Kegagalan sayap depan (Roland Ratzenberger) dan tusukan ban dan kesalahan pembalap (Senna)
Hasil
Peningkatan keselamatan pembalap untuk Formula Satu.
Tewas
2 (Ratzenberger dan Senna)
Kematian Ayrton Senna adalah salah satu peristiwa yang terjadi sepanjang Grand Prix San Marino di Sirkuit Imola yang terletak di Italia. Kejadian ini adalah kejadian kedua dalam akhir pekan yang sama yang mengakibatkan salah satu pembalap meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan yang fatal. Kejadian ini terjadi pada tanggal 1 Mei1994.
Kasus ini diikuti oleh pengadilan selama bertahun-tahun dan banyak spekulasi. Beberapa menekankan tanggung jawab para pemimpin tim Williams, beberapa mengatakan Senna membuat kesalahan sebelum kecelakaan fatal. Mahkamah Agung Italia akhirnya membebaskan para terdakwa, keadaan kecelakaan masih belum jelas. Selama 21 tahun setelah akhir pekan balapan di Imola, Formula Satu tidak memerlukan korban, dan terjadi lagi pada tanggal 17 Juli2015, di mana pembalap asal Prancis, yaitu Jules Bianchi meninggal dunia akibat kecelakaan fatal di perlombaan Grand Prix Jepang 2014 di Sirkuit Suzuka pada tanggal 5 Oktober2014.[1]
Kronologis
Kejadian ini berawal di awal lap ke-7 ketika Ayrton Senna memimpin di atas mobil Williams-Renault. Mobil Senna tampak kurang stabil sejak ia mengawali start dari posisi pole. Pada awal lap ketujuh mobil Senna keluar trek saat ia memasuki tikungan Tamburello. Beberapa saat kemudian mobil Senna tampak menerjang pembatas, dan Ayrton Senna saat itu tidak sadarkan diri.[2] Sekitar 10 detik usai kecelakaan terjadi, bendera merah berkibar dan balapan dihentikan. Para marshall mulai memasuki lokasi kejadian untuk memeriksa keadaan Senna. Tim medis F1 yang dipimpin Professor Sid Watkins kemudian memeriksa Senna yang sudah tidak sadarkan diri.[3] Akhirnya untuk penanganan lebih lanjut Senna dibawa ke rumah sakit terdekat di Maggiore, Bologna. Dua jam usai lomba berakhir (yang dimenangkan oleh Michael Schumacher), dokter di RS. Maggiore mengumumkan bahwa Ayrton Senna sudah tiada.[4] Diagnosa dokter menyimpulkan Senna mengalami pendarahan hebat di kepala akibat benturan. Sementara itu pihak otoritas Italia menyimpulkan bahwa bisa saja kecelakaan ini disebabkan karena kurangnya pengaman di sirkuit tersebut, dan satu penyebab lainnya adalah kemungkinan sirkuit yang (cukup) sempit dan memungkinkan banyak kecelakaan di sana. Padahal, sirkuit tersebut digunakan untuk balapan mobil yang jumlahnya banyak.
Sehari sebelumnya, pembalap dari Austria, Roland Ratzenberger, meninggal karena kecelakaan serupa di babak kualifikasi, dan menjadikan GP San Marino 1994 balapan paling kelam dalam sejarah F1.[5]
ESPN, yang menyiarkan Grand Prix San Marino di Amerika Serikat, menyampaikan kabar itu kepada pemirsanya selama NASCAR Winston Select 500 (sekarang GEICO 500) lomba Piala Winston sore itu dari Talladega Superspeedway di Talladega, Alabama. Dengan perlombaan di bawah periode hati-hati di Putaran ke-111, dengan Dale Earnhardt memimpin, komentator utama Bob Jenkins mengumumkan Senna telah meninggal dunia dan memperpanjang belasungkawa jaringan. Untuk menghormati Senna, stan ESPN dari Jenkins, Ned Jarrett, dan Benny Parsons terdiam untuk restart berikutnya, berakhir setelah insiden beberapa mobil lainnya menghasilkan periode bendera hati-hati lain dalam dua putaran restart.
Earnhardt melanjutkan untuk mengambil kemenangan dan menawarkan upeti sendiri kepada Senna di jalur kemenangan setelah balapan. Dia kemudian juga tewas dalam kecelakaan fatal pada tahun 2001 selama putaran terakhir Daytona 500 - balapan tahunan paling penting NASCAR di Daytona International Speedway di Daytona Beach, Florida - pada usia 49 tahun. Pembalap NASCAR Brad Keselowski, yang saat itu berusia 10 tahun saat Senna meninggal dunia, kemudian membandingkan kematian kedua legenda itu, dengan mengatakan, "Bagi saya pribadi, (kematian Senna) mengingatkan saya banyak ketika Dale Earnhardt meninggal dalam arti semacam suasana hati dan suasana umum dalam rumah tangga keluarga saya sendiri. Ayahanda saya dan saudara lelaki biasanya bangun pagi-pagi dan menonton balapan Formula Satu dan saya baru berusia sembilan atau 10 tahun tetapi saya ingat ayah saya penggemar berat Senna, dan saya bisa ingat bahwa dia tidak pernah benar-benar tipe pemandu sorak yang keras tapi saya bisa mengingatnya lebih dari itu daripada apa pun yang pernah kulihat, yang selalu unik bagiku. Saya hanya ingat nada muram dalam rumah tangga."
Di Brasil, jaringan televisi negara menghabiskan sisa hari itu mengganggu jadwal pemrograman normal mereka untuk mengumumkan kematian Senna dan memutar ulang wawancara terakhirnya, diberikan kepada media pada hari sebelum kecelakaan.[6] Banyak penggemar balap motor berkumpul di luar Rumah Sakit Maggiore untuk memberi penghormatan kepada Senna, menyebabkan kemacetan lalu lintas yang besar.[7][8] Fans juga berkumpul di pabrik Williams F1 di Didcot di mana sekitar 200 orang hadir dengan bunga diletakkan di gerbang depan pabrik.
Pers Italia dan Brasil mengkritik FIA untuk perubahan aturan yang diberlakukan untuk 1994. Pembalap Benetton, Schumacher, menyerukan peningkatan keselamatan.[9] Komentator BBC Sport, Murray Walker menyebut kematian Senna sebagai "hari paling kelam untuk balapan Grand Prix yang saya ingat".[10]
Dua setengah bulan kemudian, setelah kemenangan Brasil atas Italia di Piala Dunia FIFA 1994 yang diadakan di Amerika Serikat, skuat Brasil telah mendedikasikan kemenangan Piala Dunia mereka untuk Ayrton Senna.
Lewis Hamilton, yang saat itu berusia sembilan tahun saat karier di ajang Go-kart mengenai berita kematian Senna yang disampaikan oleh ayahnya, Anthony. Seketika itu juga, Hamilton terhenyak mendengar kematian idolanya, dengan mengatakan "Aku sedang bersama ayahku saat mendengar kabar kematian Senna. Aku sangat sedih tapi ayah tidak membiarkan aku menangis di depannya, jadi aku harus mencari tempat lain."[11][12][13] Pada sisa hari itu, Hamilton tetap belum percaya Ayrton Senna telah meninggal dunia dan mengatakan, "Aku tidak bisa berhenti membayangkan apa yang telah terjadi. Inspirator saya (Senna) telah mati. Dia seorang pahlawan super. Peristiwa itu menjadi titik balik dalam hidup saya dan membuat saya paham harus memaksimalkan bakat-ku." Ibunda Hamilton, Carmen Larbalestier, mengatakan peristiwa tewasnya Senna tidak mempengaruhi Hamilton. Bahkan, justru semakin mengobarkan semangat putranya untuk mengikuti jejak idolanya itu ke F1 dan Carmen mengatakan "Saya tahu sejak awal bahwa saking besar hasratnya sampai-sampai tidak satu pun yang dapat menghentikannya."