Nama kecamatan ini berasal dari bahasa Sunda yang terdiri dari kata haur 'bambu' dan geulis 'cantik'.
Kecamatan ini berada di ujung barat wilayah kabupaten Indramayu, berbatasan langsung dengan Kabupaten Subang melalui Sungai Cipunagara, dan juga dilalui jalur kereta api.
Nama Haurgeulis berasal dari gabungan 2 kata dalam bahasa Sunda, yaitu Haur dan Geulis. Haur berarti bambu, sedangkan geulis berarti cantik. Jadi, nama Haurgeulis mempunyai arti Bambu Cantik. Hal ini konon karena wilayah kecamatan ini pada masa lampau banyak ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan bambu yang mempunyai bentuk unik dan mempunyai manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar.
Haurgeulis adalah desa baru di wilayah eks dari KawedananKandhang Awur
wilayah dari Kesultanan Dermayon. tercatat berdasarkan catatan-catatan dhemang-dhemang di Kawedanan Kandhang Awur pada 1678 Masehi.
Dulunya Haurgeulis hanya sebuah desa yang baru terbentuk pada 18November1678 Masehi, penduduk daerah ini berasal dari Suku Sunda.
Hubungan Awal Sumedang dan Indramayu di masa lampau 1576 Masehi
Hubungan berawal ketika Prabu Geusan Ulun (Sumedang) datang ke Kesultanan Deramayon untuk bertemu Kanjeng Gusthi Sawedhi (Sultan Wiralodra III) di Keraton Dharma-ayu pada 1576 Masehi.
Prabu Geusan Ulun membahas kerjasama penambangan logam dengan Dermayon, kemudian Prabu Geusan Ulun meminta bantuan kepada Kanjeng Gusthi Sawerdi (Sultan Wiralodra III) untuk mengirim para pandai besi, pandai tembaga dan pandai emas dari Dermayon untuk bekerja menambang di sumedang.
Sebagai perjanjian sesama mendapatkan keuntungan, Prabu Geusan Ulun akan membayar tinggi kepada para pekerja dermayon.
Tujuan utamanya agar Sumedang bisa berdiri mandiri dan bersaing dengan Bandar Callapa (Sunda Kelapa) di batavia (betawi) serta bisa menjadi pengganti Pakuan Pajajaran.
Perjanjian tersebut di setujui oleh Kanjeng Gushti Sawerdi, sekitar 13 Keluarga Pandai Besi, Pandai Tembaga dan Pandai Emas dari Kawedhanan Jatibarang diboyong ke Sumedang.
Para penambang Dermayon beberapa tahun tidak lama setelah di boyong sumedang, mereka menemukan sumber biji tembaga di Kaliwangu dekat Cadas Pangeran, yang kemudian mengolahnya menjadi tembaga murni.
Dari tambang-tambang tembaga ini, Kerajaan Sumedang Larang mulai di dirikan oleh Prabu Geusan Ulun setelah mengangkat dirinya sebagai Pemimpin Sumedang pengganti runtuhnya Pakuan Pajajaran pada tahun 1585 Masehi.
Dalam Babad Dermayon tidak lama setelah Kerajaan Sumedang Larang berdiri, ada Peristiwa Ratu Harisbaya istri dari Prabu Geusan Ulun yang kemudian Ratu Harisbaya dipersunting oleh penguasa Cirebon dan menjadikan awal mula Peperangan antara Sumedang dan Cirebon dimasa lalu.
serta bukan peristiwa Endang Darma Kerajaan Galunggung (Tasikmalaya, Ciamis) dengan Kesultanan Dermayon peristiwa hilangnya Nyi Endang Ayu (Indramayu) ditahun 1441 Masehi. Endang Darma dari Kerajaan Galunggunglah yang membunuh 25Pangeran Senopati Palembang Utusan Kanjeng Gusthi Aria Wiralodra I. 25 Pangeran Senopati Panembahan Palembang di Kesultanan Dermayon gugur dalam perang membela dermayon yang kini di kenal (Makam Selawe)
Peristiwa 18 November 1678 (Tragedi Tegalkalong)
Hubungan kembali terjalin terutama era kepemimpinan Pangeran Rangga GempolIII pasca melemahnya Kesultanan Mataram Islam pada 1657 Masehi.
Rangga Gempol III datang ke Keraton Dharma-Ayu untuk bertemu Kanjeng Gusthi Syekh Syama'un (Sultan Wiralodra V) dan membahas tentang Panembahan Senopati Dermayon di Sumedang untuk menjadi penopang kekuasaan Sumedang agar merdeka dari VOC.
Sebagai Perjanjian Rangga Gempol III akan menyerahkan wilayah Kuningan (Kuningan Jawa barat) yang dulu dikuasai Sumedang akan di serahkan ke Kesultanan Dermayon.
Tahun 1657 Masehi, Sultan Wiralodra V mengutus Raden Bagus, Raden Singamanggala, Raden Tanusuta dan Raden Bagus Taka (Ngabehi Wira) serta yang lainnya untuk ngabdi ke Rangga Gempol III di Sumedang.
Pada Idul Fitri di Hari Jumat 18November1678 Masehi. Rangga Gempol III [3]Diarsipkan 2023-08-17 di Wayback Machine. dan Keluarganya serta Panembahan Senopati Dermayon di Sumedang melaksanakan Ibadah Sholat Idul Fitri di Masjid Tegalkalong Sumedang, namun secara tiba-tiba dari arah barat, pasukan Banten yang dipimpin Cilikwidara dengan bersenjatakan lengkap menyerang Masjid Tegalkalong secara mendadak, dengan sasaran Rangga Gempol III & keluarga, Pangeran Senopati Dermayon (Panembahan). Para jamaah yang sedang melaksanakan Sholat Idul Fitri juga banyak yang ikut menjadi korban dari serangan tersebut, namun Rangga Gempol III berhasil meloloskan diri menuju daerah Dermayon.
Hanya ada satu Pangeran panembahan dermayon yang tersisa yaitu Kiyai Ngabehi Wira (Raden Bagus Taka) pada saat itu berhasil mendesak mundur pasukan Banten, Kiyai Ngabehi Wira menggiring dan memerintahkan Jamaah Tegalkalong yang masih tersisa untuk pergi meloloskan diri ke utara untuk meminta bantuan kepada Kesultanan Dermayon pada tahun 1678 Masehi.
Konflik berhasil diredam setelah Cilikwidara tertusuk Keris Kiyai Bengkelung milik Pangeran Ngabehi Wira (Kiyai Ngabehi atau Raden Bagus Taka) dan Ngabehi segera meloloskan diri dari pengeroyokan di Masjid Tegalkalong ke utara.
Setelah menunggu lama pasukan bantuan dari Dermayon telag tiba, namun datang terlambat di masjid Tegalkalong sudah banjir darah, banyak jamaah, keluarga Rangga Gempol III serta panembahan dermayon tergeletak penuh darah dan bala pasukan dermayon memandikan para korban tersebut.
Para Jamaah yang diperintahkan ngabehi Wira untuk meloloskan diri ke utara berhasil dengan selamat sampai ke desa sidodadi, namun pasca tragedi itu Sumedang di kuasai Banten dan penduduk yang berhasil meloloskan diri tidak ingin kembali ke sumedang, dikarenakan sumedang jatuh kekuasaan banten. Hingga penduduk Tegalkalong banyak yang memilih hidup menetap di wilayah ini dan mendirikan desa bernama Haurgeulis pada tahun 1679 Masehi yang sekarang desa tersebut dipilih menjadi nama distrik Kecamatan Haurgeulis.
Letak Geografis
Kecamatan Haurgeulis secara geografis terletak di ujung Barat Kabupaten Indramayu dan terletak antara 107°51’ - 107°54’ bujur timur dan
6°35’ - 6°39’ lintang selatan dengan luas wilayah 6.083 Ha. Kecamatan ini tidak berada pada Jalur Pantura.
Berdasarkan pembentukannya batas administratif batas kecamatan Haurgeulis adalah sebagai berikut :
Berdasarkan keadaan topografi Kecamatan Haurgeulis merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 23 meter dari permukaan laut. Dengan
curah hujan pada tahun 2009 adalah 1.345 mm/tahun.
Wilayah kecamatan Haurgeulis sebagian besar adalah area persawahan. Area persawahan terluas terletak di desa Sumbermulya, Cipancuh dan Kertanegara, yang mana sabelah barat dari ketiga desa tersebut adalah hamparan sawah yang membentang hingga ke wilayah perbatasan kabupaten Subang.
Demografi
Kepadatan Penduduk
Jumlah desa di Kecamatan Haurgeulis adalah 10 desa, terdiri dari 91 RW. Sedangkan jumlah rumahtangga ada sebanyak 23.634 rumahtangga tersebar di 250 RT. Desa Sukajati adalah desa terpadat dengan kepadatan penduduk 7.707 jiwa/km² dan Desa Sidadadi adalah desa dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu sebesar 526 jiwa/km².
Suku
Kecamatan Haurgeulis merupakan salah satu kecamatan yang memiliki karakteristik / kultur masyarakat yang heterogen. Letak geografisnya yang strategis membawa pengaruh pada pola hidup keseharian masyarakatnya. Suku Sunda dan Suku Jawa masih merupakan golongan yang dominan di Haurgeulis, selanjutnya diikuti oleh Cina, Minang dan Arab. Sebagian besar dari orang-orang Cina, Arab dan Minang adalah orang-orang pendatang dan perantauan yang membuka usaha di Haurgeulis.
Agama yang dianut masyarakat Haurgeulis sebagian besar adalah Islam, yang mencakup 99,12% dari populasi total, diikuti Protestan 0,71%, Katolik 0,08% dan lainnya 0,02%.[2]
Bahasa
Bahasa yang digunakan di Haurgeulis sebagian besar adalah bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Namun, tak semua bahasa Jawa yang ada di Haurgeulis memiliki dialek yang sama. Ada 3 dialek Jawa yang digunakan di Haurgeulis, yakni dialek Dermayon dan dialek Tegal. Masyarakat di desa Kertanegara, Karangtumaritis dan Wanakaya sebagian besar menggunakan dialek Dermayon. Dialek Tegalan biasa dipakai oleh masyarakat di desa Sidadadi, Sumbermulya, blok Cipedang Bunder (desa Mekarjati), Lebak (desa Sukajati) dan sebagian wilayah timur desa Haurgeulis. Sementara dialek Dermayon digunakan oleh penduduk di desa Cipancuh, Mekarjati, Haurgeulis, Sukajati dan sebagian Sumbermulya.
Bahasa Sunda sendiri juga termasuk bahasa yang masih sering digunakan oleh masyarakat sebagai bahasa Ibu. Karena meskipun termasuk dalam wilayah Indramayu mayoritas bahasa Jawa Indramayu, di kecamatan Haurgeulis pada awalnya adalah wilayah kekuasaan dari Kerajaan Sumedang Larang. Bahasa Sunda yang digunakan di Haurgeulis umumnya adalah dialek Pesisir Utara. Wilayah yang penduduknya menggunakan bahasa Sunda antara lain desa Haurkolot, Cipancuh (blok Sumur Bandung / Karanganyar), Mekarjati (blok Babakan Jati II, III), Kertanegara (blok 18, 19, 22), Wanakaya (blok Maja) dan Karangtumaritis (blok Karang Sambung).
Sementara sebagian kecil lagi dari masyarakat adalah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu yang digunakan. Wilayah yang menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari adalah daerah sekitar desa Haurgeulis (blok Pasar dan Babakan Negla) dan Sukajati (blok Masjid Al-Hanan, Warung Jambu dan sebagian Manggungan).
Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Haurgeulis sebagian besar adalah berniaga (berdagang) dan bertani, diikuti sebagai karyawan pertokoan dan instansi serta wiraswasta. Di beberapa desa seperti Karangtumaritis, Kertanegara, dan Wanakaya sebagian besar warga bekerja pada industri rumahan (home industry) yang bergerak di bidang kerajinan dan pengolahan kayu (pembuatan pintu, mebel, kusen-kusen).
Intensitas perdagangan di Haurgeulis merupakan salah satu yang terbesar di Kabupaten Indramayu, bersama Jatibarang, dengan penyebaran perekonomian terletak sepanjang Jalan Jend. Sudirman (arah Haurgeulis - Patrol), Jalan Siliwangi (arah Gantar) dan Jalan Ahmad Yani (jalur Haurgeulis - Cipunagara). Pusat perdangangan berada di Pasar Daerah Haurgeulis, yang mana merupakan pasar tradisional dengan aktivitas non-stop 24 jam.