Gipsy adalah grup musik rock dari Indonesia yang dibentuk tahun 1966 di Jakarta. Grup musik ini sebelumnya dikenal sebagai Sabda Nada sampai tahun 1969. Grup musik ini dominan memainkan musik dari grup-grup luar negeri yang populer pada masa itu seperti The Allman Brothers Band, Chicago, Blood Sweat & Tears, atau Keef Hartley. Perkembangan group musik Gipsy terus berjalan seiring dengan meningkatnya popularitas mereka di Jakarta, meski kurang dikenal di beberapa kota besar lainnya seperti Bandung dan Surabaya yang dikenal sebagai area barometer musik tanah air.[1] Bersama dengan Guruh Soekarnoputra, Gipsy menghasilkan sebuah album kolaborasi berjudul Guruh Gipsy yang dirilis Maret 1977.[2] Saat ini, album tersebut dianggap sebagai tonggak musik pop di Indonesia.[3]
Sejarah
1966–1969: Pembentukan
Sejak tahun 1956, rumah Saidi Hasjim Nasution yang terletak di Jalan Pegangsaan Barat 12 Menteng sudah menjadi tempat berkumpul-kumpul keluarga Nasution, rekan kerja Saidi Hasjim, tetangga, dan juga anak muda. Hal ini karena Saidi Hasjim banyak melengkapi rumahnya dengan berbagai fasilitas yang menarik. Salah satunya pasangan Laurens dan Hana Rahadi, tetangga dekat keluarga Nasution yang sering berkunjung untuk bertanding badminton di halaman rumahnya. Laurens dan Hana Rahadi memiliki 3 orang anak, Joris, Christian (Chrisye), dan Vicky Rahadi yang juga akrab dengan Rayendra (Yeyen), Gadahar (Joe Am), Gauri, Krishnan (Keenan), Nauddin (Oding), dan Debymurti (Debby), anaknya-anaknya Saidi Hasjim Nasution.[4][5]
Pada tahun 1958, Joe Am Nasution yang duduk di bangku kelas 3 SD Yayasan Perguruan Cikini sering didatangi sahabat sekelasnya yaitu Pontjo Sutowo, putra seorang pejabat Ibnu Sutowo. Joe Am dan Pontjo tampaknya bersahabat karib. Mereka kemana mana selalu bersama sama. Hingga suatu saat ketika Joe Am duduk di bangku SMA, Pontjo memberikan hadiah berupa gitar elektrik bermerk Fender kepada Joe Am. Betapa senangnya Joe Am mendapat gitar bergengsi yang menjadi impian anak band saat itu. Gauri, Keenan, Oding dan Debby tampak terkagum kagum menyaksikan kakaknya memetik gitar elektrik. Kesenangan itu kian menjadi ketika Pontjo berinisiatif untuk membentuk sebuah band.[4]
Atas inisiatif Potjo, dibentuklah sebuah band sekitar tahun 1966 dengan personelnya terdiri dari Pontjo Sutowo (organ), Joe Am Nasution (gitar), Gauri Nasution (gitar), Edi Odek (bass), Edit, Ronald Boyo, dan Keenan Nasution (drum). Band ini diberi nama Sabda Nada oleh I Wayan Suparta, seniman tari Bali yang juga mantan suami aktris Chitra Dewi. Awalnya, I Wayan Suparta akan menamai band tersebut dengan nama Kilat. Namun mereka menolak karena nama tersebut dianggap terlalu norak.[4]
Sabda Nada menjadikan Pegangsaan Barat 12 sebagai basis mereka untuk latihan. Hal ini menjadi daya tarik anak-anak muda, termasuk Chrisye yang dapat melihat secara langsung Sabda Nada latihan di serambi rumah keluarga Nasution. Pertengahan 1968, Gauri mengajak Chrisye bergabung Sabda Nada menggantikan Edi Odek yang sedang sakit. Karena puas dengan kemampuan Chrisye, Gauri meminta Chrisye untuk menjadi anggota tetap Sabda Nada. Awalnya Chrisye merasa ragu dengan tawaran tersebut. Namun sore harinya, Ia datang ke Pegangsaan Barat 12 dan sedia bergabung sebagai pemain bass yang baru.[4][6]
Sabda Nada awalnya hanya tampil secara teratur di Mini Disko Jalan Juanda, pesta ulang tahun, acara khitanan, hingga pesta pernikahan. Lambat laun mereka mulai tampil di berbagai tempat besar seperti di Lantai IV Gedung Bank Indonesia Thamrin, Istora Senayan dan Djakarta Fair. Pada saat itu Sabda Nada kerap menjadi band pengiring Henny Poerwonegoro, Yos Nasution, serta aktris Ully Artha. Dalam waktu singkat, Sabda Nada menjadi grup musik terkenal di Jakarta.[4][6]
Pada suatu waktu di tahun 1969, Personel Sabda Nada seperti biasa berkumpul setelah turun dari panggung. Namun yang mereka lakukan adalah berunding terkait pergantian nama band yang dianggap sudah ketinggalan zaman. Pontjo Sutowo mengusulkan nama Gipsy untuk nama band mereka yang baru.[nb 2] Usulan ini langsung disetujui oleh personelnya karena nama tersebut terdengar lebih trendi mengikuti dinamika permusikan pada saat itu. Selang beberapa saat kemudian, Pontjo Sutowo memilih mundur dari Gipsy dan posisinya digantikan oleh Onan Soesilo dari Fingers Band. Gipsy juga mendapat tambahan personel Tamy Daudsyah sebagai peniup Saksofon dan Nasrul "Atut" Harahap, sepupu Nasution Bersaudara yang mengisi vokal bersama Keenan.[7][8]
1969–1973: Popularitas meningkat dan tawaran manggung di New York
Menjelang akhir 1969, Popularitas dan tawaran manggung Gipsy kian melesat. Setiap setelah manggung, mereka selalu diikuti oleh groupies. Begitu populernya Gipsy, mereka pernah mengadakan konser di Taman Ismail Marzuki dengan penonton yang penuh sesak.[7]
Atut Harahap memang menjadi sosok yang membawa banyak pengaruh ke dalam Gipsy. kala itu, Atut sering membawa piringan hitam musik mancanegara seperti Wilson Pickett, The Equals, John Mayall & the Bluesbreakers, Sam & Dave, The Jimi Hendrix Experience, dan King Crimson untuk diperdengarkan bersama-sama. Alhasil, Gipsy banyak memainkan lagu-lagu tersebut.[8] Meskipun Gipsy masih sebatas membawa karya artis musik mancanegara, tetapi Gipsy mempunyai kiat dan pendirian yang lain. Keenan Nasution berujar bahwa mereka sengaja membawakan lagu-lagu yang justru tak dikenal orang. Bahkan lagu-lagu yang dibawakan Gipsy biasanya diaransemen ulang. Sehingga sama sekali berbeda dengan versi aslinya.[4][5]
Pada tahun 1972, Pontjo Sutowo baru saja mendapatkan tender manggung dari Pertamina yang memiliki restoran cukup besar di New York, Amerika Serikat. Tak mau berlama-lama, Pontjo langsung menawarkan Gipsy manggung ke New York dengan kontrak antara satu sampai dua tahun, dapat tunjangan makan, penginapan dan uang saku. Semua personel setuju dengan ajakan tersebut, kecuali Chrisye yang ragu karena masalah di keluarganya. Alhasil awal 1973, Gipsy dengan personel Adji Bandy (biola dan saksofon), Lulu Soemaryo (saksofon), Rully Djohan (kibor), Keenan (drum), dan Gauri (gitar) berangkat ke New York tanpa kehadiran Chrisye.[9]
Lantas setelah Chrisye sempat mengalami sakit akibat stress, Chrisye akhirnya memperoleh izin dari orang tuanya untuk terbang ke New York. Dengan ditemani Pontjo Sutowo, mereka disambut dengan senang oleh personel Gipsy lainnya setibanya di New York.[10]
1973–1974: Kehidupan di New York
Sepanjang Gipsy manggung di New York, Pertamina memang memiliki dana yang cukup untuk menyediakan fasilitas yang lebih dari layak. Apartemen yang mereka tinggali terletak di Fifth Avenue dengan fasilitasnya yang komplit, dan cukup untuk dihuni enam sampai tujuh orang.[10]
Tempat yang menjadi arena manggung Gipsy merupakan sebuah restoran bernama Ramayana yang dikelola oleh Pertamina. Tempat ini didirikan dengan tujuan agar masyarakat Indonesia di sana bisa mendapatkan makanan dan nuansa khas Indonesia, sekaligus memperkenalkan budaya Indonesia pada warga Amerika Serikat. Formula pertunjukan the Gipsy di restoran Ramayana terbilang unik. Berbeda dengan penampilan-penampilan mereka di Jakarta, di restoran ini Gipsy diberikan waktu manggung antara satu sampai dua jam. Terkadang penampilan mereka diselingi dengan tari Bali atau atraksi musik tradisional.[11]
Pada masa-masa ini, Gipsy lebih sering membawakan lagu-lagu yang masih berkisar lagu-lagu top 40 di tangga lagu Amerika Serikat. Mereka juga mendengarkan siaran radio-radio untuk mengamati lagu-lagu apa saja yang sedang booming di Amerika Serikat. Cara mereka latihan juga berbeda dari biasanya. Musik mereka diusahakan semirip mungkin dengan lagu-lagu aslinya. Mulai dari cara menyanyikan, cangkok suara, harmonisasi kor, semuanya harus sama dengan lagu-lagu aslinya. Alhasil ketika Chrisye membawakan lagu "(I Can't Get No) Satisfaction" karya The Rolling Stones, Chrisye berujar harus menjadi Mick Jagger. prinsipnya adalah tampilan band harus sempurna seperti aslinya.[11]
Ada kalanya ketika Gipsy bosan latihan, mereka memilih jalan-jalan menikmati hiruk pikuk kota New York. Tak jarang mereka kembali ke apartemennya larut malam. Kalau mereka benar-benar merasa susah tidur, mereka pergi klub, lalu bermain bola meja hingga menjelang subuh.[12]
Selama di New York, hampir setiap malam selalu disuguhi makanan enak dalam jumlah tak terbatas oleh pihak restoran. Pihak restoran juga memberi uang makan untuk makan siang. Uang tersebut mereka gunakan untuk memasak makanan sendiri di apartemennya. Tak jarang mereka juga pergi ke kedai-kedai dekat apartemen untuk membeli sandwich atau steak. Menonton konser-konser besar juga mengisi kebosanan mereka selama di New York. Chrisye berujar menonton konser grup musik Yes dan Chick Corea merupakan anugerah bukan kepalang.[12]
Perlahan kehidupan Gipsy di New York mengalami kejenuhan. Sudah hampir setahun pentas di New York, mereka menjadi The Beatles, menjadi The Rolling Stones, menjadi Chicago. Mereka merasa menerima "roh" grup band lain dan menjadi diri mereka. Chrisye mengakui malu dan baru menyadari bahwa seharusnya Ia tidak perlu sebangga itu. Menyanyikan lagu orang lain, menjiplak suara, bahkan menghilangkan karakter diri sendiri. Namun karena mereka dibayar, mau tidak mau mereka harus melakukan hal seperti itu sampai penampilan terakhirnya di penghujung 1973. Setelah itu Gipsy kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk vakum dari kegiatan bermusik.[13]
1974–1975: Masa vakum
Selama Gipsy vakum dari kegiatannya, Nasution bersaudara mulai sibuk dengan proyek permusikan yang lain. Salah satunya adalah sempat bergabung dengan God Bless pasca meninggalnya Soman Loebis dan Fuad Hasan.[14] Selain itu, mereka sering mengadakan pertemuan dengan Guruh Soekarnoputra, putra mendiang Presiden Soekarno untuk menciptakan sebuah musik yang berbeda dengan musik lainnya. Mereka juga mengajak I Gusti Kompyang Raka, musisi tradisional asal Bali dalam pengerjaannya. Sedangkan Chrisye kembali ke New York bersama grup musik The Pro's sampai pertengahan tahun 1975 untuk memenuhi kontraknya dengan restoran Ramayana.[15]
Pada tahun 1975, Nasution bersaudara dan Guruh ternyata sudah jauh berjalan dengan konsep musik mereka kerjakan. Hasilnya, mereka sudah selesai menciptakan sejumlah lagu dan sudah mantap dengan konsep musik yang mereka buat. Lantas Chrisye pun langsung segera dipanggil. Guruh berniat membuat satu album idealis yang menggabungkan musik barat dan musik tradisional. Keenan mengatakan Guruh berhasrat mengajak puluhan pemusik tradisional, dan sejumlah pemain gesek yang bisa memperkuat orkestra. Praktis untuk mendukung jalannya proyek ini, Gipsy pun dihidupkan kembali dengan personel Keenan (vokal, drum, rebana), Chrisye (vokal, bass, gerong), Abadi Soesman (kibor), Oding Nasution (gitar), dan Roni Harahap (organ, gerong). Sebagai kolaborator utama, Guruh Soekarnoputra memegang kendali sebagai pemain piano, penabuh gender Jawa, gentorak, bajra, dan gerong.[16]
Album tersebut dinamakan Guruh Gipsy, dirilis pada 20 Maret 1977 dengan jumlah hanya 5000 keping untuk diedarkan ke pasaran.[2] Label yang menaungi perilisan Guruh Gipsy adalah CV. Dela Rohita dengan pendistribusian ditangani oleh Pramaqua.[17][18] Menjelang peluncuran album ini, Guruh bernisiatif menerbitkan sebuah buku setebal 32 halaman yang mengabadikan cerita kerja di balik album ini dan berikut proses kreatifnya.[18] Album tersebut dijual di tempat-tempat yang jauh dari hingar-bingar permusikan seperti apotek dan salon, bukan di toko kaset pada umumnya.[19] Sebagai bagian dari promosi album Guruh Gipsy, mereka lantas pergi dari satu radio ke radio lain untuk diwawancara, dan juga mengadakan pertunjukan konser di Jakarta.[20]
1977: Kesibukan masing-masing dan bubar
Walaupun tidak ada pernyataan resmi tentang bubarnya Gipsy, namun pasca dirilisnya Guruh Gipsy, Gipsy tidak lagi produktif dalam penggarapan proyek musik apapun. Hal ini karena banyak personel Gipsy yang memutuskan untuk fokus bersolo karir. Chrsiye sukses dengan lagunya yang berjudul Lilin-Lilin Kecil, membawanya kepada proyek Badai Pasti Berlalu bersama Eros Djarot.[21] Keenan Nasution memilih fokus bersolo karir dan ikut andil dalam penyelenggaraan Lomba Cipta Lagu Remaja yang diadakan oleh radio Prambors.[22] Abadi Soesman memilih bersolo karir dan direkrut oleh God Bless sebagai pemain kibor yang baru.[23] Oding Nasution memilih bergabung dengan Prambors Band[24], sedangkan Roni Harahap ikut membantu Chrisye dalam penggarapan album studio pertamanya, Sabda Alam.[25]
1977–sekarang: Setelah bubar
1970-an
Setelah suksesnya album Badai Pasti Berlalu, Chrisye, Keenan, Oding, dan Roni dipertemukan kembali dengan membentuk sebuah grup musik baru bernama Badai Band. Kemudian Badai Band mengikuti tur ke kota-kota di Indonesia dan turut mengisi album Yockie Suryo Prayogo yang dinamakan Musik Saya adalah Saya.[26][27]
2000-an
Pada tahun 2006, Shadoks Music, sebuah label rekaman asal Jerman, merilis ulang Guruh Gipsy ke dalam format piringan hitam. Namun menurut Keenan, rilisan tersebut sama sekali tidak mendapatkan izin dari Guruh, ataupun Gispy pada saat itu. Akhirnya rilisan tersebut ditarik kembali setelah Keenan mengirimkan email kepada managemen Shadoks.[28]
Di tahun yang sama, Gipsy mengadakan reuni pertamanya di Bugs Cafe Pondok Indah. Acara ini menjadi salah satu penampilan terakhir Chrisye sebelum meninggal di tahun 2007.[29]
Pada tahun 2009, 2 tahun setelah Chrisye meninggal, Gipsy kembali mengadakan reuni di acara Kick Andy dengan membawakan lagu "Indonesia Maharddhika".[30]
2010-an
Pada tahun 2012, Leonardo Pavkovic pemilik label MoonJune asal New York datang menemui Keenan untuk meminta izin merilis Guruh Gipsy secara internasional. Namun sampai sekarang ini belum ada kesepakatan yang konkrit antara Guruh Soekarnoputra, Gipsy, dan MoonJune.[28]
Pada tahun 2014, Guruh sempat akan mewacanakan perilisan ulang Guruh Gipsy ke dalam rilisan piringan hitam. Namun sampai sekarang ini belum ada kepastian kapan Guruh Gipsy akan dirilis kembali.[31]
Warisan
Pengalaman-pengalaman di Gipsy menjadikan bekal para personelnya di kemudian hari. Chrisye mengatakan pengalaman selama di Gipsy membantunya dalam berkolaborasi dengan grup musik atau musikus lain ketika Ia bersolo karir.[32]Guruh Gipsy juga mendapatkan penilaian luar biasa. Album tersebut dianggap sebagai landmark album yang sangat mempengaruhi perkembangan industri musik di Indonesia.[33] Pada tahun 2007, Guruh Gipsy dinobatkan sebagai album Indonesia terbaik ke-2 sepanjang masa oleh majalah Rolling StoneIndonesia edisi #32 terbitan Desember 2007.[34]
^Berdasarkan penuturan Pontjo Sutowo ketika diwawancara oleh Denny Sakrie, pergantian nama dari Sabda Nada ke Gipsy terjadi sekitar tahun 1968.[4] Namun berdasarkan penuturan Chrisye ketika diwawancara dengan Alberthiene Endah, pergantian nama dari Sabda Nada ke Gipsy terjadi pada tahun 1969.[7]