Jongmyo Jerye (Upacara Jongmyo) atau Jongmyo Daeje (Upacara Agung Jongmyo)[1] adalah upacara yang dilaksanakan di Kuil Jongmyo di Seoul, Korea Selatan.[2][3] Jongmyo Daeje yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali merupakan perayaan persembahan, penghormatan dan peringatan akan jasa-jasa para pemimpin dari wangsa Yi yang mendirikan Dinasti Joseon yang memerintah Korea pada tahun 1392-1910.[4] Upacara Jongmyo didasarkan atas tatacara ritual Konfusianisme dalam menghargai leluhur dan pemimpin bangsa Korea.[1] Ritual ini merupakan salah satu bentuk kebudayaan Korea yang diakui sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi ManusiaUNESCO atau UNESCO's Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2001.[1]
Sejarah
Ritual ini ditujukan untuk memberikan penghormatan penuh bagi leluhur pendiri Dinasti Joseon.[1] Dinasti Joseon didirikan oleh Yi Seong-gye sebagai negara yang menganut paham dan cara pandang menurut Konfusianisme, sehingga perilaku yang paling penting bagi mereka ialah penghormatan dan penghargaan terhadap leluhur.[5]
Kepercayaan dan filosofi Konfusianisme sampai saat ini sangat memengaruhi tatacara kehidupan orang Korea sehingga ritual pemujaan terhadap leluhur masih dipraktikkan.[6]
Jongmyo Jerye termasuk ke dalam Gillye ("upacara bertuah"), salah satu dari 5 jenis upacara besar yang diselenggarakan oleh wangsa kerajaan Joseon, selain Hyungrye ("upacara pemakaman"), Binnye ("upacara penyambutan"), Gunrye ("upacara militer") dan Garye ("upacara pernikahan").[4] Upacara Gillye mencakup ritual pemujaan terhadap dewa langit dan bumi serta arwahnenek moyang.[4] Upacara Jongmyo tidak hanya mencakup pemujaan saja, tetapi juga memperingati pencapaian gemilang dalam bidang militer dan kesejahteraan bangsa.[4]
Pada saat ini papan nama leluhur para raja dan ratu Dinasti Joseon disimpan di dalam bangunan ini secara berurutan dalam ruangan altar yang berjumlah 19 buah kamar.[7] Papan nama raja berjumlah 19 buah dan papan nama ratu berjumlah 30 buah.[7] Keseluruhan raja dan ratu Joseon dihormati dalam altar kuil ini dengan pengecualian, Raja Yeonsangun dan Raja Gwanghaegun.[4] Bangunan utama Kuil Jongmyo, yakni Jeongjeon ("Aula Utama") menyimpan 49 buah papan nama leluhur yang diletakkan di 19 buah kamar dan Yeongnyeongjeon ("Aula Kedamaian Abadi") menyimpan 33 buah papan nama dalam 16 kamar.[8]
Raja Taejo mulai melaksanakan ritual ini setelah ia mendirikan Kuil Jongmyo pada tahun 1394 dan mendeklarasikan ideologi Konfusianisme dengan memindahkan ibu kota ke Hanyang (Seoul sekarang) dari Gaegyeong (sekarang Gaeseong, Korea Utara).[7] Taejo mendirikan Jongmyo untuk memberi penghormatan bagi leluhurnya.[4]
Ritual ini sempat tidak bisa dilaksanakan pada tahun 1592 sampai tahun 1598 dikarenakan peristiwa Perang Imjin.[4] Dalam peristiwa itu Kuil Jongmyo runtuh dan terbakar, tetapi papan nama leluhur raja-raja terdahulu berhasil diselamatkan.[9]Raja Seonjo sendiri menyelamatkan diri ke Pyongyang dan Uiju.[9]
Upacara Jongmyo kembali dilaksanakan pada masa pemerintahan Raja Gwanghaegun setelah bangunan kuil beserta istana-istana direkonstruksikan kembali pada tahun 1608.[7] Pada masa Penjajahan Jepang atas Korea pada tahun 1910, Upacara Jongmyo dilarang dipraktikkan oleh pemerintah kolonial Jepang.[1] Upacara Jongmyo kembali dihidupkan pada tahun 1946, tetapi unsur musik dan tarian baru dipentaskan pada tahun 1971.[4]
Prosedur
Pada awalnya, Upacara Jongmyo diadakan secara rutin pada bulan Januari (musim dingin), April (musim semi), Juli (musim panas), dan Oktober (musim gugur) terutama pada saat negara sedang menghadapi krisis dan bencana alam.[1] Namun semenjak merdeka dari penjajahan Jepang, Upacara Jongmyo mulai diselenggarakan pada hari Minggu pertama pada bulan Mei setiap tahunnya.[4] Dahulu dilaksanakan oleh anggota-anggota kerajaan terhadap leluhur mereka, yakni mendiang raja-raja dan ratu-ratu.[7] Raja yang sedang bertahta menjadi pemimpin upacara dan melakukan ritual-ritual penting seperti menuangkan arak dan melakukan sembah sujud.[7] Sekarang ini masih dilaksanakan oleh anggota-anggota masyarakat yang masih memiliki hubungan darah dengan wangsa Yi Jeonju yang mendirikan Dinasti Joseon, walaupun sebenarnya kekuasaan wangsa ini telah berakhir pada tahun 1910.[7][10]
Ritual penyambutan arwah leluhur
Pada masa lalu, raja yang sedang bertahta bertindak sebagai pemimpin jalannya upacara. Namun pada saat ini, raja diperankan oleh seorang lelaki dari anggota wangsa Yi Jeonju, yang disebut Cheoheongwan, putra mahkota diperankan Aheongwan, dan yang memainkan peran perdana menteri dinamakan Jongheongwan.[11] Pada saat ini, putra tertua dari Pangeran Gang (cucu dari Kaisar Gojong) bernama Yi Won, saat ini berperan sebagai Choheongwan.[10]
Periode satu minggu sebelum upacara dinamakan Jaegye atau "penyucian".[11] Selama 4 hari pertama dinamakan sanjae, dan 3 hari berikutnya dinamakan periode chijae.[11] Dalam satu minggu ini raja harus membersihkan jiwa serta pikirannya untuk memimpin jalannya upacara dan hanya mengonsumsi makanan yang sederhana serta menghindari minuman keras dan juga tidak boleh mengurus hal yang berhubungan dengan perkara kriminal, mengunjungi orang yang sakit atau pula mendengarkan musik.[1] Pada hari dilaksanakannya upacara, raja akan dijemput dengan tandu dari istana menuju kuil dan dikawal oleh pasukan istana.[12] Dimulai dengan chwiwi, raja akan menunggu di sebuah ruangan sebelum datangnya kotak dupa dan kertas doa yang dibawa melalui Namsinmun, gerbang selatan kuil.[11] Dengan masuknya kotak dupa dan kertas doa, raja keluar dari ruang tunggu dan mengambil posisi di depan kuil.[1] Pada saat yang bersamaan, musik upacara dan tarian mulai dipentaskan, menandakan prosedur pertama mulai dilaksanakan.[11] Para peserta upacara yang berpakaian resmi mulai beriringan mencuci tangan untuk persiapan ritual (gwansewi).[1]
Ritual Cheonghaengrye atau "Upacara Permulaan" dilaksanakan di depan altar masing-masing ruangan, yakni chanrye atau asisten upacara mengisyaratkan raja untuk segera memulai bersujud.[11] Raja mulai bersujud sebanyak 4 kali lalu diikuti para peserta upacara di belakangnya, sementara musik ritual Botaepyeong-ji-ak mengiringi bersama tarian Botaepyeong-ji-mu.[1] Ritual selanjutnya adalah menyambut datangnya arwah leluhur (Singwanrye) dengan mempersembahkan arak dengan menuangkannya ke dalam sebuah lubang yang berada di depan altar ruangan.[11]
Ritual penghiburan arwah leluhur
Ritual persembahan dimaksudkan untuk menghibur arwah leluhur, yang dimulai dengan ritual Jinchan atau Cheonjorye, dimana Bongjogwan dan Cheonjogwan, petugas yang bertanggung jawab menyiapkan makanan persembahan mulai menata makanan di depan altar.[9] Ritual penyajian makanan ini diiringi musik pung-an-jia-ak.[11] Choheonrye atau ritual persembahan cangkir arak pertama dilaksanakan secara bergiliran, pertama oleh raja, lalu diikuti putra mahkota, dan yang terakhir oleh perdana menteri.[9] Seraya para peserta upacara bersujud saat persembahan arak, daechugwan melantunkan doa dan syair pujian bagi leluhur.[9]Ahonrye atau ritual persembahan arak kedua dilakukan oleh ketiga pelaku upacara yang sebelumnya dengan prosedur yang sama, tetapi tanpa pelantunan syair-syair dan doa.[9] Ritual ini diiringi musik Jeongdae-eop-ji-ak dan tarian Mumu atau Botaepyeong-ji-mu yang terdiri dari 64 orang, yang terbagi ke dalam 2 kelompok penari yang menggunakan tombak dan pedang, simbolisme keagungan militer raja.[13] Ritual persembahan arak ketiga (Jonghonrye) dilaksanakan sama dengan prosedur pertama dan kedua, tetapi kali ini para pelaku upacara lain di aula kuil ikut mempersembahkan arak, sambil diiringi musik dan tarian militer Mumu.[11]
Ritual pelepasan arwah leluhur
Prosedur Eumbok dimulai saat makanan persembahan dibagi-bagikan kepada para peserta ritual, hal ini menandakan bahwa upacara akan segera diakhiri.[9] Choheongwan kemudian akan melakukan sembah sujud sebanyak 4 kali di depan altar, yang diikuti oleh semua peserta upacara di halaman kuil.[11] Setelah itu, sajian-sajian makanan mulai dikeluarkan dari ruangan altar, sementara para pemusik memainkan repertoar Yong-in-ji-ak, ritual ini dinamakan Cheonbyeondu.[9] Ritual Cheonbyeondu diikuti sembah sujud sebanyak 4 kali oleh seluruh pelaku upacara yang dimaksudkan untuk mengantarkan arwah leluhur pulang (Songsin).[9] Ritual yang terakhir adalah Mangryorye, dimana kertas-kertas yang berisi syair dan puji-pujian dibakar di sebuah tempat pembakaran kertas yang disebut Mangryodae.[11] Setelah ritual ini selesai, Cheoheongwan dan semua peserta upacara melakukan sujud yang terakhir kalinya sebanyak 4 kali, menandakan bahwa upacara telah selesai dilaksanakan dan keseluruhan peserta meninggalkan kuil.[11]
Musik
Musik yang dipentaskan dalam Upacara Agung Jongmyo dinamakan Jongmyo Jerye-ak atau "Musik Upacara Jongmyo".[2] Saat berlangsungnya Jongmyo Jerye, yang merupakan jenis musik aak ("musik upacara") dimainkan untuk mengikuti jalannya setiap prosesi upacara.[4] Jongmyo Jerye-ak diiringi dengan Jongmyo Akjang, yakni syair-syair yang dinyanyikan untuk memuji pencapaian prestasi raja-raja dan kebesaran militernya.[14]
Para musisi yang memainkan komposisi musik ini terbagi atas 2 kelompok orkestra.[4] Orkestra teras atas di depan kuil dinamakan Deung-ga, dan orkestra yang berada di teras bawah dinamakan Heon-ga.[4] Para musisi ini merupakan kelompok musisi dari Gungnip gugak-won, lembaga musik tertua di Korea yang khusus dibina untuk memainkan musik-musik istana sejak zaman kerajaan Silla.[8]
Permainan Musik Upacara Jongmyo dihidupkan kembali pada tahun 1462, pada masa pemerintahan pemimpin ke-4 Joseon, Raja Sejong Yang Agung.[15] Sebelumnya, musik ini diperkenalkan pada tahun 1116 pada masa Dinasti Goryeo dari Dinasti Song.[15] Dengan bantuan ahli musik Park Yeon, Raja Sejong menciptakan komposisi musik yang dinamakan Musik Botaepyeong ("Botaepyeong-ji-ak") dan Musik Jeongdae-eop ("Jeongdae-eop-ji-ak") serta Jongmyo Akjang ("Syair Jongmyo").[14][16] Ia pula yang menghadirkan kembali pementasan tarian ritual Ilmu yang ditarikan oleh barisan penari sebanyak 64 orang.[8]Musik Botaepyeong dan Jeongdae-eop disempurnakan lagi oleh Raja Sejo (bertahta 1455-1468).[4] Komposisi Musik Botaepyeong dan Jeongdae-eop masing-masing terdiri dari 11 buah nomor musik repertoar.[4]
Upacara dan permainan musik Jongmyo sempat terhenti pada masa penjajahan Jepang akibat tekanan atas budaya dan bangsa Korea, sehingga pemusik menjadi semakin langka karena semakin sedikit yang menguasai permainan musik tradisional.[17] Para pemusik yang masih tersisa kemudian bergabung untuk mendirikan lembaga musik Gungnip Gugak-won pada tahun 1951 guna melestarikan permainan musik istana yang hampir punah.[18] Walau Upacara Jongmyo sudah kembali dilaksanakan setelah Korea merdeka, tidak halnya dengan permainan musik dan tarian yang baru dihidupkan pada tahun 1971.[8]
Gungnip Guk-ak-won amat berjasa dalam membina para pemusik untuk mengembalikan permainan Musik Upacara Jongmyo dan sampai dengan saat ini para pemusik dari lembaga tersebut masih memainkan komposisi musik untuk prosedur ritual upacara di kuil-kuil Konfusius utama di Seoul.[8] Berkat jasa mereka pula Upacara Agung Jongmyo beserta musik dan tariannya menjadi bagian dari Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia yang diakui oleh UNESCO.[19]
Alat-alat musik
Alat-alat musik yang dimainkan dalam Jerye-ak merupakan alat musik istana, sebagian dibawa dari Cina semasa zaman Dinasti Goryeo pada tahun 1116,[8] antara lain:
Bak, semacam kastanyet berbentuk panjang dari kayu yang digunakan untuk menandai awal mula, jeda serta akhir dari permainan musik.[20]
Pyeonjong, lonceng metal yang terdiri dari 16 buah lonceng berirama.[20]
Pyeongyeong, lonceng batu yang terdiri dari 16 buah lonceng berirama.[20]
Banghyang, metalofon yang terdiri dari 16 buah metal berirama.[20]
Tarian yang dipentaskan dalam Upacara Agung Jongmyo dinamakan Ilmu atau "Tari Baris".[19] Tarian ini ditarikan dengan berbaris oleh kelompok penari berjumlah 64 orang dengan iringan musik pada saat berlangsungnya prosedur upacara di dalam kuil.[19]Dinasti Goryeo mengadopsi tari ini dari Cina, yang formasinya terdiri dari 64 orang penari, masing-masing penari membentuk 8 baris, sehingga disebut juga Palilmu (Tari Delapan Baris).[13] Pada masa pemerintahan Raja Sejong, Ilmu ditarikan di perayaan-perayaan istana dan pada masa pemerintahan Raja Sejo, tari ini mulai dipentaskan dalam ritual Upacara Jongmyo.[13]
Konsep tarian ini merupakan gabungan daripada dua buah energi, yin dan yang, yang dilambangkan dengan 2 buah kelompok penari, Munmu dan Mumu.[13]Munmu yang disebut juga Botaepyeong-ji-mu berarti tarian Ilmu yang merepresentasikan pencapaian dan prestasi raja yang telah mensejahterakan rakyatnya, sementara Mumu atau Jeongdae-eop-ji-mu merupakan tarian yang melambangkan keagungan dan kecakapan armada militer raja.[13]
Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia
Pada tanggal 18 Mei tahun 2001 Jongmyo Jerye beserta Jongmyo Jerye-ak berhasil masuk ke dalam daftar Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia atau dalam catatan UNESCO dikenal dengan Royal Ancestral Rite and Ritual Music in Jongmyo Shrine.[21] UNESCO mengakui ritual ini berdasarkan keunikan yang dimilikinya, selain karena tradisi ini telah dilestarikan sejak lama oleh pemerintahan Korea Selatan dalam Warisan Budaya Non-bendawi, yakni nomor 1 untuk Jongmyo Jerye-ak dan nomor 56 untuk Jongmyo Jerye.[20]Kuil Jongmyo sendiri merupakan Situs Warisan DuniaUNESCO sejak tahun 1995.[7] Pemerintah Korea Selatan serius dalam melestarikan tradisi ini dengan mengadakan restorasi kembali bagian-bagian penting upacara seperti kostum, peralatan, komposisi dan alat musik dengan bantuan daripada lembaga musik nasional (Gungnip-gugak-won).[21]