Kisah para nabi
Kisah para nabi (bahasa Arab: قصص الأنبياء) adalah kisah-kisah yang mengenai para nabi dalam ajaran Islam yang disampaikan dalam Al-Qur'an mapun hadis. Di dalam Al-Qur'an, para nabi disifati mulia tanpa pernah melakukan dosa besar dalam Islam. Kisah para nabi telah dibuat oleh para sejarawan muslim sejak abad-abad awal Hijriah. Dalam ajaran Islam, kisah para nabi awalnya termasuk dalam ilmu tafsir yang kemudian berkembang menjadi bidang ilmu tersendiri. DalilAl-Qur'anKisah para nabi merupakan salah satu jenis kisah yang terdapat di dalam Al-Qur'an.[1] Cakupan kisahnya mengenai hubungan yang terjadi antara para nabi, orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kafir.[2] Kehidupan para nabi dikisahkan di dalam Al-Qur'an secara berulang kali. Gaya bahasa yang digunakan untuk menceritakannya bersifat berbeda-beda.[3] Pada beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, Allah sering menyampaikan bahwa kisah para nabi merupakan informasi gaib dan Allah menyatakan bahwa kisah-kisah ini tidak diketahui oleh para nabi dan kaum sebelum Muhammad. Pernyataan ini salah satunya di dalam Surah Hud ayat 48–49 yang pada awal ayat yang mengisahkan tentang Nabi Nuh dan banjir besar bagi kaum Nuh.[4] Selain itu, Muhammad dan bangsa Arab yang merupakan kaumnya juga tidak mengetahui kisah para nabi sebelum diwahyukan oleh Allah. Sebagian dari informasi mengenai kisah para nabi juga tidak diketahui oleh Ahli Kitab.[5] Surah Hud ayat 48–49 menyatakan bahwa penyampaian kisah para nabi dari Allah kepada Muhammad melalui wahyu berupa Al-Qur'an menjadi bukti bagi kenabian Muhammad.[4] PenggambaranDi dalam Al-Qur'an, para nabi dikisahkan sebagai orang-orang yang mulia.[2] Al-Qur'an tidak menggambarkan para nabi sebagai pelaku dosa besar yang mengadakan penipuan dan kebohongan. Penggambaran para nabi di dalam Al-Qur'an tidak mendukung sifat-sifat buruk yang dimiliki oleh para nabi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama.[6] Penulisan kitabDiperkirakan bahwa penulisan kitab mengenai kisah para nabi pertama kali dilakukan oleh Wahb bin Munabbih.[7] Ia adalah seorang mantan Ahli Kitab.[8] Pada masa pengajaran hadis oleh dua Sahabat Nabi yaitu Mu'adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy'ari di Yaman, Wahb bin Munabbih menjadi seorang tabi'in.[9] Wahb bin Munabbih merupakan seorang sejarawan yang mengetahui banyak kisah dari kitab-kitab kuno dan kisah-kisah orang terdahulu terutama Israiliyat.[10] Pada abad ke-2 H atau ke-8 M, kisah para nabi dibuat menjadi kitab oleh Al-Kisa'i. Kitab yang membahas kisah para nabi yang masih dapat ditemukan ialah karya Umara bin Watsima (wafat 902 M) yang berjudul Kitaab bad’ al-khalq wa anbiyaa`. At-Tha'labi (meninggal 427 H) juga menulis kisah para nabi dengan judul Ara'is al-Majalis. Pada abad ke-5 H, kisah para nabi juga dibuat menjadi kitab oleh Abū Ishāq Ibrāhīm bin Mansūr bin Khalaf yang berasal dari Naisabur. Ibnu Katsir (meninggal 774 H) juga menulis kitab tentang kisah para nabi berjudul Qasas al-Anbiya yang mengutamakan ajaran menegenai kebijaksanaan dan moral dibandingkan dengan keakuratan sejarah.[11] ManfaatPenulisan sejarahKisah para nabi umumnya menggunakan metode didaktik yang memberikan pengajaran atau pendidikan.[12] Pada awal periode Islam, kisah para nabi sangat berkaitan dengan bidang ilmu tafsir, hingga kemudian berkembang menjadi bidang ilmu tersendiri. [12] Pengisahan para nabi di dalam Al-Qur'an menjadi salah satu sumber pengetahuan sejarah. Konten sejarah yang diketahui berupa para nabi.[13] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|