Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah dari 9 Juni 898 sampai dengan pertengahan tahun 910.[1] Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.
Asal-Usul
Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung.
Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (Prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya Prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan Prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.
Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu Mpu Daksa.
Riwayat Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.
Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah Prasasti Telahap tanggal 11 September 899. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899.
Prasasti Ayam Teas III berangka tahun 822 Śaka atau tahun 900 M, disebutkan desa Ayam Teas yang dijadikan sebagai tanah perdikan sebagai tempat pedagang.
Prasasti Taji beetarikh 823 Saka (901 M) berisi tentang peresmian tanah di wilayah Taji menjadi daerah perdikan untuk bangunan suci “kuil Dewasabhā“ dan sawah di Taji dijadikan daerah perdikan untuk kuil itu oleh Rakryān Watu Tihang Pu Sanggrāma dhurandhara atas perintah Srī Mahārāja Rake Watukura Dyah Balitung.
Prasasti Luitan 823C/901M adalah prasasti maharaja Dyah Balitung yang ditemukan pada tahun 1977 di desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah, berisi tentang persoalan pajak.
Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.
Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para penyeberang.
Prasasti Rumwiga I (904 M) berisi tentang permohonan pengurangan besarnya pajak di desa Rumwiga kepada Dyah Balitung, permohonan ini di kabulkan oleh raja.
Prasasti Rumwiga II (905 M) berisi tentang aduan masyarakat di desa Rumwiga atas perkara penyelewengan pajak kepada Mpu Daksa pada saat masih menjabat sebagai Mahamantri I Hino di era Dyah Balitung.
Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.
Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya “korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”.
Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 berisi tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya.
Prasasti Kinewu menyebutkan bahwa pada tanggal 12 sulakpaksa (paroterang) bulan margasina tahun 829 Saka (12 November 907 M). Sri Maharaja Rake Watu Kura Dyah Balitung Sri Iswara Kesawa Samarotungga memberikan anugrah kepada ratna (kepala desa) di Desa Kinwu berupa pembebasan pajak, karena ada keluhan dari mereka, sehingga tidak sanggup lagi menggarap sawah.
Pada tahun 907 tersebut Balitung juga memberikan Prasasti Rukam di desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.
Ditemukan Prasasti Bangle di daerah hutan di Nganjuk bertarikh 908 M. Meski belum terbaca secara keseluruhan, namun dari angka tahun diterbitkan prasasti ini di duga masih keluaran Maharaja Dyah Balitung.
Prasasti Kaladi (berangka tahun Saka 831 atau Masehi 909) Prasasti Kaladi ditemukan di area Gunung Penanggungan, Jawa Timur. Prasasti dituliskan bahwa daerah di Kaladi, Gayam, dan Pyapya (desa-desa tersebut berada di kabupaten Sidoarjo) dijadikan sima beserta karena hutan di sekitar desa tersebut membuat penduduk ketakutan akibat adanya perampok-perampok yang sering menyerang mereka di daerah hutan tersebut. Hutan tersebut akhirnya dijadikan sawah sehingga penduduk kembali tenang dan dapat beraktifitas seperti semula.
Prasasti Tulangan bertraikh 832 Saka (910 M) yang ditemukan di Jedung, Mojokerto, Jawa Timur, di perkirakan merupakan prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung, dalam Prasasti Tulangan ini memakai gelar Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu.
Akhir Pemerintahan
Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan besar melahirkan rasa cemburu di hati Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya yang tentunya lebih berhak atas takhta Kerajaan Medang.
Mpu Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan telah mengeluarkan Prasasti Taji Gunung tanggal 21 Desember 910 tentang pembagian daerah Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.
Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai maharaja pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai Watuhumalang. Berdasarkan Prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi diperkirakan adalah putra Rakai Pikatan.
Dyah Balitung berhasil naik takhta menggantikan Rakai Watuhumalang diperkirakan karena kepahlawanannya menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus. Mungkin Rakai Gurunwangi yang menyimpan dendam kemudian bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih keponakannya (Rakai Gurunwangi dan Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai Pikatan).
Sejarawan Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir akibat pemberontakan Mpu Daksa. Pada Prasasti Taji Gunung (910) Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino, sedangkan pada prasasti Timbangan Wungkal (913) ia sudah bergelar maharaja.
Kepustakaan
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kem Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Referensi
- ^ Tanggal ini berdasarkan dua sumber primer: Prasasti Wanua Tengah III yang menyebut tanggal naik tahta Balitung, dan Prasasti Watu Ridang, prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Balitung pada tanggal 22 Maret 910.