Konfrontasi Cicak dan Buaya merupakan timbunan rasa ketidakpuasan serta rasa ketidakpercayaan[1] terhadap bagian administrasi publik lembaga penegakan hukum di Indonesia yakni Kejaksaan dan Kepolisian[2][3] yang dipersonifikasi sebagai buaya sedangkan pihak yang berlawanan menyebut dirinya sebagai cicak. Kedua personifikasi ini diciptakan oleh Susno Duadji ketika diwawancarai oleh majalah Tempo tercetak pada edisi 20/XXXVIII 06 Juli 2009 dengan mengatakan "cicak kok mau melawan buaya…" sebagai personifikasi KPK sebagai cicak sementara Kepolisian sebagai buaya.[4] Dalam perkembangan selanjutnya buaya berubah menjadi penganti tikus, yang dahulu diidentikkan dengan para pelaku korupsi.
Latar belakang
Bermula pada draf Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Juli 2008.[5] kasus Antasari Azhar beberapa kalangan mulai merasakan bahwa KPK mulai digembosi oleh berbagai pihak[6][7][8] dengan mulai menyudutkan KPK antara lain pernyatakan Ahmad Fauzi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar KPK dibubarkan saja,[9] Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta KPK agar libur saja dan tidak mengambil keputusan atau melakukan memproses penyelidikan korupsi sehubungan status salah satu ketuanya dalam hal ini Antasari Azhar,[10] pada 24 Juni2009, Susilo Bambang Yudhoyono ikut mengatakan bahwa KPKpower must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa[11] diikuti pula pernyataan Susno Duadji yang mengatakan bahwa ibaratnya, polisi buaya KPK cicak. Cicak (KPK) kok melawan buaya (Polisi),[4] dan pernyataan Dewi Asmara, Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) mengatakan bahwa tidak akan meminta pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang undang (perppu) jika RUU Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) gagal disahkan maka peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke Pengadilan Umum atau pengadilan Tipikor akan dikembalikan ke pengadilan umum [12] padahal masa sidang yang tersisa sampai dengan 30 September2009[13] atau sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 setelah tenggat waktu jatuh pada 19 Desember2009 pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan bubar dengan sendirinya dan peradilan tindak pidana korupsi (tipikor) akan dikembalikan ke pengadilan umum.
Pernyataan Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri bahwa ...cicak kok mau melawan buaya...." [4] merupakan pemantik konfrontasi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dituduh melakukan penyadapan terhadap telepon seluler Susno Duadji yang terindikasi dengan isu uang Rp 10.000.000.000 dan terdapat kaitan atas penanganan kasus Bank Century,[14] sedangkan dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab bahwa sistem penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lawful interception. Itu digunakan untuk penegakan hukum dan kalau merasa ada yang tersadap dan punya masalah dengan itu, datang saja ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)....[15] dan berkaitan dengan kasus Bank Century, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru akan melakukan proses penyelidikan setelah adanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)[16] sedangkan usulan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berkaitan dengan Bank Century yang diajukan oleh sejumlah anggota secara resmi akan dibahas di Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 1 Desember2009.[17]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Yusuf Erwin Faishal sebelumnya menjabat sebagai Ketua komisi IV (Kehutanan) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena masalah menerima uang suap alih fungsi lahan Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.[19]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledah ruang kerja Yusuf Erwin Faishal di gedung Masaro, Jl Talang Betutu 11-A, Kebon Melati, Tanah Abang, JAKARTA 10230 serta menyita sembilan dus yang berisikan dokumen-dokumen dan ikut melakukan penggeledahan terhadap sebuah di Pondok Indah yang diduga milik Angoro Wijaya (Anggoro Widjojo) (kemudian hari menurut pernyataan Anggodo Widjojo, rumah tersebut adalah rumah miliknya), Direktur Utama Masaro Radiokom di daerah Pondok Indah,[22] ditemukan beberapa stempel palsu [23][24]
Penggeledahan ini yang dipermasalahkan oleh Anggoro Widjojo pemilik PT Masaro Radiokom yang menilai bahwa tindakan KPK menggeledah telah di luar dari kewenangannya karena merasa bahwa PT Masaro Radiokom tidak tersangkut dengan Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan akan tetapi menurut pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal tersebut dilakukan karena pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bukti adanya aliran dana dari Anggoro Widjojo kepada anggota DPR, Yusuf Erwin Faishal dan telah pula dimintakan izin dari pengadilan untuk menggeledah[25].
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Ari Muladi(Ary Muladi) mengaku telah membagikan uang kepada duabelas penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tiga orang sopir yang ikut dalam penggeledahan kantor[26].
Perubahan dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi) menjadi dokumen kronologis 20 Agustus 2009 Ari Muladi(Ary Muladi) terdapat dugaan sementara pihak perubahan tersebut karena Ari Muladi(Ary Muladi) telah didampingi oleh pengacara, oleh karena itu, Sugeng Teguh Santoso mengatakan bahwa sejak tanggal 26 Agustus2009 dirinya baru sebagai pengacara Ari Muladi(Ary Muladi).[27][28]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Anggodo Widjojo dan Ari Muladi (Ary Muladi) bertemu di coffee shop di Hotel Menara Peninsula untuk memulai rencana menghubungi pihak-pihak di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[29]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 26 Agustus 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Ari Muladi (Ary Muladi) sekitar Juli 2008 sedang berada di Bali dihubungi oleh Anggoro Widjojo melalui telepon menanyakan apakah Ari Muladi (Ary Muladi) mempunyai kenalan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Anggodo Widjojo menceritakan bahwa kantor PT Masaro Radiokom digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) padahal menurut Anggodo Widjojo PT Masaro Radiokom tidak ada kesalahan, Ari Muladi(Ary Muladi) lalu minta waktu untuk memastikan bisa tidaknya dibantu, selanjutnya Ari Muladi (Ary Muladi) menghubungi seseorang yang bernama Yulianto alias Anto untuk menanyakan apakah Yulianto alias Anto mempunyai teman di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Yulianto alias Anto minta waktu dan berjanji akan memberikan khabar prihal kepastiannya, dalam pembicaraan selanjutnya Yulianto alias Anto mengatakan masih memungkinkan untuk dibantu dan Yulianto alias Anto meminta untuk bertemu di Jakarta Ari Muladi(Ary Muladi) dan Yulianto alias Anto bertemu di Pondok Indah, pada kesempatan tersebut Yulianto alias Anto mengatakan sudah berkoordinasi dengan Ade Rahardja (Brigjen Pol Ade Rahardja, Deputi Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)). Menurut Yulianto alias Anto bahwa Ade Rahardja bisa membantu akan tetapi menurut Ari Muladi (Ary Muladi) pertemuannya dengan Yulianto alias Anto tersebut tidak diberitahukan kepada Anggodo Widjojo[30]
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam acara Pencanangan Pemantapan Komitmen Mewujudkan Good Governance dan Zona Anti Korupsi yang dihadiri oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Baharuddin Aritonang yang merupakan mantan anggota Komisi IX dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam acara tersebut Baharudin Aritonang berkali-kali membantah dirinya terlibat dalam kasus aliran dana BI serta mengata pula bahwa hasil audit pemerintah benar-benar kacau[31] dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar mengatakan bahwa dirinya seolah diajak berpolemik mengenai limapuluh dua anggota Komisi IX dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999 - 2004 sebagaimana yang disebut oleh Hamka Yandu dalam kesaksiannya di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menerima dana Bank Indonesia (BI) dan Antasari Azhar mengaku bertahan dan tidak ingin menyikapi.[32]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Ari Muladi (Ary Muladi) mengaku mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bertemu seorang pejabat KPK berinisial AR (Brigjen Pol Ade Rahardja, Deputi Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) tapi tidak sempat bertemu dan Ari Muladi (Ary Muladi) mengaku mengontak pejabat itu dan meminta penjelasan mengenai kasus yang tengah mendera PT Masaro Radiokom hingga kemudian diadakan perjanjian untuk pertemuan selanjutnya di Belagio[29].
Dalam Laporan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto disebutkan bahwa Ade Rahardja merupakan pihak yang penting dalam dugaan penyampaian uang dari Ari Muladi kesejumlah Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana tertuang dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi (Ary Muladi) atas Ari Muladi. Dalam keterangannya Ade Rahardja menyampaikan fakta bahwa dirinya tidak mengenal Anggoro, Ari Muladi ataupun Yulianto. Tim 8 juga mempertanyakan keterkaitan kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) dengan kasus alih fungsi hutan lindung Tanjung Api-Api.
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) dalam pertemuan dengan Ade Raharja di Belagio, Kuningan menurut Ari Muladi (Ary Muladi) mengatakan adanya permintaan uang untuk masing-masing pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),[29] Ade Raharja kemudian membantah terlibat dalam kasus itu. Dia mengaku tak mengenal Anggodo, Ari Muladi(Ary Muladi) dan Yulianto alias Anto [33]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Bertempat di ruang Karaoke Deluxe Hotel Menara Peninsula, Anggodo Widjojo menyerahkan uang kepada Ari Muladi(Ary Muladi) untuk diserahkan ke pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejumlah Rp 3.750.000.000 terdiri dari Rp 1.500.000.000 untuk Bibit S Rianto, Rp 1.000.000.000 untuk M Jasin, Rp 1.000.000.000 untuk Bambang Widaryatmo Direktur Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ), dan Rp 250.000.000 untuk menutup media.[29][35]
Dalam Laporan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto disebutkan bahwa Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto memberi keterangan yang bertujuan untuk menangkis dugaan penerimaan uang dari Anggoro Widjojo maupun Anggodo Widjojo, dalam keterangan tersebut disampaikan sejumlah fakta, antara lain, ketidakbenaran hubungan emosional antara Chandra M. Hamzah dengan M.S. Ka’ban sebagaimana ditenggarai oleh Polri, kronologis penanganan kasus PT. Masaro Radiokom, penjelasan atas tidak segera dilimpahkannya kasus PT Masaro ke pengadilan dan demikian pula dengan Bambang Widaryatmo (Mantan Direktur Penindakan KPK) membantah bahwa dirinya mengenal dan berhubungan ataupun menerima uang dari Ari Muladi, Anggoro, Anggodo, maupun Yulianto. selain itu, Bambang juga mengungkapkan sejumlah kelemahan sistem dalam KPK diantaranya berupa penyimpangan administrasi dan konflik antar pimpinan yang terdapat dalam institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya dalam proses penyidikan kasus korupsi. pengalaman tersebut dialami Bambang Widaryatmo selama menjabat sebagai Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bambang Widaryatmo juga menceritakan latar belakang kepentingan pribadi pimpinan dibalik perpindahan tempat tugasnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Mabes Polri.
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Agustus 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Bertempat di Karaoke Deluxe, kamar 01, Hotel Peninsula, Jakarta. Anggodo Widjojo menyerahkan kepada Ari Muladi(Ary Muladi) uang sejumlah 404.600 dalam dolar AS dengan perincian sebagai berikut: Rp 1.500.000.000 (Untuk Bibit S Rianto diberikan dalam bentuk dolar AS), Rp 1.000.000.000 (Untuk Mochamad Jasin dalam bentuk dolar AS), Rp 1.000.000.000 (untuk Bambang Widaryatmo dalam bentuk dolar AS)dan Rp 250.000.000 (Untuk media massa) kesemuanya berada dalam amplop warna cokelat yang di sebelah pojok kiri atas masing-masing amplop tertera angka sebagaimana yang Ari Muladi(Ary Muladi)minta di atas, pada saat menyerahkan uang tersebut Anggodo Widjojo mengatakan kepada Ari Muladi(Ary Muladi) bahwa Ini uang sesuai permintaan orang dalam, jangan lupa tanyakan kapan pengembalian barang bukti dan penghentian perkara PT Masaro masih menurut Ari Muladi(Ary Muladi) mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak mengenal dan tidak pernah bertemu atau berkomunikasi dengan Ade Rahardja melainkan kepada dan menurut informasi Yulianto alias Anto namun kepada AnggodoWidjojo, Ari Muladi(Ary Muladi) melaporkan bahwa Ari Muladi(Ary Muladi) telah memberikan uang tersebut kepada masing-masing orang sebagaimana daftar yang disebutkan di atas.[30]
Wakil Ketua Komisi IV DPR Suswono, setelah diperiksa oleh KPK mengatakan bahwa proyek SKRT senilai Rp 730.000.000.000 dengan Motorola harus dinegosiasi ulang.[36]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Ari Muladi(Ary Muladi) menyerahan uang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Restoran Tratoria di Menara Karya.[29]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledah terhadap kantor Departemen Kehutanan yang terfokus pada lantai tiga yang merupakan ruangan Sekretaris (versi lain mengatakan ruang sub-bagian sarana dan prasarana[36]) Departemen Kuhutanan dan para staf ahli Menteri Kehutanan [37]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Ari Muladi(Ary Muladi) menyerahan uang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Restoran Tomodachi.[29]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)) Ari Muladi(Ary Muladi) menyerahan uang sejumlah Rp 400.000.000 kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pasar Seni di Kuningan dan setelah lunas Ari Muladi(Ary Muladi) meminta imbalan pengembalian barang bukti serta pencabutan surat pencekalan.[30]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledah terhadap apartemen Park Royal milik Anggono Widjojo dan Sudirman Park milik Anggodo Widjojo[38]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan kembali perpanjangan status pencekalan terhadap sejumlah pejabat PT Masaro Radiokom seperti Anggoro Widjojo (Direktur Utama), David Angkowijaya (Direktur Keuangan) dan Putronevo A. Prayugo (Direktur)[39] sedangkan terhadap Anggono Widjojo (Presiden Komisaris) tidak dicekal kembali karena yang bersangkutan dinyatakan telah meninggal dunia.[40]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan Surat perintah penyelidikan dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT).[41]
Proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) ini bermula ketika Yusuf Erwin Faishal mengetahui adanya rencana proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) untuk kawasan hutan, Yusuf Erwin Faishal ketua komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian meminta Mukhtaruddin anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar menghubungi Anggoro Widjojo dari PT Masaro Radiokom karena Anggoro Widjojo merupakan langganan rekanan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) tahun 2005-2006 dan untuk proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) periode anggaran tahun 2007, Masaro Radiokom ikut pula menjadi kandidat rekanan proyek, selanjutnya sekira bulan Juni-Juli 2007, Yusuf Erwin Faishal bertemu langsung dengan Anggoro Widjojo. dipertemuan inilah Anggoro berjanji akan memberikan hadiah bila usulan anggaran proyek Departemen Kehutanan disetujui Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pada 16 Juli2007 akhirnya Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan anggaran itu dan Anggoro Widjojo kemudian menepati janjinya melalui David Angkawidjaya menyerahkan Rp 125.000.000 dan 85 ribu dalam bentuk dolar Singapura kepada Yusuf Erwin Faishal, uang tersebut kemudian dibagikan ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi IV melalui Mukhtaruddin.[42]
Anggodo Widjojo bersama Edy Sumarsono berangkat ke Singapura[29] dan sebagai klarifikasi awal untuk perencanaan pertemuan dengan Antasari Azhar dan Eddy Sumarsono lalu mengirim pesan pendek (sms) ke Antasari Azhar yang menginformasikan ada sejumlah pemimpin KPK menerima uang dari Anggoro Widjojo dan Antasari Azhar membalas pesan pendek (sms) tersebut dengan menyatakan tertarik dan ingin mendengar cerita itu langsung dari Anggoro Widjojo[26].
Dalam versi Edy Sumarsono hal ini berkaitan untuk mendengarkan langsung dari Anggoro Widjojo mengenai isu penyuapan (menurut dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi) dan dokumen kronologis 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo), Anggoro Widjojo merasa teraniaya dengan penggeledahan kantor PT Masaro oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mencari dukungan untuk menyelesaikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian Anggoro Widjojo meminta pada Anggodo Widjojo yang memiliki teman bernama Ari Muladi(Ary Muladi) yang diketahui memiliki kedekatan dengan sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) antara lain Ari Muladi(Ary Muladi) kenal dengan Ade Rahardja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dari pembicaraan Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo dan Ari Muladi diketahui bahwa Ade Rahardja meminta atensi (uang) dalam penyelesaian kasus tersebut, masih dalam pembicaraan tersebut maka dikeluarlah Rp 3.750.000.000 terdiri dari Rp 1.500.000.000 untuk Bibit S Rianto, Rp 1.000.000.000 untuk Mochamad Jasin, Rp 1.000.000.000 untuk Bambang Widaryatmo, dan Rp 250.000.000 untuk menutup media[35]
Menurut (versi dalam dokumen kronologis 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo) Anggodo Widjojo mengatakan bahwa setelah melalui Ari Muladi(Ary Muladi) masih terdapat dua pimpinaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum bisa didekati yakni Antasari Azhar dan Chandra M Hamzah maka Anggodo Widjojo mencari bantuan lewat Irwan Nasution, jaksa pengkaji pada Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung, Anggodo kemudian diperkenalkan dengan Eddy Sumarsono, wartawan yang dekat dengan Antasari dan dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Investigasi[26] dan Ketua Lembaga Advokasi Republik Indonesia (LARI)yang mengaku sanggup bicara dengan Antasari Azhar dan Chandra M Hamzah, setelah tawar menawar tercapai kesepakatan harga dengan nilai maksimum Rp 4.000.000.000 akan tetapi Edy Sumarsono kemudian membatalkan rencana itu dan meminta tambah menjadi Rp 6.000.000.000 dengan Rp 1.000.000.000 untuk Edy Sumarsono tersendiri[29] akan tetapi dokumen kronologis 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo tersebut oleh Eddy Soemarsono dibantahnya secara tegas dengan mengatakan bahwa Anggodo Widjojo ngawur. tidak pernah ada hal tersebut serta menyatakan pula bahwa Edy Sumarsono tidak kenal dengan Chandra M Hamzah).[43]
Dalam Laporan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto disebutkan bahwa dokumen kronologis 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo ini dibuat dan ditandatangani oleh Anggodo Widjojo bersamaan dengan Ari Muladi, dikemudian hari, menurut pengakuan Ari Muladi bahwa dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi) dibuat juga berdasarkan pada kronologi ini, dalam dokumen tersebut disebutkan sejumlah tanggal dimana Ari Muladi menyerahkan uang kepada Ade Rahardja yang untuk selanjutnya Ade Rahardja menyerahkan uang tersebut kepada sejumlah Pimpinan KPK[30].
Budi Sampoerna tak dapat menarik uangnya yang mencapai Rp 2 triliun di Bank Century. Sepekan kemudian, bos Bank Century Robert Tantular membujuk Budi Sampoerna dan anaknya yang bernama Sunaryo agar menjadi pemegang saham dengan alasan Bank Century mengalami kesulitan likuiditas[44]
Anggota Komisi IV (bidang Kehutanan) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)Tamsil Limrung diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mengatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebenarnya telah menolak program Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT)Departemen Kehutanan karena dianggap tidak efisien[45] dikemudian hari pada tanggal 9 Februari2009 Tamsil Limrung melalui kesaksiannya dalam perkara Yusuf Erwin Faishal di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengaku menerima uang sebesar Rp 120.000.000 berupa cek perjalanan dari mantan Ketua Komisi IV dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Yusuf Erwin Faishal yang diberikan melalui sekretaris Tamsil Limrung yang berkaitan dengan alih fungsi hutan lindung di proyek pelabuhan Tanjung Api Api dan Bintan dan menerima Rp 5.000.000, 2.000 dalam bentuk dollar AS, dan Rp 12.200.000 selain itu, Tamsil Limrung mengakui turut menerima sejumlah uang dari Anggoro Widjojo dan pada pertemuan kedua Tamsil Limrung diberikan amplop akan tetapi tidak tahu jumlahnya karena sudah kembalikan sedangkan Yusuf Erwin Faishal sendiri diduga menerima uang senilai Rp 125.000.000 juta berikut 220.000 dalam bentuk dollar AS dari Anggoro Anggoro Widjojo dan David Angkowijaya[46]
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)Antasari Azhar, Edy Sumarsono bersama Anggodo Widjojo berangkat ke Singapura bertemu dengan Anggoro Widjojo, rombongan ini menginap di Mandarin Hotel, Singapura dan pertemuan dengan Anggoro Widjojo dilakukan di Hotel Shangri-La dalam pertemuan ini, secara diam-diam Antasari Azhar melakukan perekaman pembicaraan dalam pertemuan tersebut dan Antasari Azhar menyatakan ingin dipertemukan pula dengan Ari Muladi(Ary Muladi.[26]
Wakil Ketua Komisi IV DPR Suswono setelah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) senilai Rp 730.000.000.000 dengan Motorola harus dinegosiasi ulang.[36]
Anggota Komisi IV (bidang Kehutanan) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tamsil Limrung menyerahkan dokumen dugaan korupsi kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) tahun 2007 dan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2007 tentang pembelian alat komunikasi fiktif senilai Rp 13.000.000.000.[36]
Menurut Eddy Sumarsono, setelah pertemuan di Singapura, Antasari Azhar, Eddy Sumarsono dan Ari Muladi(Ary Muladi) ketiganya kemudian bertemu di Hotel Tugu Malang dalam pertemuan ini Ari Muladi(Ary Muladi) menceritakan hal penyampaian aliran uang yang disampaikannya kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaitannya dengan kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) dan Antasari Azhar saat itu menunjukkan sejumlah foto pemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Ari Muladi(Ary Muladi) untuk pemastian bahwa memang ada pemberian uang dan Ari Muladi(Ary Muladi) menunjuk foto Mochamad Jasin sebagai orang yang menerima uang<,[26][47] tanggal 8 November2009 M. Jasin (Mochamad Jasin) membantah dengan melakukan sumpah, sumpah tak pernah menerima suap atau melakukan pemerasan dengan naungan Alquran dilakukannya pada saat siaran langsung di Studio TVOne [48]
Gubernur Bank Indonesia Boediono membenarkan Bank Century kalah kliring atau tidak bisa membayar dana dan terjadi rush. Bank Indonesia menggelar rapat konsulitasi melalui telekonferensi dengan Menteri Keungan Sri Mulyani, yang tengah mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang G-20 di Washington, Amerika Serikat.[36]
Bank Century melapor dan mengajukan permohonan fasilitas pendanaan darurat ke Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dengan alasan sulit mendapat pendanaan.
Budi Sampoerna setuju memindahkan seluruh dana rekening di Bank Century dari cabang Kertajaya, di Surabaya ke Cabang Senayan, di Jakarta.[44]
Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Menkeu tentang Penetapan Status Bank Gagal pada Bank Century dan menyatakan perlunya penanganan lebih lanjut. Selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan, Sri Mulyani langsung menggelar rapat untuk membahas nasib Bank Century.
Dalam rapat tersebut, Bank Indonesia melalui data per 31 Oktober 2008 mengumumkan bahwa rasio kecukupan modal atau CAR Bank Century minus hingga 3,52 persen, dalam rapat tersebut juga membahas apakah akan timbul dampak sistemik jika Bank Century dilikuidasi, lalu diputuskan, melakukan menambah kebutuhan modal untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen adalah sebesar Rp 632 miliar dan menyerahkan Bank Century kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).[44]
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hendak menyergap seorang petinggi kepolisian yang diduga menerima suap. Namun penyergarapan itu urung lantaran suap batal dilakukan. Dikabarkan rencana penangkapan itu sudah sampai ke telinga Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Sejak itulah hubungan KPK-Polri menjadi kurang mesra.[44]
Dalam Laporan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto disebutkan bahwa tindakan Susno Duadji yang tersadap telah lama mengetahui hal penyadapan tersebut dan untuk mengetahui siapa penyadapnya dilakukan untuk mengesankan seolah-olah ia akan menerima sebuah tas, meski sebenarnya tas tersebut kosong tindakan ini dikatakan sebagai bentuk kontra intelijen.
Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri mengirim surat nomor R/217/IV/2009/Bareskrim yang ditujukan untuk Direksi Bank Century yang menjelaskan bahwa soal dana milik Budi Sampoerna pemilik PT Lancar Sampoerna Bestari tak ada masalah atau tak ada unsur kriminalnya.[50]
Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri mengirim kembali surat untuk Direksi Bank Century yang menjelaskan jumlah uang milik Budi Sampoerna pemilik PT Lancar Sampoerna Bestari adalah berjumlah 18.000.000 dalam dollar AS.[50]
Antasari Azhar, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarn.[51]
Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri memasilitasi pertemuan antara pimpinan Bank Century karena setelah terdapat dua surat dari kepolisian dana tersebut tetap tidak dicairkan oleh Bank Century, dalam pertemuan tersebut disepakati antar para pihak bahwa Bank Century akan mencairkan dana Budi Sampoerna senilai 58.000.000 dalam bentuk dollar AS dari total 2.000.000.000.000 dalam bentuk rupiah. dari sinilah kemudian muncul tudingan bahwa Susno Duadji mendapat bayaran Rp 10.000.000.000 serta versi lain yang menyebutkan angka 10 persen dari nilai US$ 18.000.000.[44][50]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terbuka dituduh melakukan penyadapan terhadap telepon seluler Susno Duadji dengan mengatakan bahwa ada lembaga yang telah secara sewenang-wenang menyadap telepon selulernya[55]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dalam jumpa pers di KPK, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta mengatakan bahwa sistem penyadapan yang KPK lakukan adalah lawful interception (hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi). Itu digunakan untuk penegakan hukum bila merasa ada yang tersadap dan punya masalah dengan itu, datang saja ke KPK, tentu KPK menberikan penjelasan.[15]
Antasari Azhar yang masih dalam rumah tahanan Polda Metro Jaya membuat Laporan Polisi NO.POL: 2008 K/VII/2009/SPK UNIT "III" mengenai tindak pidana korupsi (suap) oleh pegawai KPK yakni Pimpiman dan Penyidik KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro Radiokom kepada Polda Metro Jaya.[56][57]
KPK memasukkan Anggoro Widjojo ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. (padahal diketahui bahwa Anggoro Widjojo masih berada di Singapura). dan Susno menegaskan, surat DPO Anggoro dari KPK tidak pernah diterimanya hingga saat ini.
Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri, menemui Anggoro Widjojo di Singapura dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi sesuai dengan pelaporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit.[58] dan Susno Duadji mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Kapolri serta Susno Duadji menegaskan bahwa surat DPO Anggoro Widjojo dari KPK tidak pernah diterimanya.[59]
Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo) disertai dengan Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp. 5,1 miliar ke pimpinan KPK antara lain yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto dan Mochamad Jasin dalam (dokumen kronologis 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo)
Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap melalui Ade Rahardja (Deputi Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) sebesar Rp. 5,1 miliar kepada pimpinan KPK antara lain yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto dan Mochamad Jasin dalam (dokumen kronologis 20 Juli 2009 Ari Muladi(Ary Muladi)
Apa yang disebut testimoni Antasari yaitu isi rekaman dalam pertemuan tanggal 10 Oktober2008 antara Anggoro Widjojo dan Antasari Azhar beredar di media massa.
Tiga pimpinan KPK yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto dan Mochamad Jasin dengan tegas menolak apa yang disebut dengan testimoni Antasari tersebut.[61]