Kewartawanan atau jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Pengertian jurnalisme dalam konsep media, berasal dari perkataan journal, artinya catatan harian mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar.[1] Jurnal berasal dari perkataan Latin diurnalis, artinya harian atau tiap hari.[2]
Di Indonesia, istilah "jurnalistik" dulu dikenal dengan "publisistik".[3] Dua istilah tersebut mulanya kerap saling tertukar, hanya berbeda asalnya saja. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan istilah publisistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Aktivitas
Kewartawanan dapat dikatakan sebagai "coretan pertama dalam sejarah". Meskipun berita sering kali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan. Aktivitas kewartawanan tentu tak luput dari pelaku di dunia tersebut. Mereka sering disebut sebagai pewarta, wartawan, atau jurnalis.[4]
Seorang wartawan sering kali menjadi saksi dalam setiap peristiwa yang memiliki nilai-nilai berita. Tak jarang mereka harus berinteraksi dengan sumber yang kadang kala melibatkan konfidensialitas. Para jurnalis ini umumnya bekerja pada sebuah industri yang disebut media. Secara makna, media mengandung arti sebagai wadah penyalur antara pihak pertama dan ketiga. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, media berarti jembatan antara pemerintah dan rakyatnya.[5] Oleh sebab itu, setiap pelaku media harus memiliki independensi dan memihak hanya pada kebenaran berdasarkan fakta.
Adapun aktivitas utama dalam dunia kewartawanan khususnya bagi setiap wartawan adalah meliput, mengolah, dan menyajikan sebuah informasi dalam bentuk berita kepada publik. Secara lebih sederhana, pewarta dapat juga dikatakan sebagai orang yang melaporkan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Dengan kata lain, mereka berpegang pada berita yang berdasarkan konsep 5W+1H. Namun di kondisi saat ini, dunia kewartawanan semakin kompleks karena setiap pelaku media bersaing untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat. Mereka umumnya tergabung dalam sejumlah media, antara lain: koran, televisi, radio, majalah dan digital media yang tengah dikembangkan baru-baru ini.[6]
Sejarah
Pada awalnya, komunikasi antarmanusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Pria berkebangsaan Jerman itu (sekitar 1398-3 Februari 1468) adalah seorang pandai logam dan penemu yang memperoleh ketenaran berkat sumbangannya di bidang teknologi percetakan pada 1450-an, termasuk aloy logamhuruf (type metal) dan tinta berbasis-minyak, cetakan untuk mencetak huruf secara tepat, dan sejenis mesin cetak baru yang berdasarkan pencetak yang digunakan dalam membuat anggur.[7]
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, dan Medan Prijaji terbit. Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.[8]
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.[9] Masa kekuasaan Presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo (yang saat ini masih eksis) merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih (salah satu tempat pendidikan wartawan Tempo), Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.[10] Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.[11]
Tugas
Jurnalisme memiliki tugas yaitu: menyampaikan kebenaran, memiliki loyalitas kepada masyarakat, memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi, memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya, memiliki kemampuan untuk memantau kekuasaan, menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik, menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik, membuat berita secara komprehesif dan proporsional, memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka.[12]