Rakai Pikatan
Rakai Pikatan adalah Raja Medang ketujuh yang memerintah sekitar tahun 847–855.[1][2] Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), ia memerintah antara 6 Maret 847 s.d. 27 April 855. Ia adalah raja setelah Rakai Garung dan sebelum Rakai Kayuwangi.[2] Namanya dikenal dalam Prasasti Wantil, Prasasti Mantyasih, dan Prasasti Wanua Tengah III. Identifikasi Mpu ManukuPada Prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan.[butuh rujukan] Kemudian pada Prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai di daerah lain.[butuh rujukan] Selanjutnya menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku,[butuh rujukan]Pada Prasasti Tulang Air I bertahun 850, Mpu Manuku bergelar Rakai Patapan.[3] Menurut Prasasti Argapura tahun 863 termuat nama Rakai Pikatan bernama Pu Manuko(u). Itu berarti Mpu Manuku sudah pindah jabatan dari Patapan ke Pikatan dan menjabat sebagai kepala daerah Pikatan. Dalam Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Raja Dyah Balitung, disebutkan nama aslinya Rakai Pikatan Dyah Saladu.[2] Sementara, hasil identifikasi diatas tentang Mpu Manuku, berdasarkan urutan tahun Prasasti dan juga dibawah Pemerintahan Rakai Kayuwangi. Kemungkinan lebih tepat disebut bahwa Mpu Manuku berstatus sebagai Raja Daerah Patapan kemudian Pindah Jabatan menjadi Raja Daerah Pikatan Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Sedangkan nama ayah dari Rakai Kayuwangi, sesuai dengan yang disebut dalam Prasasti Wanua Tengah III yaitu Dyah Saladu.[2] Isi Prasasti WantilPerpindahan ibu kotaMenurut prasasti Wantil, Rakai Pikatan membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram. Penyerahan takhta ke Rakai KayuwangiPrasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Rake Mamrati Sang Jatiningrat pada tahun 856. Pernikahan dengan PramodawardhaniPrasasti Wantil juga menyinggung pernikahan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, sementara Rakai Pikatan sendiri memeluk agama Hindu Siwa. Pramodawardhani adalah putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun 824. Pramodawardhani bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Kiranya saat itu gelar mpu belum identik dengan kaum laki-laki. Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri Dyah Balitung, yaitu raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907). Pendapat pakar sejarahMenurut KromBalaputradewa putra Samaragrawira adalah raja Kerajaan Sriwijaya. Teori populer yang dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, Samaragrawira identik dengan Samaratungga sehingga secara otomatis, Balaputradewa adalah saudara Pramodawardhani. Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala putra Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang ditafsirkan sebagai Balaputradewa. Akibatnya, muncul teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga yang berakhir dengan kekalahan Balaputradewa. Menurut Slamet MuljanaSlamet Muljana menolak anggapan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga karena menurut prasasti Kayumwungan, Samaratungga hanya memiliki seorang anak bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Samaragrawira lebih tepat disebut sebagai ayah dari Samaratungga. Dengan demikian, Balaputradewa merupakan paman dari Pramodawardhani. Menurut BoechariMenurut sejarawan Boechari, di bukit Ratu Baka tidak dijumpai prasasti atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Mungkin tokoh ini yang memberontak terhadap pemerintahan Rakai Pikatan karena ia juga mengaku sebagai keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu Sanjaya. Sementara itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, istilah ini bukan nama lain dari Balaputradewa, melainkan julukan untuk Dyah Lokapala, yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya. Dengan demikian, teori populer bahwa telah terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu Balaputradewa mungkin keliru. Kiranya Balaputradewa meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah perang, tetapi karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta Kerajaan Medang, mengingat ia bukan putra Samaratungga melainkan adiknya. Wangsa Sailendra di bawah pimpinan Dharanindra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, bahkan sampai Kamboja. Sepeninggal Dharanindra, kekuasaannya diwarisi oleh Samaragrawira. Mungkin ia tidak sekuat ayahnya karena menurut prasasti Po Ngar, Kamboja berhasil merdeka dari penjajahan Jawa pada tahun 802. Atas dasar tersebut, sepeninggal Samaragrawira mungkin kekuasaan Wangsa Sailendra dibagi menjadi dua, dengan tujuan agar pengawasannya bisa lebih mudah. Kekuasaan atas pulau Jawa diberikan kepada Samaratungga, sedangkan kekuasaan atas pulau Sumatra diberikan kepada Balaputradewa. Pendirian Candi PrambananPrasasti Wantil disebut juga Prasasti Siwagrha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya. Akhir PemerintahanPrasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856. Takhta Kerajaan Medang kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi. Penunjukan putra bungsu sebagai maharaja ini kiranya berdasarkan atas jasa mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni sang pemberontak. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar raja prasasti Mantyasih, sehingga dapat diperkirakan pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan kerajaan. Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Mungkin mereka adalah anak Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri. Kutipan
Referensi
|