Korupsi Bibit & Chandra |
Pengarang | Prof. Dr. O.C. Kaligis, S.H., M.H., |
---|
Bahasa | Indonesia |
---|
Subjek | Equality Before The Law |
---|
Penerbit | Indonesia Against Injustice |
---|
Tanggal terbit | 18 Maret 2010 |
---|
Halaman | 632 |
---|
Korupsi Bibit & Chandra adalah sebuah buku setebal 698 halaman terdiri dari 15 bab yang bersampulkan warna siluet merah-hitam wajah Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah dikarang oleh O.C. Kaligis dan diterbitkan oleh Indonesia Against Injustice
Dalam buku ini penulis mengupas ketidakadilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal penanganan kasus korupsi antara lain penulis dalam kata pengantar menyebutkan bahwa "untuk kasus Bibit dan Chandra, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dipaksa menghentikan penyidikan dan penuntutan, padahal itu bukan merupakan wewenang presiden" [1] dengan Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) sebagaimana rekomendasi Tim 8 [2] serta menampilkan kesaksian lengkap terdiri 9 butir yang ditulis mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dalam pemberitaan dikenal sebagai Testimoni Antasari Azhar [3][4][5] termasuk keterangan 22 saksi dari para penyidik KPK yang belum pernah dipublikasikan oleh media massa berikut pendapat sejumlah ahli hukum di antaranya Prof. Dr. Indriyanto Seno Aji, S.H., dan Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H.
Peluncuran
Saat peluncuran tanggal 29 Maret 2010, dalam siaran persnya yang disampaikan kepada wartawan, penulis mengatakan bahwa penerbitan atas buku Korupsi Bibit & Chandra ini merupakan sebuah bentuk kegelisahan dan kemarahan terhadap atas apa yang terjadi dalam proses hukum kasus kedua Pimpinan KPK tersebut, ia merasa kebenaran telah dijungkirbalikkan dalam kelanjutan kasus tersebut. Seperti terhadap tersangka Anggodo Widjojo, dia mengatakan Anggodo Widjojo telah diperas, sedangkan Ari Muladi justru dilindungi KPK. Ia kembali mengatakan masih banyak sejuta kejanggalan yang dapat terkuak melalui isi bukunya ini, seandainya rekaman hubungan antara Ade Rahardja dan Ari Muladi[6] terkuak akan semakin menjadi nyata betapa hebatnya korupsi oknum-oknum dalam KPK.[7]
Tantangan
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Republika pada tanggal 29 April 2010, OC Kaligis bahkan mengatakan menunggu perlawanan dari dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah yang terkait atau hampir satu bulan penerbitkan buku tersebut pada 29 Maret 2010 yang lalu dengan mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada reaksi dari KPK bahwa buku yang saya tulis tentang korupsi Bibit dan Chandra dianggap menyalahi hukum bahkan pada hari Rabu tanggal 28 April 2010 terdapat anggota komisi III DPR RI sempat mempertanyakan kepada Bibit dan Chanda dalam rapat kerja tentang penerbitan buku ini.[8]
Setelah Mahkamah Agung (MA) menyatakan Peninjauan Kembali (PK) jaksa atas Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit dan Chandra tidak dapat diterima. Alasan MA, tidak terpenuhinya syarat formil dalam Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan jaksa setelah itu, lalu timbul wancana untuk penghentian pekara tersebut dengan menerbitkan deponering yang kemudian menimbulkan pro dan kontral antara lain dari advokat senior Adnan Buyung Nasution bahwa "Tidak usah lagi deponering. Malah memalukan. Merusak nama negara hukum kita," dan "Bibit-Chandra jangan ragu menghadapi proses persidangan. Di sidang kan kita bisa buktikan ini. Kalau memang tidak ada bukti," serta "deponering lebih tepat dikeluarkan dulu, ketika Bibit dan Chandra mendapat dukungan satu juta masyarakat, kalau presiden tanya saya, saya bilang jangan keluarkan deponering,"" demikian kata Buyung.[10] akan tetapi, pada akhirnya Kejaksaan Agung, pada hari Senin (25/10/2010) mengumumkan telah mengambil sikap untuk melakukan deponering (menghentikan perkara demi kepentingan umum) kasus dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.[11] sesuai dengan keinginan presiden [1][12] dan Mahkamah Agung[13] namun kemudian dibantah oleh Jaksa Agung Basrief Arief dan dikatakan bahwa keputusan deponering belum berlaku secara formal sebelum dimintakan pertimbangan lembaga negara lainnya.[14]
Lihat pula
Referensi
Pranala luar