Epikuros (bahasa Yunani Kuno: Ἐπίκουρος, Epíkouros, berarti "sekutu, rekan", lahir tahun 341 SM – meninggal tahun 270 SM) adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang mendirikan sebuah mazhab filsafat yang disebut epikureanisme. Ia lahir di Pulau Samos di Yunani dari orang tua yang berasal dari Athena. Pemikirannya dipengaruhi oleh Demokritos, Aristoteles, dan mungkin juga oleh para filsuf beraliran sinisisme. Epikuros menentang aliran platonisme yang populer pada masanya dan ia juga mendirikan sekolahnya sendiri yang dijuluki "Kebun" di Athena. Sebagai seorang penulis ulung, ia konon telah menulis banyak sekali karya, tetapi sebagian besar sudah hilang ditelan zaman. Yang tersisa kini hanya tiga surat yang ditulis olehnya (Surat kepada Menoikeus, Pitokles, dan Herodotos) dan dua rangkaian kutipan (Ajaran Pokok dan Pepatah Vatikan), ditambah dengan beberapa penggalan dan kutipan tulisannya yang lain. Ajarannya dicatat dengan baik oleh penulis-penulis dari zaman lain, seperti penyair RomawiLucretius dan seorang penulis biografi Yunani yang bernama Diogenes Laërtius.
Bagi Epikuros, tujuan filsafat adalah untuk mewujudkan kehidupan yang tenang dan bahagia berupa perpaduan ataraxia (ketiadaan ketakutan, kegelisahan, ataupun kecemasan) dan aponia (ketiadaan rasa sakit), dan juga dengan menjalin persahabatan. Ia mengajarkan bahwa akar dari segala penderitaan adalah penolakan kematian dan kecenderungan manusia untuk membayangkan bahwa kematian itu mengerikan dan menyakitkan. Menurutnya, hal ini telah menimbulkan kecemasan yang tidak perlu. Epikuros sendiri berpandangan bahwa kematian adalah akhir dari tubuh maupun jiwa, sehingga tidak perlu ditakuti. Walaupun Epikuros percaya akan keberadaan para dewa, ia yakin bahwa mereka tidak ikut campur dalam urusan manusia dan juga tidak mengazab ataupun mengaruniai orang berdasarkan tindakan mereka. Epikuros juga mengajarkan bahwa orang tetap perlu berbuat baik kepada sesama, karena jika mereka bertindak jahat, rasa bersalah akan menghantui mereka dan membuat mereka tidak dapat mencapai ataraxia.
Epikuros beraliran empirisisme seperti Aristoteles. Dalam kata lain, ia percaya bahwa indra adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat diandalkan di dunia. Dalam bidang fisika, ia mendukung gagasan materialisme seperti Demokritos. Epikuros mengajarkan bahwa alam semesta itu tidak terbatas dan abadi, dan semua materi terdiri dari partikel-partikel kecil tak terlihat yang disebut atom. Semua peristiwa di dunia dihasilkan oleh pergerakan atom-atom di ruang kosong. Pemikiran Epikuros mengenai hal ini berbeda dengan Demokritos karena Epikuros juga mengajarkan mengenai "penyimpangan" atom: atom-atom dapat menyimpang dari arah yang seharusnya dilalui, dan proses inilah yang menghasilkan kehendak bebas pada diri manusia.
Pemikiran Epikuros telah menyebar luas pada zaman kuno, dan para penganut epikureanisme bahkan mengagumi sosoknya sebagai guru besar, penyelamat, atau dewa. Namun, ajaran Epikuros sudah menuai kontroversi sedari awal, termasuk ketika ia diusir dari Mitilene karena telah membuat resah penduduknya. Epikureanisme sendiri mencapai puncak kejayaannya pada tahun-tahun terakhir Republik Romawi, tetapi kemudian aliran ini mengalami kemunduran dan kalah dengan mazhab stoisisme yang merupakan saingannya. Epikureanisme mati pada zaman kuno akhir ketika Kekristenan tengah mengalami perkembangan pesat. Ajarannya kembali dikenal pada abad kelima belas berkat penemuan naskah-naskah penting, tetapi epikureanisme baru dapat diterima pada abad ketujuh belas setelah imam Katolik Prancis Pierre Gassendi membangkitkan kembali gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya. Epikureanisme kemudian memengaruhi gagasan berbagai tokoh penting pada Abad Pencerahan dan sesudahnya, seperti John Locke, Thomas Jefferson, dan Karl Marx.
Peta yang menunjukkan tempat-tempat yang terkait dengan Epikuros
Epikuros dilahirkan di sebuah permukiman orang Athena di Pulau Samos pada Februari 341 SM.[1][2] Ayahnya bernama Neokles, salah satu dari dua ribu warga Athena yang dikirim ke pulau tersebut pada tahun 352 SM. Neokles memiliki sebuah sekolah dasar, kemungkinan di Samos atau Kolofon.[3] Sementara itu, ibunya bernama Kairestrate.[4] Epikuros memiliki tiga saudara lelaki, yaitu Neokles, Kairedemos, dan Aristobulos. Neokles adalah anak sulung, dan Epikuros mungkin adalah anak kedua, tetapi hal ini tidak dapat dipastikan.[5] Epikuros tumbuh besar pada tahun-tahun terakhir Zaman Klasik Yunani.[6]Plato sudah meninggal dunia tujuh tahun sebelum Epikuros dilahirkan, dan Epikuros berumur tujuh tahun ketika Raja MakedoniaAleksander Agung menyeberangi Hellespontos (Selat Dardanella pemisah Asia dan Eropa) dan bergerak menuju Persia bersama dengan pasukannya.[7] Saat masih kecil, Epikuros memperoleh pendidikan seperti anak lelaki Yunani kuno lainnya. Menurut Norman Wentworth DeWitt, kemungkinan besar ia telah dibekali pelatihan dalam bidang geometri, dialektika, dan retorika.[8] Epikuros pernah belajar dari seorang tokoh platonis dari Samos yang bernama Pamfilos, kemungkinan selama sekitar empat tahun.[8]Surat kepada Menoikeus karya Epikuros dan penggalan-penggalan tulisannya yang lain, menyiratkan bahwa ia sangat terlatih dalam bidang retorika.[8][9] Pada saat ia berumur delapan belas tahun, ia dipanggil untuk mengikuti wajib militer selama dua tahun di Athena.[10] Namun, setelah Aleksander Agung mangkat, salah satu mantan panglimanya, Perdikas, mengusir para pemukim Athena di Pulau Samos ke Kolofon di wilayah pesisir Anatolia.[9] Sesudah Epikuros menyelesaikan dinas militernya, ia ikut dengan keluarganya di kota tersebut, dan ia berguru dari Nausifanes yang mengikuti ajaran Demokritos.[9]
Ajaran Epikuros sangat dipengaruhi oleh ajaran filsuf-filsuf sebelumnya, terutama Demokritos. Walaupun begitu, Epikuros memiliki pemikiran yang berbeda soal determinisme dan ia juga menampik pernyataan bahwa ia telah dipengaruhi oleh filsuf manapun, yang ia anggap sebagai orang-orang yang "kebingungan'. Ia justru bersikeras bahwa ia "belajar sendiri".[12][13] Akan tetapi, menurut DeWitt, ajaran Epikuros menunjukkan pengaruh dari mazhab sinisisme.[14] Filsuf Diogenes dari Sinope yang beraliran sinisisme masih hidup ketika Epikuros kemungkinan berada di Athena untuk menjalani pelatihan militernya, dan ada kemungkinan mereka pernah bertemu.[14] Murid Diogenes yang bernama Krates dari Tivai (sekitar tahun 365 – 285 SM) adalah orang yang lebih sebaya dengan Epikuros.[14] Epikuros setuju dengan pencarian kejujuran kaum sinis, tetapi ia menolak "kekurangajaran dan kekasaran" mereka, dan sebagai gantinya Epikuros mengajarkan bahwa kejujuran harus beriringan dengan kebaikan dan kesopanan.[14] Dalam hal ini ia memiliki pandangan yang sama dengan dramawan Menandros yang sezaman dengannya.[15]
Surat kepada Menoikeus (yang mungkin merupakan salah satu karya pertamanya) ditulis dengan gaya penyampaian yang lancar dan serupa dengan ahli retorika asal Athena, Isokrates (436–338 SM), tetapi dalam karya-karyanya yang ditulis belakangan, ia tampaknya telah mengadopsi gaya matematikawan Euklides yang sederhana dan intelektual.[14]Epistemologi ala Epikuros juga tampak sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles (384–322 SM), yang menolak gagasan Plato mengenai nalar dan lebih mendukung penggunaan alam dan bukti empiris untuk memahami alam semesta. Pada tahun-tahun pendidikan Epikuros, pemahaman orang Yunani mengenai dunia terus meluas berkat proses helenisasi terhadap wilayah Timur Dekat dan juga pendirian kerajaan-kerajaan Helenistik di wilayah tersebut. Maka dari itu, filsafat Epikuros memiliki sudut pandang yang lebih universal daripada pendahulunya, karena ia juga mempertimbangkan orang yang bukan Yunani. Ia mungkin dapat membaca tulisan sejarah dan ahli etnografi Megastenes yang kini sudah hilang ditelan zaman; Megastenes menulis pada masa kekuasaan Seleukos I Nikator (berkuasa 305–281 SM) di Kekaisaran Seleukia.[11]
Karier mengajar
Platonisme, mazhab filsafat yang berasal dari Plato, merupakan filsafat yang paling banyak dianut oleh kalangan terdidik pada masa kehidupan Epikuros.[16] Banyak pemikiran Epikuros yang terkait dengan penolakannya terhadap platonisme.[17][18] Lebih dari setengah dari empat puluh ajaran pokok filsafatnya (disebut mazhab epikureanisme) secara terang-terangan membantah platonisme. Pada kisaran tahun 311 SM, ketika Epikuros berumur sekitar tiga puluh tahun, ia mulai mengajar di Mitilene.[17][9] Pada masa ini, Zeno dari Kition (yang merupakan pendiri aliran stoisisme) tiba di Athena saat masih berumur sekitar dua puluh satu tahun. Walaupun tulisan-tulisan yang dibuat pada masa berikutnya (seperti tulisan oratorRomawiCicero pada abad pertama SM) menggambarkan epikureanisme dan stoisisme sebagai dua aliran yang saling bermusuhan, persaingan ini tampaknya baru muncul belakangan dan bukan pada masa kehidupan Epikuros.[17]
Ajaran Epikuros mengakibatkan keresahan di Mitilene, sehingga ia terpaksa pergi pada tahun 310 SM.[19][20] Tidak diketahui secara pasti mengapa Epikuros telah membuat murka rakyat Mitilene.[21] Ia kemudian mendirikan sebuah sekolah di Lampsakos sebelum akhirnya kembali ke Athena pada kisaran tahun 306 SM, dan ia menetap di situ hingga kematiannya.[1] Di kota ini ia mendirikan "Kebun" (bahasa Yunani Kuno: κῆπος), yaitu sebuah sekolah yang dinamai dari kebun miliknya yang dijadikan sebagai tempat pertemuan sekolah tersebut.[9] "Kebun" ini bukan sekadar sekolah; menurut Pamela Gordon, "Kebun" adalah "komunitas pengamal gaya hidup tertentu".[2] Beberapa muridnya yang terkenal adalah Hermarkos, Idomeneus dari Lampsakos, Leonteus dan istrinya Temiste, ahli satirKolotes, matematikawan Poliainos dari Lampsakos, serta Metrodoros dari Lampsakos (salah satu pendukung epikureanisme yang paling terkenal).[22]
Menurut Diskin Clay, Epikuros menetapkan kebiasaan merayakan hari ulang tahun setiap tahun dengan perjamuan yang sepadan dengan kedudukannya sebagai heros ktistes ("pahlawan pendiri") Kebun. Dalam wasiatnya, ia memerintahkan pengadaan perjamuan tahunan untuk dirinya pada tanggal yang sama (tanggal 10 pada bulan Gamelion).[23] Komunitas Epikurean meneruskan tradisi ini sepeninggal Epikuros.[24]
Kematian
Penulis Yunani Diogenes Laërtius (dari abad ketiga M) mencatat pernyataan Hermarkos sebagai penerus Epikuros bahwa Epikuros meninggal secara perlahan dan menyakitkan pada tahun 270 SM saat ia berumur 72 tahun akibat batu saluran kemih. Walaupun sangat kesakitan, Epikuros konon tetap ceria dan berjuang hingga akhir hayat.[25] Rincian mengenai kematian Epikuros dicatat dalam Surat kepada Idomeneus yang sangat singkat dan dimasukkan dalam Buku X Kehidupan dan Pendapat Filsuf-filsuf Tersohor karya Laërtius.[26] Keaslian surat ini masih belum pasti dan bisa saja isinya dikarang oleh seseorang yang pro-Epikuros untuk menggambarkannya sebagai sosok yang mengagumkan dan juga untuk melawan banyaknya surat palsu yang memakai nama Epikuros dengan isi yang membuat dirinya tampak jelek.[26]
Aku telah menulis surat ini kepadamu pada suatu hari yang bahagia untukku, yang juga merupakan hari terakhir dalam kehidupanku. Karena aku telah diserang oleh ketidakmampuan untuk membuang air yang sangat menyakitkan, dan juga disentri, sangat parah sampai-sampai tidak ada lagi yang bisa menambah penderitaanku. Tetapi keceriaan pikiranku, yang datang dari ingatan akan segala renungan filosofisku, menyeimbangi segala kesakitan ini. Dan aku memohon kepadamu untuk merawat anak-anak Metrodoros, dengan cara yang sepadan dengan segala bakti yang telah ditunjukkan oleh anak muda ini kepadaku, dan juga kepada filsafat.[27]
Jika surat ini memang asli, Epikuros berarti adalah orang yang memang ceria hingga ajal menjemput[26] dan peduli dengan kebahagiaan anak-anak.[28]
Epikuros dan pengikutnya telah mengembangkan epistemologi (teori mengenai hakikat pengetahuan) yang rinci, salah satunya akibat persaingan mereka dengan mazhab-mazhab filsafat lainnya. Walaupun begitu, tidak ada naskah tunggal yang menjelaskan epistemologi Epikuros secara lengkap dan jelas, sehingga para ahli harus meniliknya dari sejumlah naskah.[30][31] Epikuros pernah menulis sebuah risalah yang berjudul Κανών, atau Aturan, dan dalam karyanya ini ia menjelaskan metode penyelidikan dan teori pengetahuan. Namun, buku ini sudah hilang ditelan zaman.[32] Seperti Aristoteles, Epikuros adalah pendukung gagasan empirisisme. Ia meyakini bahwa indra adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang tepercaya di dunia.[11][33][34] Epikuros menolak gagasan Plato bahwa nalar adalah sumber pengetahuan yang tepercaya mengenai dunia dan terpisah dari indra,[11] dan ia juga sangat menentang kaum skeptik yang tidak hanya mempertanyakan kemampuan indra dalam mencari pengetahuan, tetapi juga menegaskan bahwa manusia tidak dapat mengetahui apapun mengenai dunia.[35]
Epikuros menyatakan bahwa indra tidak pernah memperdaya manusia, tetapi indra bisa disalahtafsirkan oleh budi.[36][37] Epikuros berpandangan bahwa tujuan segala pengetahuan adalah untuk membantu manusia mencapai ataraxia,[38][39] yaitu suatu keadaan ketika seseorang sepenuhnya bebas dari segala rasa penyesalan, takut, atau cemas.[40] Ia mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman dan tidak melekat dari lahir.[41] Epikuros juga berpandangan bahwa orang perlu menerima kebenaran dari hal-hal yang ia persepsikan demi kesehatan moral dan spiritualnya.[42][39] Dalam Surat kepada Pitokles, ia menulis, "Apabila seseorang melawan bukti jelas dari indranya, ia tidak akan pernah ikut andil dalam ketenangan yang sejati."[43] Epikuros menganggap kata hati sebagai otoritas tertinggi dalam hal moralitas. Ia juga berpandangan bahwa rasa benar atau salah itu jauh lebih dapat diandalkan daripada pepatah, aturan etika, atau bahkan nalar, dalam menentukan apakah suatu tindakan itu memang benar atau salah.[44]
Epikuros membagi objek penelitian menjadi dua, yaitu yang bisa dan yang tak bisa diselidiki langsung.[45] Ia meyakini bahwa segala pernyataan yang bertentangan dengan pengalaman seseorang itu pasti salah,[46] sementara pernyataan-pernyataan yang tidak bertentangan secara langsung masih bisa benar. Dengan pendekatan semacam ini, sulit bagi kaum Epikurean untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dipersepsikan oleh manusia (seperti pergerakan atom) ataupun yang terlalu jauh untuk diselidiki secara langsung (misalnya benda-benda langit).[47] Untuk menjawab permasalahan ini, kaum Epikurean sering mengandalkan analogi dengan pengalaman sehari-hari.[48] Sementara itu, sehubungan dengan adanya pernyataan yang tidak bertentangan langsung dengan pengalaman seseorang tetapi tidak bisa diselidiki secara langsung,[45] kaum Epikurean percaya bahwa semua peristiwa di dunia punya sejumlah penyebab yang sama-sama mungkin benar.[49] Penyair Romawi Lucretius (sekitar tahun 99 – 55 SM) yang merupakan pengikut setia ajaran Epikuros menulis dalam karyanya yang berjudul De rerum natura:
Terdapat pula beberapa hal yang tidak cukup untuk dinyatakan satu penyebab saja, tetapi beberapa, akan tetapi hanya satu yang benar. Sebagaimana anda melihat mayat tak bernyawa yang terbaring di kejauhan, alangkah baiknya mendaftarkan semua penyebab kematian secara berurutan untuk memastikan agar penyebab tunggal kematian ini dapat ditetapkan. Karena anda tidak akan bisa menyimpulkan bahwa ia meninggal akibat pedang atau dingin atau penyakit atau mungkin racun, tetapi kita tahu bahwa ada sesuatu semacam ini yang terjadi kepadanya.[50]
Epikuros sendiri lebih mengutamakan penjelasan naturalistik daripada yang teologis; dari sudut pandang Epikurean, penjelasan teologis dianggap tidak berguna karena tidak dapat dipastikan kebenaran atau kesalahannya.[51] Dalam Surat kepada Pitokles, ia menyampaikan empat penjelasan naturalistik yang mungkin untuk fenomena guntur, enam penjelasan yang mungkin untuk petir, tiga untuk salju, tiga untuk komet, dua untuk pelangi, dua untuk gempa bumi, dan lain-lain. Walaupun penjelasan-penjelasan ini kini terbukti salah, pemikiran Epikuros tetap penting dalam sejarah ilmu pengetahuan, karena ia mencoba menjelaskan fenomena alam dengan penjelasan alam juga dan tidak mengarang kisah-kisah panjang mengenai para dewa dan pahlawan.[52]
Etika
Epikuros adalah seorang hedonis dalam artian ia mengajarkan bahwa hal-hal yang membahagiakan itu baik secara moral dan hal yang menyakitkan itu jahat.[53][54][55][2] Ia mendefinisikan "kenikmatan" sebagai ketiadaan penderitaan.[54][2] Berdasarkan definisi ini, kenikmatan seseorang dapat terus meningkat seiring dengan berkurangnya rasa sakit. Begitu rasa sakitnya sudah hilang sepenuhnya, kenikmatan duniawinya telah mencapai batas, yang disebut dengan aponia.[40] Epikuros sendiri mengajarkan bahwa semua manusia sebaiknya mencoba mencapai ataraxia,[56] yang juga bisa disebut "ketenangan jiwa" atau ketiadaan kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan. Jika seseorang yakin bahwa aponia yang dinikmatinya akan terus berlanjut, ia juga akan mencapai batas kenikmatan pikiran, karena kenikmatan dan penderitaan pikiran bergantung pada kenikmatan dan penderitaan jasmani. Ataraxia adalah kenikmatan pikiran ini, dan perpaduan antara aponia dan ataraxia dipandang sebagai puncak kebahagiaan.[40]
Ia berpendapat bahwa sebagian besar dari penderitaan yang dialami manusia disebabkan oleh ketakutan yang tidak rasional akan kematian, azab, dan penghukuman di akhirat.[57][58] Dalam Surat kepada Menoikeus, Epikuros menjelaskan orang mencari kekayaan dan kekuatan akibat ketakutan-ketakutan ini dengan keyakinan bahwa uang, martabat, atau kuasa politik akan menyelamatkan mereka dari kematian.[57][58] Namun, ia menegaskan bahwa kematian adalah akhir dari keberadaan. Selain itu, ia menyatakan bahwa kisah-kisah menakutkan mengenai hukuman di akhirat adalah takhayul yang konyol, sehingga baginya kematian bukanlah sesuatu yang patut ditakuti.[57][58][59] Ia menulis dalam Surat kepada Menoikeus: "Biasakan dirimu untuk meyakini bahwa kematian tidak berpengaruh apa-apa bagi kita, karena kebaikan dan kejahatan menyiratkan adanya kondisi sadar, dan kematian adalah ketiadaan semua kondisi sadar;... Maka dari itu, kematian, yang paling buruk dari segala kejahatan, bukan apa-apa bagi kita, mengingat bahwa, ketika kita [mati], kematian tidak datang, dan, ketika kematian datang, kita tidak [mati]."[60] Dari ajaran inilah muncul pepatah: Non fui, fui, non sum, non curo ("Dulu aku tiada, lalu ada. Kini aku tiada, aku tak peduli"), yang terukir di batu-batu nisan para pengikut Epikuros dan juga sering ditemui di batu-batu nisan di Kekaisaran Romawi. Kutipan ini kini masih sering digunakan di pemakaman kaum humanis.[61]
Walaupun ajaran Epikuros sering disalahtafsirkan sebagai pendukung upaya untuk mencari kenikmatan duniawi secara berlebihan, ia justru malah menyatakan bahwa seseorang hanya bisa bahagia dan terbebas dari penderitaan jika ia hidup dengan bijak, tidak mabuk, dan bermoral.[54][62][63] Ia sangat menentang birahi yang berlebihan dan memperingatkan bahwa manusia harus selalu mempertimbangkan apakah tindakannya akan mengakibatkan penderitaan atau tidak.[54][64][55][63] Ia menulis, "Hidup yang nikmat bukan berasal dari serangkaian kegiatan minum-minum dan pesta pora, dan bukan juga dari kenikmatan jaka dan perempuan, ataupun dari ikan dan yang lainnya di menu mahal, tetapi dari penalaran yang tak terpengaruh oleh minuman keras."[54] Ia juga menambahkan bahwa satu potong keju yang bagus bisa saja sama memuaskannya dengan semua makanan di acara kenduri.[55][65] Selain itu, Epikuros mengajarkan bahwa "tidak mungkin hidup nikmat jika tidak hidup dengan bijaksana dan mulia dan adil", karena orang yang tidak jujur atau tidak adil dalam berperilaku akan "dipenuhi dengan masalah" mengingat ia akan terus merasa bersalah dan juga takut kesalahannya diketahui orang lain.[54][66] Sementara itu, orang yang baik dan adil kepada orang lain tidak perlu takut apapun dan lebih mungkin mencapai ataraxia.[54][66]
Epikuros membedakan dua jenis kenikmatan: kenikmatan yang "bergerak" (κατὰ κίνησιν ἡδοναί) dan yang "diam" (καταστηματικαὶ ἡδοναί).[67] Kenikmatan yang "bergerak" muncul ketika seseorang sedang memenuhi suatu hasrat dan indra-indranya sedang terangsang.[67] Setelah hasratnya sudah dipenuhi (contohnya saat seseorang sudah kenyang), kenikmatan ini dengan segera hilang dan lalu muncul lagi penderitaan akibat keinginan untuk memenuhi hasrat itu lagi.[67][68] Sementara itu, kenikmatan yang "diam" mengacu pada kenikmatan yang timbul saat sudah tidak lagi berhasrat akan sesuatu, contohnya ketika seseorang sudah kenyang setelah makan. Bagi Epikuros, kenikmatan yang diam adalah kenikmatan terbaik karena kenikmatan yang bergerak selalu terikat dengan rasa sakit.[67][68] Epikuros menganggap buruk seks dan pernikahan.[69] Ia justru menyatakan bahwa yang penting untuk kehidupan yang bahagia adalah persahabatan.[70] Salah satu Ajaran Pokok-nya berbunyi, "Di antara segala sesuatu yang dihasilkan hikmat demi kebahagiaan seumur hidup, yang paling penting adalah menjalin persahabatan."[71] Ia juga mengajarkan bahwa berkecimpung dalam bidang filsafat adalah suatu hal yang menyenangkan.[70] Salah satu kutipan Epikuros yang tercatat dalam Pepatah Vatikan menyatakan, "Dalam pencarian yang lain, buahnya diperoleh dengan susah payah di akhir. Tetapi dalam filsafat, kegembiraan beriringan dengan pengetahuan. Kenikmatannya tidak datang setelah pelajaran: pembelajaran dan kenikmatan berlangsung bersamaan."[71]
Akibat keterkaitan antara kenikmatan dengan hasrat, Epikuros juga membedakan tiga jenis hasrat, yaitu "hasrat alami dan perlu", "hasrat alami dan tidak perlu", serta "hasrat angkuh dan kosong". "Hasrat alami dan perlu" mudah untuk dipenuhi, dapat membawa kenikmatan yang besar jika terpenuhi, dan penting bagi kelangsungan hidup; contohnya adalah hasrat untuk makan. Sementara itu, "hasrat alami dan tidak perlu" merupakan hasrat kodrati yang sebenarnya tidak dibutuhkan demi kelangsungan hidup. Contohnya adalah hasrat untuk makan makanan mewah; walaupun semua manusia perlu makan, orang masih bisa hidup dengan makanan yang sederhana. Di sisi lain, "hasrat angkuh dan kosong" adalah hasrat akan sesuatu yang tidak memiliki batas, sehingga sulit dipenuhi dan malah membuat orang menginginkan lebih. Contohnya adalah hasrat untuk berkuasa, memperoleh kekayaan, atau menjadi terkenal. Untuk mencapai kebahagiaan, Epikuros menganjurkan manusia untuk meminimalkan hasrat agar hasrat tersebut mudah dipenuhi. Dengan ini penderitaan yang timbul dari hasrat yang tak terpenuhi dapat dihilangkan, dan begitu pula dengan kecemasan bahwa suatu hasrat tidak akan terpenuhi.[67]
Fisika
Epikuros menulis dalam Surat kepada Herodotos bahwa "tidak ada yang bisa muncul dari ketiadaan", sehingga semua peristiwa punya penyebab tanpa memandang apakah sebabnya sudah diketahui atau belum.[72] Ia juga menulis bahwa tidak ada yang menjadi tiada, karena jika ada suatu benda yang sepenuhnya binasa, segala sesuatu yang ada di dunia ini seharusnya juga musnah, karena benda-benda tersebut hilang menuju ketiadaan. Oleh sebab itu, ia berkata bahwa keseluruhan dari segala sesuatu yang ada itu sama dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang, karena benda tidak dapat musnah menuju ketiadaan, dan juga tidak ada sesuatu di luar keseluruhan dari keberadaan tersebut yang dapat mengubah hal ini.[73] Seperti Demokritos dari masa sebelumnya, Epikuros mengajarkan bahwa semua materi terbuat dari partikel-partikel sangat kecil yang disebut "atom" (bahasa Yunani: ἄτομος; atomos, berarti "tidak dapat dibagi").[74] Bagi Epikuros dan para pengikutnya, keberadaan atom dapat diketahui dari pengamatan empiris.[75] Dalam De rerum natura, Lucretius menyebutkan lapuknya benda-benda seiring berjalannya waktu (seperti batu-batuan yang semakin terkikis akibat tetesan air atau jalanan yang semakin memburuk akibat banyaknya orang yang berlalu lalang di atasnya) sebagai bukti keberadaan atom sebagai partikel-partikel yang kecil dan tak kelihatan.[75]
Epikuros juga penganut materialisme seperti Demokritos. Ia mengajarkan bahwa satu-satunya yang ada adalah atom dan kekosongan.[76][9] Kekosongan ada di tempat yang tidak ada atom.[77] Epikuros dan pengikutnya percaya bahwa atom dan kekosongan itu tidak terbatas, sehingga alam semesta juga tak terbatas.[78] Dalam De rerum natura, Lucretius mencoba memperkuat pendapat ini dengan menggunakan contoh seorang lelaki yang melempar lembing di tempat yang mungkin menjadi batas suatu alam semesta yang terbatas.[79] Jika lembing ini terlempar ke luar batas alam semesta, sebenarnya tidak ada batas sama sekali. Di sisi lain, jika lembing tersebut terhalang oleh sesuatu dan tidak dapat keluar, berarti di luar ambang yang dianggap batas alam semesta sebenarnya masih ada benda lain yang menghalangi lembing itu.[79] Selain meyakini bahwa alam semesta dan jumlah atom di dalamnya itu tidak terbatas, Epikuros dan para pengikutnya juga meyakini bahwa jumlah dunia di alam semesta itu tidak terbatas.[80]
Epikuros mengajarkan bahwa pergerakan atom itu tetap, abadi, dan juga tanpa awal ataupun akhir. Ia meyakini bahwa terdapat dua macam pergerakan: pergerakan atom dan pergerakan benda tampak.[81] Keduanya merupakan pergerakan yang nyata dan bukan ilusi.[82] Demokritos menggambarkan atom sebagai sesuatu yang bergerak secara abadi, tetapi juga selalu terbang melalui ruang serta saling bertubrukan, bersatu, dan berpisah.[83] Epikuros memiliki pandangan yang berbeda dengan mencetuskan gagasan "penyimpangan" atom (παρέγκλισιςparénklisis; bahasa Latin: clinamen), yang merupakan salah satu gagasannya yang paling dikenal.[84] Menurut gagasan ini, atom yang bergerak mungkin membelok dari arah yang seharusnya dilewati.[84] Alasan Epikuros memperkenalkan gagasan ini adalah untuk memberikan ruang bagi konsep kehendak bebas dan tanggung jawab etika walaupun ia mendukung model atomisme yang deterministik.[85] Lucretius menjelaskan bahwa penyimpangan di tempat dan pada waktu yang tidak menentu inilah yang membuat manusia tidak selalu mengikuti apa yang dititahkan oleh dorongan batinnya dan "menderita seperti tawanan yang dirantai".[86]
Teologi
Dalam Surat kepada Menoikeus, Epikuros merangkum ajaran moral dan teologisnya. Nasihat pertama yang diberikan olehnya kepada para muridnya adalah: "Pertama-tama, yakini bahwa seorang dewa adalah hewan yang terberkati dan tak dapat dihancurkan, sesuai dengan gagasan umum mengenai dewa, dan jangan berikan kepada dewa itu sifat yang asing bagi ketakterhancurannya atau berlawanan dengan keterberkatannya."[88] Bagi Epikuros dan para pengikutnya, dewa-dewa jelas ada karena manusia secara empiris dapat merasakan keberadaan mereka. Ia tidak mengatakan bahwa para dewa bisa dilihat secara fisik, tetapi menurutnya orang-orang telah melihat penampakan para dewa dalam mimpi mereka, dan mimpi ini dikirim langsung dari para dewa di ruang angkasa ke dalam benak manusia. Menurut George K. Strodach, Epikuros sebenarnya bisa saja mengabaikan para dewa secara keseluruhan tanpa perlu mengubah sudut pandangnya yang materialis, tetapi bagi Epikuros dewa-dewa tetap memainkan peranan penting dalam teologi sebagai teladan moral sempurna yang sudah sepantasnya diikuti dan dikagumi.[89]
Epikuros menentang kepercayaan orang Yunani pada masa itu bahwa para dewa adalah sosok antropomorfik yang berjalan di bumi layaknya manusia biasa, mempunyai anak di luar nikah dari hubungan dengan manusia, atau saling bermusuhan.[89] Ia justru mengajarkan bahwa para dewa sempurna secara moral, tetapi merupakan sosok yang terpisah dan tidak bergerak di wilayah terpencil di ruang angkasa.[90] Maka dari itu, Epikuros menentang gagasan bahwa para dewa ikut campur dalam urusan manusia.[88][91] Epikuros menyatakan bahwa mereka sungguh sangat sempurna dan terpisah dari dunia sehingga mereka tidak dapat mendengarkan doa-doa atau permohonan manusia, dan mereka juga tidak melakukan apapun kecuali merenungkan kesempurnaan mereka sendiri.[90] Dalam Surat kepada Herodotos, ia secara khusus menampik pernyataan bahwa para dewa mengendalikan fenomena alam, karena menurutnya hal ini tidak hanya bertentangan dengan hakikat mereka yang sempurna, tetapi juga karena keterlibatan dalam urusan duniawi akan menodai kesempurnaan mereka. Selain itu, ia memperingatkan bahwa keyakinan mengenai para dewa yang mengendalikan fenomena alam dapat menyebarkan takhayul tentang para dewa yang menghukum manusia akibat kesalahannya, dan hal ini menurutnya hanya akan menakut-nakuti dan membuat orang tidak dapat mencapai ataraxia.[91]
Epikuros juga mengkritik agama rakyat dalam Surat kepada Menoikeus dan Surat kepada Herodotos.[92] Para penganut epikureanisme dari masa berikutnya juga mengambil pendekatan yang sama dengan Epikuros: mereka percaya dengan para dewa, tetapi menolak gagasan mengenai pemeliharaan alam semesta oleh dewa.[88] Akan tetapi, kritik mereka terhadap agama rakyat lebih keras daripada Epikuros.[93]Surat kepada Pitokles yang ditulis oleh seorang penganut epikureanisme ditulis dengan gaya yang meremehkan dan bermusuhan dengan agama rakyat. Lucretius juga menyerang agama rakyat dalam puisi filosofisnya, De rerum natura.[93] Dalam puisi ini, Lucretius menyatakan bahwa praktik agama rakyat tidak menanamkan kebajikan dan justru malah mengakibatkan kejahatan, dan ia menggunakan kisah pengorbanan Ifigenia sebagai contoh.[87] Lucretius berpendapat bahwa konsep tentang ciptaan dan pemeliharaan alam semesta oleh dewa itu tidak masuk akal bukan karena para dewa itu tidak ada, tetapi karena gagasan-gagasan ini tidak sesuai dengan pandangan epikureanisme mengenai ketakterhancuran dan keterberkatan dewa-dewa.[94][95]
Paradoks Epikuros
Paradoks Epikuros, teka-teki Epikuros, atau trilema Epikuros merupakan salah satu perumusan pertanyaan yang kini disebut masalah kejahatan. Lactantius dalam karyanya yang berjudul De Ira Dei mengatakan bahwa Epikuros pernah menyampaikan trilema berikut:
Tuhan, katanya, ingin menghilangkan kejahatan, tetapi tidak dapat; atau Ia dapat, tetapi tidak berniat; atau Ia tidak berniat dan tidak dapat, atau Ia berniat dan dapat. Jika Ia berniat dan tidak dapat, Ia lemah, yang tidak sesuai dengan sifat Tuhan; jika Ia dapat dan tidak berniat, ia dengki, yang juga berbeda dengan Tuhan; jika Ia tidak berniat dan tidak dapat, Ia dengki dan lemah, sehingga bukan Tuhan; jika Ia berniat dan dapat, yang sesuai dengan Tuhan, maka dari manakah kejahatan? Atau kenapa Ia tidak menghilangkannya?[97]
Dalam Dialogues concerning Natural Religion (1779), David Hume juga mengaitkan argumen ini kepada Epikuros:
Pertanyaan-pertanyaan lama Epikuros masih belum terjawab. Apakah [Tuhan] berniat mencegah kejahatan, tetapi tidak dapat? maka apakah ia tak berdaya. Apakah ia dapat, tetapi tidak berniat? Maka apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah kejahatan?[98]
Namun, dari semua tulisan Epikuros yang sudah ditemukan, tidak ada satu pun yang mengandung argumen ini.[96] Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa sebagian besar karya Epikuros sudah hilang ditelan zaman, dan mungkin saja argumen ini ada dalam risalahnya yang sudah tiada, Tentang Para Dewa, yang dikatakan oleh Diogenes Laërtius sebagai salah satu karya terbaik Epikuros. Jika Epikuros memang pernah menyampaikan argumen semacam ini, kemungkinan ini bukan argumen yang mengingkari keberadaan para dewa, tetapi hanya sekadar argumen yang menentang gagasan mengenai kekuasaan para dewa.[96] Tulisan-tulisan Epikuros yang masih ada menunjukkan bahwa ia percaya para dewa itu ada. Selain itu, agama sangat melekat pada kehidupan sehari-hari rakyat Yunani pada awal periode Helenistik, sehingga kemungkinan pada masa itu belum ada orang yang benar-benar ateis seperti pada zaman modern. Di sisi lain, istilah ἄθεος (átheos) dalam bahasa Yunani (yang berarti "tak bertuhan") pada masa itu digunakan sebagai ejekan dan bukan untuk mendeskripsikan kepercayaan seseorang.[88]
Politik
Epikuros juga mengembangkan gagasan mengenai keadilan sebagai kontrak sosial. Manusia membentuk masyarakat agar dapat terlepas dari marabahaya yang dihadapi jika hidup dalam keadaan prasosial, seperti kelaparan atau serangan binatang buas. Walaupun begitu, agar masyarakatnya tetap tertib dan rakyatnya bisa hidup tanpa rasa takut, diperlukan aturan yang menentukan cara memperlakukan satu sama lain. Maka dari itu, ia mendefinisikan "keadilan alam" (bahasa Inggris: justice of nature) sebagai kesepakatan bersama untuk tidak melukai satu sama lain. Pendekatan ini sangat berbeda dengan Plato, karena Epikuros meyakini bahwa keberadaan keadilan pada dasarnya bergantung kepada keberadaan kesepakatan; dalam kata lain, tidak ada keadilan di luar kesepakatan.[99]
Menurut profesor filsafat asal Amerika Serikat Tim O'Keefe, salah satu implikasi yang dapat ditarik dari pemikiran ini adalah bahwa tidak ada keadilan ataupun ketidakadilan pada hewan yang tidak bisa membuat kesepakatan untuk tidak saling melukai.[100] Selain itu, ia berpendapat bahwa pendekatan semacam ini juga memberi ruang bagi sudut pandang yang bersifat relativis, karena isi dari kontrak sosialnya berbeda-beda tergantung pada tempatnya, sehingga suatu hal yang dianggap adil di suatu tempat, bisa saja dianggap tidak adil di tempat lain. Walaupun begitu, bukan berarti standar keadilan itu bisa ditentukan secara serampangan asalkan masyarakatnya setuju. Dalam epikureanisme, masih ada standar objektif yang berlaku, yaitu keadilan harus berguna demi kepentingan hidup bersama.[101] Selain itu, bukan berarti keadilan itu adalah konsep "buatan" yang "tidak alamiah", karena manusia dianggap rasional dan memiliki kecenderungan untuk membuat kesepakatan semacam itu demi kemaslahatan bersama.[102]
Karya
Epikuros adalah seorang penulis yang sangat produktif.[103][96][58][56] Menurut Diogenes Laërtius, Epikuros menulis sekitar 300 risalah mengenai berbagai hal.[96][58] Saat ini tulisan-tulisan asli Epikuros memang cukup banyak yang masih bertahan hingga zaman modern, terutama bila dibandingkan dengan filsuf-filsuf Yunani lainnya dari zaman Helenistik.[56] Walaupun begitu, sebagian besar dari tulisannya sudah hilang ditelan zaman,[103][96][58] dan kebanyakan dari ajaran Epikuros tersimpan berkat tulisan para pengikutnya setelah ia meninggal, terutama Lucretius. Beberapa karya Epikuros yang masih utuh adalah tiga suratnya yang cukup panjang, yang dikutip seluruhnya dalam Buku X Kehidupan dan Pendapat Filsuf-filsuf Tersohor karya Diogenes Laërtius, serta dua rangkaian kutipannya: Ajaran Pokok (Κύριαι Δόξαι) yang juga dikutip oleh Diogenes Laërtius, serta Pepatah Vatikan yang terkandung dalam sebuah manuskrip yang pertama kali ditemukan pada tahun 1888 di Perpustakaan Vatikan. Dari tiga surat yang ada, Surat kepada Herodotos dan Surat kepada Pitokles membahas filsafat alam, sementara Surat kepada Menoikeus merangkum ajaran moral Epikuros.[58] Beberapa penggalan dari risalah karya Epikuros yang berjudul Tentang Alam (terdiri dari tiga puluh tujuh jilid) telah ditemukan di antara penggalan-penggalan papirus di Villa dei Papiri, Herkulaneum.[58][56] Para ahli mula-mula mencoba menguraikan isi dari gulungan ini pada tahun 1800, tetapi upaya ini sangat sulit dilakukan.[58]
Menurut Diogenes Laërtius, karya-karya besar Epikuros adalah:[104]
Tentang Alam, dalam 37 buku
Tentang Atom dan Kekosongan
Tentang Cinta
Mempersingkat Argumen yang dipakai melawan Para Filsuf Alam
Menentang Kaum Megaria
Masalah-masalah
Ajaran Pokok (Kyriai Doxai)
Tentang Pilihan dan Penghindaran
Tentang Kebaikan Utama
Tentang Patokan (Kanon)
Kairedemos
Tentang Para Dewa
Tentang Kesalehan
Hegesianaks
Empat esai tentang Kehidupan
Esai tentang Tingkah Laku Adil
Neokles
Esai untuk Temista
Kenduri (Simposium)
Eurilokos
Esai yang dialamatkan kepada Metrodoros
Esai tentang Melihat
Esai tentang Sudut dalam Suatu Atom
Esai tentang Sentuhan
Esai tentang Takdir
Pendapat mengenai Gairah
Risalah yang dialamatkan kepada Timokrates
Ramalan
Desakan
Tentang Gambaran
Tentang Persepsi
Aristobulos
Esai tentang Musik (i.e., tentang musik, puisi, dan dansa)
Tentang Keadilan dan Kebajikan Lainnya
Tentang Hadiah dan Rasa Terima Kasih
Polimedes
Timokrates (tiga buku)
Metrodoros (lima buku)
Antidoros (dua buku)
Pendapat tentang Penyakit dan Kematian, dialamatkan kepada Mitras
Kalistolas
Esai tentang Kekuasaan Rajawi
Anaksimenes
Surat-surat
Peninggalan sejarah
Zaman Kuno
Epikureanisme sangat populer pada zaman kuno.[105][106][107] Diogenes Laërtius mencatat bahwa jumlah pengikut epikureanisme di dunia melebihi jumlah penduduk seluruh kota.[107] Walaupun begitu, tidak semua orang menyukai Epikuros, dan pada masa hidupnya sendiri ia telah menuai berbagai kecaman.[54][108] Ia menjadi filsuf yang dikagumi sekaligus dibenci di wilayah Mediterania dalam rentang waktu sekitar lima abad setelah ia meninggal.[108] Epikureanisme menyebar dengan cepat ke seluruh kawasan Mediterania. Pada abad pertama SM, aliran ini sudah memiliki banyak pengikut di Italia.[105] Orator Romawi Cicero (106 – 43 SM), yang tidak menyukai etika epikureanisme, mengatakan bahwa "kaum Epikurean telah menguasai Italia secara menggemparkan."[105]
Sebagian dari sumber Yunani dan Romawi yang masih ada saat ini memandang epikureanisme secara buruk. Menurut Pamela Gordon, sumber-sumber ini sering menggambarkan Epikuros sebagai sosok "mengerikan atau menggelikan".[109] Banyak orang Romawi yang merasa bahwa epikureanisme hanya sekadar mencari voluptas ("kenikmatan") dan bukan virtus ("kebajikan").[110] Maka dari itu, orang Romawi sering beranggapan bahwa kaum Epikurean itu lemah.[111] Beberapa tokoh Romawi yang mengkritik filsafat Epikuros adalah pemikir stoisisme Romawi Seneca Muda (sekitar tahun 4 M – 65 M) dan filsuf platonisme pertengahan Yunani Plutarkos (sekitar tahun 46 – 120), yang sama-sama menganggap epikureanisme tidak bermoral dan jelek.[107] Gordon mengamati bahwa retorika-retorika anti-Epikuros ini tidak mencerminkan ajaran Epikuros yang sesungguhnya.[112]
Epikureanisme dikenal sebagai mazhab yang konservatif; walaupun para pengikut Epikuros ada yang mengembangkan gagasannya, mereka secara dogmatis tetap mempertahankan apa yang diajarkan oleh Epikuros tanpa mengubahnya.[1][12][13] Kaum Epikurean dan pengagum epikureanisme menghormati Epikuros sebagai guru besar etika, seorang penyelamat, atau bahkan seorang dewa.[113] Gambarnya ada di cincin jari dan dipajang di ruang tamu, sementara para pengikutnya memuliakan patung marmernya. Para pengikutnya menganggap ucapannya seperti ucapan orakel, membawa salinan tulisannya, dan menghargai salinan tulisannya sebagai tulisan seorang rasul.[114] Pada hari kedua puluh dalam setiap bulan, para pengagum ajarannya akan menggelar ritual untuk mengenangnya.[106]
Pada abad pertama dan kedua M, epikureanisme secara perlahan mengalami kemunduran karena kalah bersaing dengan stoisisme yang memiliki ajaran etika yang lebih sesuai dengan nilai tradisional Romawi.[115] Agama Kristen pada saat itu juga sedang mengalami pertumbuhan pesat di Kekaisaran Romawi.[116] Dari semua mazhab filsafat Yunani, epikureanisme adalah yang paling bertentangan dengan ajaran Kristen, karena kaum Epikurean percaya bahwa jiwa itu tidak abadi, akhirat itu tidak ada, yang ilahi tidak campur tangan dalam urusan manusia, dan kenikmatan adalah tujuan utama dalam kehidupan manusia.[116] Akibatnya, penulis Kristen seperti Yustinus Martir (sekitar tahun 100 – 165 M), Athenagoras dari Athena (sekitar tahun 133 – 190), Tertullianus (sekitar tahun 155 – 240), Klemens dari Aleksandria (sekitar tahun 150 – 215), Arnobius (meninggal sekitar tahun 330), dan Lactantius melontarkan kritikan pedas terhadap ajaran ini.[116]
Abad Pertengahan
Pada awal abad kelima Masehi, epikureanisme sudah punah.[116]Bapa GerejaAgustinus dari Hippo (354–430 M) menyatakan, "abunya sangat dingin sehingga tidak ada satu percikan pun yang dihasilkan darinya." Walaupun ajaran Plato dan Aristoteles dapat disesuaikan agar sejalan dengan sudut pandang Kristen, hal yang sama sulit dilakukan untuk ajaran Epikuros. Akibatnya, ajaran Plato dan Aristoteles menempati kedudukan khusus dalam filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, sementara Epikuros tidak mendapatkan kehormatan semacam itu. Keterangan tentang ajaran Epikuros sendiri masih tersedia berkat tulisan De rerum natura karya Lucretius, kutipan-kutipan yang ada dalam buku tata bahasa dan florilegia Latin abad pertengahan, serta ensiklopedia seperti Etymologiae karya Isidorus dari Sevilla (abad ketujuh) dan De universo karya Hrabanus Maurus (abad kesembilan), tetapi tidak ada bukti bahwa ajaran Epikuros dikaji secara sistematis pada masa ini.[116]
Kaum terdidik pada Abad Pertengahan sendiri mengenal Epikuros sebagai seorang filsuf, tetapi dalam budaya populer ia sering kali digambarkan sebagai penjaga gerbang Kebun Kenikmatan, "pemilik kebun, kedai minum, dan pelacuran." Ia ditampilkan seperti ini dalam Pernikahan Merkurius dan Filologi karya Martianus Capella (abad kelima), Policraticus karya John dari Salisbury (1159), Mirour de l'Omme karya John Gower, serta Canterbury Tales buatan Geoffrey Chaucer. Epikuros dan pengikutnya juga muncul dalam Inferno karya Dante Alighieri. Dalam karya sastra ini, mereka dikurung di dalam peti mati yang terbakar di lingkaran neraka keenam karena pernah percaya bahwa jiwa mati bersama dengan tubuh.[116]
Renaisans
Pada tahun 1417, seorang pemburu naskah yang bernama Poggio Bracciolini menemukan salinan De rerum natura karya Lucretius di sebuah biara Katolik di dekat Danau Constance. Penemuan naskah ini menggairahkan para ahli karena mereka ingin mengkaji ajaran filsuf-filsuf klasik dan naskah yang sebelumnya sudah terlupakan ini. Disertasi pertama mengenai Epikuros karya imam Katolik dan humanis Italia Lorenzo Valla yang berjudul De voluptate (Tentang Kenikmatan) pertama kali diterbitkan pada tahun 1431. Valla tidak menyebutkan Lucretius ataupun puisinya. Ia malah menyajikan karyanya sebagai diskusi antara seorang Epikurean, Stoik, dan Kristen. Dialog Valla pada akhirnya menolak epikureanisme, tetapi dengan memasukkan seorang Epikurean dalam pembahasan, Valla secara tidak langsung menganggap epikureanisme sebagai sebuah filsafat yang layak dipertimbangkan secara serius.[116]
Tidak ada satu pun dari para humanis Quattrocento (Italia pada periode 1400–1499) yang jelas-jelas mendukung epikureanisme, tetapi para cendekiawan seperti Francesco Zabarella (1360–1417), Francesco Filelfo (1398–1481), Cristoforo Landino (1424–1498), dan Leonardo Bruni (sekitar tahun 1370–1444) menganalisis epikureanisme secara lebih berimbang dan tidak terang-terangan mengambil sikap yang bermusuhan. Walaupun begitu, "epikureanisme" tetap menjadi istilah peyoratif yang sama artinya dengan sifat mencari kenikmatan yang egois. Citra buruk ini membuat para cendekiawan Kristen enggan mengkajinya.[116] Epikureanisme tidak menyebar di Italia, Prancis, ataupun Inggris hingga abad ketujuh belas. Bahkan kaum skeptik tidak melirik epikureanisme;[119]Étienne Dolet (1509–1546) hanya menyebutkan Epikuros satu kali dalam tulisannya, sementara François Rabelais (antara tahun 1483 dan 1494 hingga 1553) sama sekali tidak menyebutnya. Pengecualiannya adalah Michel de Montaigne (1533–1592) yang mengutip 450 baris dari De rerum natura dalam tulisan yang berjudul Essais. Namun demikian, ketertarikannya kepada Lucretius lebih pada karya sastranya, dan pandangannya mengenai epikureanisme sendiri masih rancu. Sementara itu, pada masa Reformasi Protestan, istilah "Epikurean" dijadikan hinaan yang saling dilemparkan oleh kaum Protestan dan Katolik.[120]
Kebangkitan
Pada abad ketujuh belas, imam dan cendekiawan Katolik Prancis Pierre Gassendi (1592–1655) mencoba menjatuhkan aristotelianisme dengan menyajikan epikureanisme sebagai alternatif yang lebih baik dan rasional. Pada tahun 1647, Gassendi menerbitkan bukunya De vita et moribus Epicuri yang berupaya membela epikureanisme. Pada tahun 1649, ia menerbitkan sebuah tafsir untuk Kehidupan Epikuros karya Diogenes Laërtius. Ia juga pernah menulis Syntagma philosophicum yang memadukan ajaran-ajaran Epikuros, tetapi karya ini tidak sempat diselesaikan sebelum ia menjemput ajalnya pada tahun 1655. Karya ini akhirnya diterbitkan pada tahun 1658 setelah dilakukan proses penyuntingan. Gassendi mengubah ajaran Epikuros agar sesuai dengan pembaca yang beragama Kristen. Sebagai contoh, ia berpendapat bahwa atom itu diciptakan, berjumlah terbatas, dan tak abadi. Ia juga menegaskan bahwa atom adalah ciptaan Tuhan.[120]
Berkat pengubahan ini, bukunya tidak pernah disensor oleh Gereja Katolik. Buku ini sangat berpengaruh terhadap tulisan-tulisan yang dibuat sesudahnya mengenai Epikuros. Ajaran Epikuros versi Gassendi juga disukai oleh beberapa cendekiawan Inggris. Namun, bagi para cendekiawan ini, atomisme Epikuros hanya menjadi titik awal bagi mereka untuk kemudian menyesuaikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Epikureanisme masih dianggap tidak bermoral dan bidaah. Sebagai contoh, Lucy Hutchinson (1620–1681) yang merupakan penerjemah De rerum natura pertama ke dalam bahasa Inggris, menyebut Epikuros sebagai "anjing gila" yang telah merumuskan "ajaran-ajaran yang konyol, sesat, keterlaluan".[120]
Ajaran Epikuros menjadi dihormati di Inggris berkat filsuf Walter Charleton (1619 – 1707). Karya epikureanismenya yang pertama, The Darkness of Atheism Dispelled by the Light of Nature (1652), mengajukan epikureanisme sebagai atomisme "baru". Karyanya yang berikutnya, Physiologia Epicuro-Gassendo-Charletoniana, or a Fabrick of Science Natural, upon a Hypothesis of Atoms, Founded by Epicurus, Repaired by Petrus Gassendus, and Augmented by Walter Charleton (1954), menekankan gagasan ini. Ia juga menulis sebuah buku yang berjudul Epicurus's Morals (1658). Berkat karya-karya ini, masyarakat Inggris dapat membaca filsafat Epikuros, dan orang Kristen juga dibuat yakin bahwa epikureanisme tidak mengancam keyakinan mereka.[120]Royal Society yang didirikan pada tahun 1662 mendukung atomisme Epikurean. Salah satu tokoh yang paling gencar mendukung atomisme adalah kimiawan Robert Boyle (1627–1691), seperti yang bisa dilihat dalam tulisannya yang berjudul The Origins of Forms and Qualities (1666), Experiments, Notes, etc. about the Mechanical Origin and Production of Divers Particular Qualities (1675), dan Of the Excellency and Grounds of the Mechanical Hypothesis (1674).[121] Pada akhir abad ketujuh belas, atomisme Epikurean sudah diterima oleh banyak cendekiawan Inggris, tetapi isinya sudah banyak diubah sehingga Epikuros tidak dianggap lagi sebagai pencetus aslinya.[122]
Abad Pencerahan dan sesudahnya
Polemik anti-Epikurean dalam Fifteen Sermons Preached at the Rolls Chapel (1726) dan Analogy of Religion (1736) yang disampaikan oleh Uskup AnglikanJoseph Butler telah membentuk persepsi kaum Kristen taat terhadap epikureanisme hingga abad kesembilan belas. Walaupun begitu, terdapat beberapa hal yang menunjukkan bahwa pada masa ini, reputasi Epikuros telah membaik. Epikureanisme sudah tidak selalu dikaitkan dengan kerakusan dan ketamakan.[122] Bahkan kata "epicure" dalam bahasa Inggris mulai mengacu kepada orang dengan selera makan yang sangat baik.[122][123]
Pada kisaran waktu yang sama, perintah Epikurean untuk "hidup tanpa dikenal orang" mulai menyebar luas. Pada tahun 1685, Sir William Temple (1628 – 1699) meninggalkan kariernya sebagai diplomat dan malah pensiun di kebunnya dan menulis esai-esai mengenai ajaran moral Epikuros. Pada tahun yang sama, John Dryden menerjemahkan baris-baris dari Buku II De rerum natura. Sementara itu, John Locke (1632 – 1704) mengadaptasi gagasan Gassendi mengenai epistemologi Epikuros, yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap tradisi empirisisme di Inggris. Banyak pemikir pada Abad Pencerahan yang juga mendukung epikureanisme dan menganggapnya sebagai filsafat moral yang mengagumkan. Thomas Jefferson (1743 – 1826), salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat, menyatakan pada tahun 1819: "Aku juga seorang Epikurean. Aku menganggap ajaran asli (bukan yang dihubung-hubungkan) Epikuros mengandung segala hal yang rasional dalam filsafat moral yang telah ditinggalkan oleh Yunani dan Romawi kepada kita."[122]
Pemikir Jerman Karl Marx (1818 – 1883) saat masih muda sangat dipengaruhi oleh pemikiran Epikuros. Tesis doktoratnya sendiri membahas analisis dialektika Hegel terhadap perbedaan antara filsafat alam Demokritos dan Epikuros.[124] Marx menganggap Demokritos sebagai seorang skeptik rasionalis dengan epistemologi yang pada dasarnya kontradiktif, sementara ia menganggap Epikuros sebagai seorang penganut empirisisme dogmatik dengan sudut pandang dunia yang konsisten dan dapat diterapkan.[125] Penyair Britania Alfred, Lord Tennyson (1809 – 1892), memuji kehidupan Epikurean dalam puisinya yang berjudul Lucretius dari tahun 1868. Ajaran etika Epikuros juga secara tidak langsung berdampak terhadap filsafat utilitarianisme di Inggris pada abad kesembilan belas.[122]
Para akademisi semakin tertarik kepada Epikuros dan filsuf-filsuf Helenistik lainnya pada akhir abad kedua puluh dan awal abad kedua puluh satu, yang ditunjukkan dengan banyaknya monograf, artikel, abstrak, dan makalah konferensi yang ditulis mengenai mereka. Naskah dari perpustakaan Filodemos dari Gadara di Villa dei Papiri, Herkulaneum (yang pertama kali ditemukan antara tahun 1750 hingga 1765) diuraikan, diterjemahkan, dan diterbitkan oleh para ahli yang tergabung dalam Philodemus Translation Project yang didanai oleh National Endowment for the Humanities, dan merupakan bagian dari Centro per lo Studio dei Papiri Ercolanesi di Napoli, Italia.[122] Sementara itu, cukup sulit untuk mengukur ketertarikan awam terhadap epikureanisme, tetapi kelihatannya ketertarikannya relatif sebanding dengan subjek-subjek filsafat Yunani Kuno lainnya yang populer seperti stoisisme, Aristoteles, dan Plato.[126]
Barnes, Jonathan (1986), "15: Hellenistic Philosophy and Science", dalam Boardman, John; Griffin, Jasper; Murray, Oswyn, The Oxford History of the Classical World, Oxford, Inggris: Oxford University Press, hlm. 365–385, ISBN978-0198721123
Brewer, Ebenezer Cobham; Evans, Ivor H. (1989), Brewer's Dictionary of Phrase and Fable (edisi ke-14th), New York City, New York, Grand Rapids, Michigan, Philadelphia, Pennsylvania, St. Louis, Missouri, San Francisco, California, London, Inggris, Singapura, Singapura, Sydney, Australia, Tokyo, Jepang, dan Toronto, Kanada: Harper & Row Publishers, ISBN978-0-06-016200-9
Carus, Titus Lucretius (Juli 2008), "Extraordinary and Paradoxical Telluric Phenomena", Of The Nature of Things, Project Gutenberg EBook, 785, William Ellery Leonard (penerjemah), Project Gutenberg
Erler, Michael (2011), "Chapter II: Autodidact and student: on the relationship of authority and autonomy in Epicurus and the Epicurean tradition", dalam Fish, Jeffrey; Sanders, Kirk R., Epicurus and the Epicurean Tradition, Cambridge, Inggris: Cambridge University Press, hlm. 9–28, ISBN978-0-521-19478-5
Gordon, Pamela (2013), "Epistulatory Epicureans", dalam Boter, G. J.; Chaniotis, A.; Coleman, K. M.; de Jong, I. J. F.; Reinhardt, T., Epistolary Narratives in Ancient Greek Literature, Mnemosyne: Supplements: Monographs on Greek and Latin Language and Literature, 359, Leiden, The Netherlands: Koninklijke Brill, ISBN978-90-04-25303-2
O'Keefe, Tim (2010), Epicureanism, Durham: Acumen, ISBN9781844651696Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rist, J.M. (1972), Epicurus: An Introduction, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN9780521084260Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Lucretius Carus, Titus (1976). On the nature of the universe. Diterjemahkan oleh Latham, R. E. London: Penguin Books. ISBN978-0-14-044018-8.
Körte, Alfred (1987). Epicureanism : two collections of fragments and studies (dalam bahasa Yunani). New York: Garland. ISBN978-0-8240-6915-5.
Oates, Whitney J. (1940). The Stoic and Epicurean philosophers, The Complete Extant Writings of Epicurus, Epictetus, Lucretius and Marcus Aurelius. New York: Modern Library.
Diogenes of Oinoanda (1993). The Epicurean inscription. Diterjemahkan oleh Smith, Martin Ferguson. Napoli: Bibliopolis. ISBN978-88-7088-270-4.
Kajian
Bailey C. (1928). The Greek Atomists and Epicurus, Oxford: Clarendon Press.
Bakalis, Nikolaos (2005). Handbook of Greek Philosophy from Thales to the Stoics. Analysis and fragments. Victoria: Trafford. ISBN978-1-4120-4843-9.
Gordon, Pamela (1996). Epicurus in Lycia. The Second-Century World of Diogenes of Oenoanda. Ann Arbor: Univ. of Michigan Press. ISBN978-0-472-10461-1.