Krisis energi global 2021–2022 adalah gangguan atau kekurangan pada penyediaan pasokan sumber daya energi. Kondisi ini diawali dari ketidakcukupan persediaan[1] dan kenaikan harga bahan bakar yang terjadi setelah pandemi Covid-19 dan diperburuk oleh invasi Rusia terhadap Ukraina pada Februari 2022.[2] Abnormalitas iklim akibat pemanasan global juga menjadi mata rantai dari krisis energi global ini. Cuaca dingin ataupun panas yang ekstrem menyebabkan masalah pada beberapa sumber energi terbarukan.
Krisis energi global diikuti oleh krisis pangan yang mengancam jutaan orang di beberapa negara. Sulitnya mendapatkan gas alam sebagai dampak invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan transisi energi. Beberapa negara di Eropa terpaksa mengaktifkan kembali pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil mereka.
Penyebab
Pandemi Covid-19
Mata rantai pertama terjadinya krisis energi global 2021-2022 adalah pandemi Covid-19. Karantina wilayah dan pembatasan perjalanan menyebabkan penurunan aktivitas industri dan ekonomi yang berdampak pada harga bahan bakar di pasar dunia. Laporan awal menunjukkan penurunan ekonomi global sebesar 6% di tahun 2020.[3]
Pada tahun 2020, penurunan aktivitas industri dan kapasitas ekonomi serta diberlakukannya karantina wilayah di berbagai negara menyebabkan penurunan investasi di bidang energi. Tercatat penurunan secara umum sebesar 20% jika dibandingkan tahun 2019, dengan penurunan di Tiongkok sebesar 12%, Amerika Serikat 25%, dan Uni Eropa 17%. Masih di tahun yang sama, terjadi juga penurunan investasi di sektor industri minyak dan gas hingga 32,4% jika dibandingkan tahun 2019. Kondisi ini disebabkan oleh perlambatan ekonomi, penurunan aktivitas industri dan pendapatan akibat rendahnya harga jual. Investasi sektor listrik juga turun sebesar 10.4% dibandingkan tahun 2019 akibat karantina wilayah.[4]
Penurunan investasi di sektor industri dan sektor terkait, menyebabkan penurunan harga minyak di sekitar bulan Februari hingga Maret 2020 akibat menurunnya aktivitas transportasi dan terbatasnya cadangan di negara-negara penghasil minyak.[5] Di Jerman, harga listrik selama masa karantina wilayah juga mengalami penurunan akibat menurunnya permintaan sehubungan ditutupnya berbagai sentra bisnis dan industri. Selama masa pandemi, harga listrik rata-rata di Jerman adalah 17,60 euro/Mwh. Di periode yang sama harga listrik adalah 29,95 euro/Mwh (tahun 2017), 34,69 euro/Mwh (tahun 2018), dan 37,37 euro/Mwh (tahun 2019).[6] Penelitian analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Zonghan Li dan kawan-kawan memperkirakan terdapat sekitar 1,62% penurunan konsumsi listrik di Jerman dan lima negara bagian Amerika Serikat (California, Texas, Florida, New York, dan Tennessee) akibat pandemi Covid-19.[7] Negara Eropa, Afrika, Amerika Utara, Amerika selatan, dan Oseania (Australia, Melanesia, Mikronesia, Polinesia) juga mengalami fluktuasi harga minyak yang signifikan hanya dalam kurun waktu 3 bulan di kisaran 11-39%.[8]
Pembatasan mobilisasi akibat pandemi di seluruh dunia menyebabkan penurunan angka penjualan kendaraan bermotor roda empat. Badan Energi Internasional (BEI) mencatat penurunan ini mencapai angka 50-80% di India, Amerika Serikat, dan Tiongkok.[9] Menyusul diumumkannya Covid-19 sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada bulan Maret 2020, harga karbon di Uni Eropa mengalami penurunan hingga 20-30%.[10] Pandemi juga memengaruhi sektor energi terbarukan dengan diberhentikannya beberapa turbin angin utama untuk usaha pertanian.[11] Untuk pembangkit listrik tenaga surya, di Amerika Serikat terdapat penurunan pemasangan perangkat yang sebelumnya 129,5 gigawatt berkurang hingga 106,4 gigawatt (turun sebesar 18%). Hal ini karena beberapa perangkat berasal dari Asia.[12] Menurut Fatih Birol, Direktur Eksekutif BEI , insentif dari pemerintah tidak dapat berbuat banyak terhadap kondisi sektor energi dan listrik karena lebih difokuskan untuk mengatasi pandemi dan segala dampaknya.[13]
Perang Rusia-Ukraina
Rusia merupakan pengekspor bahan bakar fosil terbesar di dunia. Untuk gas alam, Rusia menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat. Namun, perusahaan yang menghasilkan gas alam terbesar adalah Gazprom milik Rusia.[14] Selain itu, Rusia juga merupakan negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia. Dengan total cadangan 38 triliun meter kubik atau sekitar 19% dari keseluruhan cadangan dunia, Rusia memiliki peran yang sangat vital. Hal ini karena gas alam merupakan sepertiga dari total kebutuhan energi di seluruh dunia.[15]
Invasi Rusia ke Ukraina membuat Uni Eropa menetapkan sanksi perdagangan terhadap Rusia. Salah satunya adalah larangan transportasi via laut untuk ekspor minyak mentah dan produk minyak bumi dari Rusia ke negara ketiga.[16] Rusia merespons sanksi ini dengan menghentikan gas alamnya ke Eropa dengan menutup aliran pipa.[17]
Abnormalitas iklim terhadap energi yang terbarukan
Awal tahun 2021 adalah musim dingin terberat dalam kurun waktu 30 tahun terakhir di Texas. Kondisi ini menyebabkan turbin angin di negara bagian tersebut membeku dan tidak berfungsi sehingga pasokan listrik ke jutaan rumah terputus. Juru bicara American Clean Power Association, Samuel Brock, menyatakan bahwa ada alat yang digunakan pada turbin-turbin di daerah dengan suhu yang lebih rendah agar turbin tetap bisa beroperasi. Namun, alat tersebut tidak dipasang di turbin yang beroperasi di daerah dengan temperatur yang lebih hangat, seperti yang terjadi di Texas. Apalagi Texas merupakan negara bagian ketiga terpanas di Amerika Serikat.[18]
Salju yang mencair di Pegunungan Himalaya mengancam pembangunan dan konstruksi sekitar 650 proyek pembangkit tenaga air. Menurut Dr. Dongfeng Li, dari Departemen Geografi Universitas Singapura, bahaya yang timbul ini akibat pemanasan global ini berupa banjir semburan danau gletser.[19] Pada bulan Februari 2021, longsoran batu es meluluhlantakkan dua pembangkit listrik tenaga air di Distrik Chamoli, Uttarakhand, India. Hal yang sama sebelumnya juga menghancurkan proyek tenaga air Bhotekoshi di Nepal pada bulan Juli 2016.[20]
Menurut Jeff Opperman, seorang peneliti air tawar dari Dana Dunia untuk Alam atau WWF, proyek tenaga air menghadapi tantangan akibat perubahan iklim. Bencana banjir menyebabkan kerusakan dan bencana kekeringan menyebabkan penurunan kapasitas untuk pembangkit listrik. Penelitian yang dilakukan oleh Opperman menyebutkan bahwa pada tahun 2050 akan terdapat sekitar 60% pembangkit listrik tenaga air yang terancam kekurangan debit air atau kekeringan atau keduanya akibat perubahan iklim.[21]
Penelitian yang dilakukan oleh Uamusse dan kawan-kawan di tahun 2020, menunjukkan penurunan volume air di pembangkit listrik tenaga air di Mozambik, salah satu negara di Afrika Timur. Penurunan ini merupakan akibat musim kemarau yang memanjang sebagai dampak dari perubahan iklim. Diperkirakan terdapat penurunan 10-20% energi listrik tahunan akibat kondisi ini.[22]
Dampak
Krisis pangan
Krisis energi global memberikan dampak yang besar terhadap industri pertanian dan makanan. Penggunaan mesin, pengolahan makanan, pengemasan, transportasi, dan distribusi memerlukan bahan bakar dan listrik. Industri pupuk sebagian besar menggunakan urea sebagai hasil konversi amonia. Keterlibatan gas alam dalam produksi amonia dan urea adalah sekitar 70-80%.[23] Sehingga ketersediaan dan harga gas alam akan memengaruhi harga pupuk secara langsung.[24]
Dalam laporan global tentang krisis pangan 2022, Program Pangan Dunia menyebutkan terdapat 570.000 orang di 4 negara yang berada di fase katastrofe pangan (fase 5), 39,2 juta orang di 36 negara berada di fase darurat pangan (fase 4), 133,1 juta orang di 41 negara berada di fase krisis pangan (fase 3), dan 263,2 juta orang di 41 negara berada di fase tertekan (fase 2).[24]
Transisi energi
Setelah Rusia menutup pipa gas alamnya ke Eropa, Jerman mengatasi krisis energinya dengan mengaktifkan kembali pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil.[25] Hal yang serupa juga dilakukan oleh Austria,[25] Belanda,[26] Perancis,[27] Italia,[28] dan India.[29] Data dari Badan Energi Internasional menunjukkan kenaikan penggunaan batu bara secara global sebesar 0,7%.[30]
Keputusan untuk kembali menggunakan bahan bakar fosil akan berpengaruh terhadap perjanjian iklim internasional. Meskipun keputusan ini bersifat sementara, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menuntut agar negara-negara Eropa mulai berinvestasi dalam jumlah besar pada energi terbarukan. BEI menegaskan bahwa solusi jangka panjang untuk krisis energi global ini adalah dengan percepatan transisi energi.[31] Polandia adalah negara percontohan untuk transisi energi terbarukan. Selain mampu menjadi salah satu pasar utama untuk energi sinar matahari di Eropa, Polandia juga mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir.[31] Unit pertama pembangkit listrik tenaga nuklir Polandia diharapkan beroperasi pada tahun 2033 dengan kapasitas 1-1,6 gigawatt. Pembangunan total 6 unit yang diproyeksikan selesai di tahun 2043 berkapasitas 6-9 gigawatt.[32]