Artikel ini membutuhkan penyuntingan lebih lanjut mengenai tata bahasa, gaya penulisan, hubungan antarparagraf, nada penulisan, atau ejaan. Anda dapat membantu untuk menyuntingnya.
Artikel ini kemungkinan dibuat atau disunting oleh seseorang untuk menerima imbalan atau bayaran tetapi tidak dikemukakan secara terbuka sehingga kemungkinan melanggar kebijakan dan ketentuan penggunaan Wikimedia Foundation. Silakan memperbaiki artikel ini untuk memenuhi kebijakan konten Wikipedia terutama kebijakan sudut pandang netral. (Maret 2024)
Abdul Halim Ambiya atau biasa dikenal Halim Ambiya (lahir di Indramayu, Jawa Barat, 12 Juli 1974) adalah pendakwah, pendiri dan pengasuh Pondok Tasawuf Underground di Indonesia. Melalui gerakan dakwah yang merangkul dan membina kaum marjinal dari kalangan punk dan jalanan ini, namanya mulai dikenal luas. Ustadz Halim Ambiya menjadikan ilmu tasawuf dan psikoterapi sebagai pendekatan untuk mendidik anak-anak punk dan jalanan di sekitar Jabodetabek agar terbebas dari bahaya narkoba dan psikotropika. Dia masuk ke kolong-kolong jembatan, stasiun, terminal, dan lokasi tempat mereka berhimpun untuk diajak mengaji dan meninggalkan sisi gelap jalanan.
Halim Ambiya menamakan program dakwahnya dengan istilah Pengenalan Peta Jalan Pulang.[1] Melalui program ini, santri binaannya tak hanya diajarkan pendidikan rohani melalui shalat, dzikir, pembacaan Al-Quran, dan kitab-kitab, tetapi juga dengan melakukan pemberdayaan ekonomi dan sosial. Anak-anak punk dan jalanan binaannya diberi pembekalan dan pelatihan, serta praktik kewirausahaan. Kini, Pondok Tasawuf Underground telah memiliki lini usaha kafe, laundry, sablon, bengkel motor, cucian mobil, penjualan buah-buahan, dan penjualan motor custom.[2]
Tokoh agama yang inspiratif ini mengawali kariernya sebagai wartawan dan dosen, bahkan dia pun dikenal dikenal sebagai penulis dan editor buku-buku keislaman. Di tengah kesibukannya berdakwah dan membina santri-santri punk, Halim Ambiya hingga sekarang masih menggeluti dunia penerbitan buku.
Kehidupan Pribadi
Halim Ambiya, pendakwah yang mendedikasikan ilmu dan amalnya untuk merangkul, mendidik, dan mengajar anak-anak punk dan jalanan ini terlahir dari keluarga santri. Sejak belia, putra kedua pasangan Abdul Wahid dan Muslihah ini mendapat pendidikan agama langsung dari kakek dan paman-pamannya, K.H. Abdul Muin ZA, K.H. Zaenal Arifin Said, Kyai Hasan Basyari, dan Kyai Tarmidzi.
Selain mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) di pagi hari di Desa Bugis, Kecamatan Anjatan, Indramayu, Halim kecil juga menempuh pendidikan agama di lembaga yang didirikan oleh sang kakek (K.H. Abdul Muin)—sebuah lembaga yang dikenal dengan "Yayasan Dewi Sartika." Di sore hari, dia pun mengikuti pelajaran agama di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tarbiyah wa Ta'lim yang didirikan keluarganya tersebut. Setelah menamatkan SD dan MI sekaligus, Halim melanjutkan Madrasah Tsanawiyah (MTs) GUPPI Bugis pada yayasan serupa.
Saat ditanya mengenai keberaniannya untuk berdakwah di kalangan preman bertato, Halim menyebut bahwa keberaniannya sudah didapat dari kakek dan pamannya. "Dulu di zaman operasi Petrus, di sungai desa saya menjadi tempat pembuangan mayat para korban operasi itu, Hampir tiap minggu saya melihat mayat. Kebanyakan penjahat yang mati itu bertato. Maka, banyak preman bertato yang tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan berat merasa ketakutan. Nah, akhirnya ada saja preman bertato yang menjadi santri kakek saya. Jadi, saya sudah biasa bergaul dengan preman sejak kecil," aku Halim.[3]
Kecintaannya terhadap ilmu agama pun kian berlanjut. Halim Ambiya melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Gading, Kroya, Cilacap di bawah asuhan K.H. Amin Ma'mun Basya. Pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan salaf (tradisional) dan khalaf (modern) ditempuh dari tahun 1989-1993. Halim tidak hanya mendapatkan pelajaran berbasis kurikulum ala Kulliatul Mua'limin Al-Islamiyah (KMI) Gontor, tetapi juga mendapat pengayaan pengajaran kitab-kitab thuras ala pesantren Nahdliyyin.
Di tahun 1994, Halim Ambiya mengikuti pendidikan formal di SMA Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu. Bukan tanpa alasan dirinya menamatkan SMA di lembaga tersebut, sebab dirinya lahir di tengah keluarga aktivis Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Halim Ambiya sering memberi ceramah di masjid-masjid Muhammadiyah dan NU di Indramayu. "Jadi, nenek saya ketua Muslimat NU di desa, kakek pengurus NU, ada paman yang jadi Ketua Ranting Muhammadiyah, ada juga yang menjadi Kepala Sekolah Muhammadiyah, Kita asyik saja. Bisa dikatakan saya ini Muhammad NU," kata Halim.[3]
Pendidikan
Pada tahun 1994, Halim Ambiya memulai kuliahnya di Fakultas Ushuluddin, Program Sarjana (S1) Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengenalan pada ilmu tasawuf banyak ia dapatkan di bangku kuliah. Menurutnya, di masa itu kurikulum dan silabus di jurusannya banyak memuat mata kuliah terkait tasawuf. Hampir 50 persen dari beban SKS di jurusan Aqidah dan Filsafat Islam mengajarkan mata kuliah tasawuf, akhlak, aliran-aliran pemikiran dalam Islam, tafsir dan hadis tentang tasawuf.
Kecintaannya pada ilmu tasawuf pun kian bertambah di akhir penyelesaian kuliahnya. Halim Ambiya merasa terpikat dengan kitab Risalah al-Laduniyyah karya Imam al-Ghazali hingga memperdalam filsafat ilmu dalam Islam pada penelitian ilmiahnya. Skripsinya yang berjudul "Epistemologi Islam: Suatu Gagasan Naquib Al-Atas tentang Islamisasi Ilmu" akhirnya menjadi jalan bagi Halim Ambiya untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah Program Pascasarjana (S2) di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), Kuala Lumpur, Malaysia—sebuah institusi pendidikan tinggi yang didirikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Halim Ambiya mengikuti program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam di ISTAC selama 4 tahun. "Saya benar-benar seperti masuk pesantren lagi di ISTAC. Ini kampus internasional. Tradisi thuras di kampus ini luar biasa. Dan, perpustakaan ISTAC itu lengkap sekali. Bayangkan, manuskrip-manuskrip dari Perpustakaan Nasional Bosnia saja diboyong ke kampus ini. Di samping mendapat bimbingan langsung dari Prof. Alattas dan Prof. Dr. Wan Mohammad Nor Wan Daud, kami banyak mendapat pengajaran profesor-profesor dari berbagai negara, seperti Turki, Sudan, Iran, Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat," tutur Halim.[4]
"Saya merasa banyak mendapat berkah ilmu di Kuala Lumpur. Karena itu, pengalaman saya di Kuala Lumpur ini saya abadikan dalam novel saya berjudul Sor Baujan dan Novel Indon Menjerit," ujarnya lagi. Di ISTAC ini, Halim Ambiya merasa banyak belajar dan mengkaji tentang sejarah dan kebudayaan Islam di Nusantara, hal ini tampak jelas dalam cerita novelnya. Dirinya memiliki minat yang besar terhadap manuskrip-manuskrip Melayu mengenai tasawuf dan tarekat yang terdapat di Malaysia, yang tidak didapatkan di Indonesia.[4]
Karier
Kecintaannya pada dunia penelitian dan penyuntingan buku-buku keislaman mulai berlanjut sepulang dari Malaysia. Halim Ambiya mulai terlibat dalam sejumlah penelitian, penerjemahan, dan penyuntingan buku-buku keislaman. Sejak 2007, dia bergabung sebagai freelanceeditor di Hikmah, Mizan Publika, Yudhistira, Rakyat Merdeka Books, Ufuk Publishing House, Penerbit Serambi, Republika Penerbit, dan Penerbit Buku Kompas.
Halim Ambiya pun pernah mengabdikan dirinya untuk membantu mengajar di almamaternya. Namun, tidak di fakultas dimana dia kuliah dulu. Dia menjadi asisten Prof. Dr. Salam Harun, M.A. untuk mengajar mata kuliah tafsir di jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tahun 2007-2012.
Halim Ambiya tumbuh menjadi konsultan dan kreator buku hingga kawan-kawan penerbitan buku menjuluki dirinya sebagai "Ghost Writer" karena keahliannya dalam membuat konsep dan penyusunan buku. Dia terlibat dalam penyusunan buku-buku karya tokoh-tokoh nasional, anggota dewan, menteri dan pengambil kebijakan lainnya. Ketika ditanya, judul buku apa saja yang pernah disusunnya, Halim Ambiya menolak untuk menyebut. "Biarkan itu menjadi misteri. Namanya juga ghost writer. Nggak ada nama saya disitu," jawabnya sambil tertawa.
Pada tahun 2012 akhir, Halim Ambiya mendirikan perusahaan penerbitan sendiri yang dia namakan Salima Publika, sebuah lembaga yang menerbitkan buku-buku keislaman. Diantara buku yang diterbitkan oleh penerbit ini, antara lain, Dahsyatnya Doa (Muhammad Agus Syafii), Mukjizat Huruf-Huruf Al-Qur'an (Didik Suharyo), Sunan Gunung Djati (Dadan Wildan), Sirrul Asrar: Rasaning Rasa (Syekh Abdul Qadir al-Jailani, terjemahan K.H. Zezen Zaenal Abidin Bazul Asyhab), Tafsir Al-Jailani (Syekh Abdul Qadir al-Jailani-terjemahan), Wisdom Traveler (Imam Arkananto), DISC: The Soul of Selling (Evilin Kumala Warangian), dan lainnya.
Hingga sekarang Halim Ambiya masih menjadi Direktur Salima Publika. Lembaga yang dipimpin ini tidak hanya berkutat pada dunia penerbitan dan percetakan buku, tetapi juga pada penelitian-penelitian ilmiah terkait sejarah kebudayaan Islam di Nusantara, manuskrip-manuskrip Melayu, dan kebijakan publik. Apalagi di tengah kelesuan industri penerbitan buku di Indonesia, Halim Ambiya aktif mengkampanyekan literasi digital melalui media sosial.
Karena kegelisahannya melihat fenomena budaya instan di kalangan milenial yang mengikis tradisi intelektual pesantren, pada tanggal 8 Februari 2012, Halim Ambiya mendirikan apa yang dikenal sebagai Tasawuf Underground. Didampingi sahabatnya, Ade Irfan Abdurrahman, Halim Ambiya membuat fans page di Facebook dengan nama Tasawuf Underground. Sebuah nama yang dianggap asing ketika itu. Halim Ambiya merasa terpancing untuk terlibat dalam dakwah digital melalui penyebaran karya-karya klasik Islam di media sosial, khususnya tentang ilmu tasawuf.
"Saya merasa sedih melihat media sosial yang mengumbar syahwat ilmu tanpa sumber rujukan yang jelas hingga menjadi salah kaprah. Tasawuf dianggap klenik. Bicara tasawuf tanpa rujukan. Karena itu, saya masuk mengenalkan wajah tasawuf yang ilmiah," tuturnya. Halim Ambiya mengunggah kalimat-kalimat hikmah tasawuf dari para tokoh sufi klasik dengan mencantumkan sumber rujukan kitab yang representatif,[5] seperti kalimat hikmah dari kitab-kitab Ihya Ulumudddin, Minhajul Abidin, Risalah al-Qusyairiyah, Al-Hikam, Sirrul Asrar, Fathu Rabbani, Matsnawi, Fihi Ma Fihi, Nashaihul 'Ibad, dan sebagainya.
"Istilah Tasawuf Underground ini berasal dari Prof. Aziz Dahlan, untuk menyebut fenomena seorang tokoh yang berkiprah dalam dakwah tasawuf dengan cara sembunyi-sembunyi terhadap para preman di Tanjung Priok, Jakarta. Dia tidak dikenal di bumi, tapi dikenal di langit."
"Alhamdulillah. Mereka bisa membaca kalimat hikmah dari sumber yang jelas. Bisa dibaca di mobil, di halte, di tempat kerja, di dapur, di kantor. Mereka secara underground belajar ilmu tasawuf secara sembunyi-sembunyi melalui Facebook dan Instagram," tuturnya.
Halim Ambiya tak hanya merambah dakwahnya di media sosial. Para pecinta ilmu tasawuf melalui akun Facebook dan Instagram Tasawuf Underground pun kian bertambah. Di tahun 2016, fans page Tasawuf Underground diikuti lebih dari 300.000 followers dan di akun Instagram mencapai 60.000 lebih followers. Bahkan, Halim Ambiya akhirnya dikenal sebagai influencer ketika membuat viral puluhan lagu-lagu shalawat melalui akun Facebooknya. Jutaan viewers Facebook, Instagram, dan YouTube meramaikan video shalawat yang dikenalkannya. Group nasyid bernama "Aleehya" yang dikenalkan Halim Ambiya pun kian dikenal oleh stasiun televisi nasional.
Pendakwah ini tak hanya menimba ilmu tasawuf secara akademik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan ISTAC, namun juga berbaiat dan mengikuti Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya. Di tahun 2012, Halim Ambiya berbaiat melalui Wakil Talqin K.H. Zezen Zaenal Abidin Bazul Asyhab. Konon, pertemuannya dengan K.H. Zezen—Pangersa Uwak—demikian Halim biasa memanggil, merupakan peristiwa penting yang mengubah dirinya. "Kyai Zezen-lah yang membuat saya klepek-klepek kepada TQN. Beliau mampu menjelaskan makna-makna rumit dalam terminologi tasawuf dengan cara mudah. Beliau adalah seorang penyelam yang luar biasa,"[6] tutur Halim.
Berkat dukungan dan saran Sang Guru, Halim Ambiya diminta untuk fokus dan serius untuk berdakwah di media sosial, serta berkiprah di dunia pendidikan dan penelitian serta terlibat aktif dalam dakwah Suryalaya, yang terhimpun dalam Lembaga Dakwah Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah (LDTQN) Suryalaya. Atas saran Pangersa Uwak Zezen dan K.H. Dr. Hamdani Muin, akhirnya Halim Ambiya pun bergabung dalam kepengurusan MATAN (Mahasiswa Ahlith Thoriqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah) dan Jami'yyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).
Dari sini, Ustadz Halim Ambiya mulai membuat pengajian secara off air. Dibantu sejumlah jemaah, dia membuka pengajian Tasawuf Underground di rumah dan kantor penerbitannya. Lalu, membuat pengajian yang disebutnya sebagai Sufi After Hours. Halim Ambiya membuka pengajian dari kafe ke kafe di Jakarta.[7] Beberapa tokoh yang menjadi narasumber pengajian tasawuf ini, antara lain, Prof. Dr. H. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Asep Usman Ismail, M.Ag., dan Dr. K.H. Ahmad Sodiq, M.A.. "Kalau di Barat, after hours itu diisi dengan nenggak minuman keras di bar. Tapi, saya buat di kafe, rumah, dan kantor agar bisa ngopi, ngobrol perkara iman. Bahkan belajar ilmu tasawuf dari profesor ilmu tasawuf dan filsafat," jelas Halim.
Di tahun 2017, Halim Ambiya mulai merambah dakwahnya ke kalangan marjinal, yakni anak-anak punk dan jalanan. Dirinya terjun langsung ke beberapa titik kelompok kalangan jalanan, seperti di perempatan Gaplek (Pondok Cabe), Pondok Aren, Tebet, Tanah Abang, Gondangdia, Kota Tua, Kebon Jeruk, Cipinang, dan lainnya.[8] Halim Ambiya mulai merangkul secara personal satu per satu anak punk dan jalanan untuk ikut dalam kegiatan pengajiannya di kantor atau rumahnya.[9] Kedua tempat inilah yang kelak menjadi embrio pendirian Pondok Pesantren Tasawuf Underground.
Saat membuka pengajian di kolong jembatan bersama anak punk dan jalanan, di tahun 2019 inilah, Halim Ambiya dan Tasawuf Undergroud-nya menjadi viral di media sosial. Gerakan dakwahnya pun disambut banyak kalangan hingga meramaikan pemberitaan nasional dan internasional. Bahkan, setelah pendirian Pondok Tasawuf Underground di Ciputat, memancing berbagai kalangan akademik dan media untuk meneliti kiprah dakwahnya. Tercatat sudah ada 35 skripsi, 2 tesis, dan 1 disertasi yang meneliti tentang kiprah Halim Ambiya dan Tasawuf Underground. Apalagi setelah Pengasuh Pondok Tasawuf Underground ini mendirikan lini usaha milik santri, seperti kafe, usaha laundry, bengkel motor, sablon kaos, cucian mobil, dan penjualan motor custom, Halim Ambiya mendapatkan panggung yang lebih besar untuk mengembangkan dakwah di kalangan anak punk dan jalanan.
Juli 2022, Halim Ambiya meraih penghargaan People and Inspiration Awards 2022 dalam kategori pendidikan oleh BeritaSatu Media Holdings (BSMH).[10] Para pemenang yang dipilih dalam ajang People and Inspiration Awards 2022 telah melalui proses penilaian yang ketat dari lima orang juri yang berkompeten, yakni Ketua Dewan Juri People and Inspiration Awards 2022, Prof. Komaruddin Hidayat selaku akademisi dan budayawan, dengan jajaran anggota Primus Dorimulu (Direktur Pemberitaan BeritaSatu Media Holdings), Dr. Alexander Sonny Keraf (Menteri Lingkungan Hidup RI periode 1999-2001), Triawan Munaf (Kepala Bekraf periode 2015-2019), dan Sha Ine Febriyanti (Penggiat Seni).[11]