatan tidak bisa dilepaskan dari politik maupun relasi antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo.[24] Pemegang pangkat kehormatanKasus khusus
Pemegang pangkat kehormatan lainnyaDaftar ini disusun berdasarkan urutan kepangkatan dan tanggal pemberian pangkat.
Referensi
|