Menurut kepercayaan Buddhisme Korea, Yeongsanjae adalah upacara yang didasarkan pada saat peristiwa Buddha memberi khotbah Sutra Saddharma Pundarica (Sutra Teratai) di Gunung Yeongsan (Gunung Gridhakuta), semua muridnya, mahluk hidup di bumi dan langit menjadi sangat gembira setelah mendengarkan khotbahnya.[5][6] Bunga Mandala turun dari langit, Sakradevanan Indra dari seluruh dunia, para Bodhisattva, dewa dan dewi ikut turun ke bumi untuk memberikan bunga dan dupa serta menari untuk sang Buddha.[5] Seluruh keajaiban ini dimanifestasikan ke dalam sebuah upacara yang disebut Yeongsanjae.[5] Upacara ini bertujuan untuk menyampaikan pesan mengenai reinkarnasi dan kehidupan baru di nirwana bagi orang yang sudah meninggal.[5] Selain itu upacara ini juga dimaksudkan untuk menutun manusia yang ada di bumi untuk mendapatkan pencerahan dan pembebasan dari karma, mendamaikan dan menyelamatkan jiwa-jiwa semua mahkluk di bumi, langit, lautan dan alam baka.[5]
Upacara Yeongsanjae menampilkan musik dan tarian ritual yang menggabungkan ritual asli Korea dengan Buddhisme dan dilaksanakan setiap satu tahun sekali di Bongwonsa (Kuil Bongwon), Seoul.[1] Pada zaman pertengahan Dinasti Joseon, upacara ritual agama Buddha dilaksanakan secara besar-besaran berdasarkan Sutra Teratai.[1] Seperti ritual agama lain, Yeongsanjae adalah ekspresi filosofi dan doktrin agama Buddha dan bertujuan untuk mempraktikkan disiplin diri.[7]
Prosedur
Terdapat beberapa proses Yeongsanjae yang dilakukan selama 3 hari.[8]
Hari pertama
Ritual Penyambutan (siryeon), bertujuan untuk menyambut semua jiwa dan orang suci dari surga dan bumi dengan tuntunan Bodhisattva penuntun jiwa.[8]
Penerimaan Jiwa (daeryeong), seluruh arwah dan jiwa orang yang sudah meninggal diterima dalam upacara, sementara orang-orang yang ikut ambil bagian diberikan tatacara yang harus diikuti.[8] Para keluarga yang sanaknya telah tiada menyediakan makanan dan minuman untuk menunjukkan rasa cinta dan penghormatannya kepada mereka.[8]
Membersihkan kekotoran (gwanyok), ritual untuk menyucikan tiga buah karma dari arwah-arwah yang telah diundang dan memberikan ketenteraman kepada mereka.[8]
Hari kedua
Penyumbangan uang (jojeon jeoman): jojeon adalah uang yang dipergunakan untuk orang di alam baka.[8]
Penyajian teh (sinjung jakbeop): upacara teh yang ditujukan untuk arwah-arwah dengan harapan agar ritual dapat berjalan dengan lancar.[8]
Persembahan nasi dan makanan (sangdan gwongong), dengan Buddha dan para Boddhisattva yang diundang, nasi dan makanan dipersembahkan dengan harapan semua mahkluk mendapatkan kebahagiaan dan agar cahaya Buddha tetap bersinar dalam semua dunia penderitaan.[8]
Khotbah (beopmun): seorang biksu yang memerankan Buddha menyampaikan tujuan upacara dan menjelaskan cara untuk merealisasikannya.[8]
Hari ketiga
Ritual Makanan (sikdang jakbeop): ritual ini ditujukan bagi seluruh biksu yang berpartisipasi, dan secara simbolis ditujukan untuk semua mahkluk di dunia dimana melalui upacara ini fondasi untuk menjadi Buddha bisa tercipta.[8]
Ritual pemberkatan (jungdan gwongong): semua orang suci yang diundang dimohon untuk melancarkan upacara dan memberikan berkat kepada semua peserta upacara.[8]
Makanan untuk orang yang telah meninggal (sisik): ini menyimbolkan bahwa semua orang yang telah meninggal telah memasuki nirwana, ritual yang tampak ceria dilaksanakan untuk mengantarkan, merayakan dan memberikan selamat bagi mereka yang telah pergi ke nirwana.[8]
Ritual pelepasan (bongsong dan sodae baesong): arwah-arwah dilepas ke nirwana dan ini merupakan ritual penutup.[8]
Beompae
Ritual Beompae adalah melantunkan mantra tanpa teks tertulis dan diwariskan secara oral.[9] Ritual Beompae terdiri dari mantra anchabi dan geotchaebi.[9]Anchabi merupakan empat nada musik Buddha dan suara rendah, sementara geotchaebi adalah mantra panjang.[9]
Tarian
Tarian yang dipentaskan dalam Yeongsanjae berjumlah 3 buah tarian yang diiringi mantra dan alunan alat musik yakni terompet (taepyeongso), gong (jing), genderang (buk), simbal dan moktak. Tarian yang ditampilkan adalah Nabichum, Barachum, Beopgochum.
Nabichum
Nabichum (Tari Kupu-kupu) adalah tarian yang dipentaskan oleh para biksuni. Para penari ini memegang bunga peoni kertas di salah satu tangan dan mengenakan penutup kepala serta jubah putih panjang. Tarian ini menyimbolkan transformasi seekor ulat menjadi kupu-kupu.
Barachum
Barachum atau Tari Simbal adalah tarian yang dipentaskan oleh para biksu yang memainkan simbal dalam gerakan-gerakan ritme yang diikuti oleh mantra-mantra dan permainan alat musik. Tarian ini menyimbolkan pembersihan dan pensucian kekuatan jahat.
Beopgochum
Beopgochum atau Tari Memukul Beduk adalah tarian yang dipentaskan seorang biksu yang memainkan beduk besar kuil. Tarian ini melambangkan pencerahan yang tercapai setelah meninggalkan semua nafsu duniawi dan penderitaan.
Preservasi
Semenjak didaftarkan sebagai Warisan Budaya Nonbendawi Korea Selatan oleh pemerintah pada tahun 1973, tradisi upacara ini telah mendapat perlindungan.[8] Pada tahun 1987, Asosiasi Preservasi Yeongsanjae didirikan dan mulai melaksanakan aktivitas pelestarian ritual.[8] Yeongsanjae dipraktikkan oleh sekte Taego dan berpusat di Kuil Bongwon.[8] Pada saat ini biksu Kim In-sik (Guhae) merupakan ahli utama pelestari bagian musik.[8] Para asisten biksu Kim adalah Ma Myeong-chan, Lee Su-gil, Oh Chan-yeong, Lee Byeong-u, Lee Jo-won dan Han Hui-ja, yang kesemuanya merupakan ahil musik dan tari serta membuat ornamen bunga kertas untuk ritual.[8] Pada tahun 2006, Kuil Bongwon membuka ritual Yeongsanjae untuk umum dan untuk lebih menarik minat orang-orang untuk berpartisipasi dalam ritual, sekarang Yeongsanjae telah diselenggarakan pada Hari Memorial, hari libur nasional yang jatuh setiap tanggal 6 Juni.[8]