Sri Maharaja Samaratungga merupakan Maharaja Sriwijaya dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 802 - 842. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Samaratungga lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya.
Pada tahun 824, Beliau menyelesaikan pembangunan candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu.
Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.[1]
Isi Prasasti Karangtengah
Nama Samaratungga terdapat dalam prasasti Karangtengah yang dikeluarkan pada tanggal 26 Mei 824. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa, Samaratungga memiliki seorang putri bernama Pramodawardhani yang meresmikan sebuah jinalaya yang sangat indah. Prasasti ini dianggap berhubungan dengan pembangunan Candi Borobudur.
Prasasti Kayumwungan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berbahasa Sanskerta sebagaimana disinggung di atas, sedangkan bagian kedua berbahasa Jawa Kuno yang dikeluarkan oleh Rakai Patapan Mpu Palar. Disebutkan, tokoh Mpu Palar menghadiahkan beberapa desa sebagai sima swatantra untuk ikut serta merawat candi Jinalaya tersebut.
Hubungan dengan Balaputradewa
Berdasarkan Prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah raja Swarnadwipa (Kerajaan Sriwijaya) dan putra dari Samaragrawira. Berdasarkan kemiripan nama, De Casparis menyamakan Samaragrawira ini dengan Samaratungga, yang selanjutnya dipopulerkan oleh para sejarawan lainnya, misalnya Dr. Bosch. Teori ini menganggap bahwa sepeninggal Samaratungga, terjadi perang saudara memperebutkan tahta antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan, suami saudarinya, Pramodawardhani. Balaputradewa yang kalah kemudian menyingkir ke Sumatra.
Slamet Muljana menolak identifikasi Samaratungga dengan Samaragrawira. Ia berpendapat bahwa Prasasti Kayumwungan menyebutkan bahwa Samaratungga memiliki seorang putri saja, yaitu Pramodawardhani. Menurut Slamet Muljana, Balaputradewa tidak memiliki hak atas tahta Jawa karena ia hanyalah adik Samaratungga, bukan putranya. Dengan kata lain, Samaragrawira adalah ayah dua orang putra, yaitu Samaratungga dan Balaputradewa. Mungkin Balaputradewa menyingkir ke Sumatra bukan karena kalah perang, tetapi karena ia memang tidak memiliki hak atas tahta Jawa.
Benteng pertahanan Balaputradewa sewaktu berperang melawan Rakai Pikatan diperkirakan berada di Bukit Ratu Boko. Namun, prasasti-prasasti yang ditemukan di bukit tersebut menyebutkan bahwa musuh Rakai Pikatan adalah tokoh yang bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Analisis terhadap prasasti-prasasti Ratu Baka tersebut dilakukan oleh Pusponegoro dan Notosutanto.
Peristiwa Penting
Pendapat Pakar Sejarah
Samaragrawira Dikira Sama Dengan Samaratungga
Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh De Casparis, dan N.j Krom yang menyamakan Samaragrawira dengan Samaratungga karena kemiripan nama dari kedua tokoh tersebut, kemudian teori ini berkembang menjadi teori bahwa Balaputradewa terusir dari Jawa karena Perang Saudara melawan Saudarinya yakni Pramodawardhani yang dibantu oleh suaminya yakni, Rakai Pikatan, teori ini kemudian dibantah oleh Slamet Muljana, ia berpendapat bahwa Samaragrawira bukanlah Samaratungga, justru lebih pas bahwa Samaragrawira adalah Ayah Samaratungga, dan Balaputradewa, karena dalam Prasasti Kayumwungan, Maharaja Samaratungga hanya memiliki seorang putri yakni, Pramodawardhani. Teori juga membantah alur perpindahan Balaputradewa dari Jawa Ke Sumatera, karena Ia, kemungkinan memang tidak mewarisi Takhta Jawa.
Samaragrawira Dikira Sama Dengan Rakai Warak
Teori ini juga pertama kali dipopulerkan oleh Slamet Muljana yang mencoba membandingkan Daftar Raja-Raja dalam Prasasti Mantyasih, dan Prasasti-Prasasti yang dikeluarkan oleh Wangsa Sailendra. Ia berpendapat bahwa Samaragrawira adalah nama asli Rakai Warak, karena ia menempati urutan keempat dalam daftar para Raja dalam Prasasti tersebut, sesudah Rakai Panunggalan yang dianggap sama dengan Dharanindra. namun, kemungkinan teori ini sudah gugur karena ditemukannya Prasasti Wanua Tengah III karena dalam Prasasti tersebut, Rakai Warak bernama asli Dyah Manara.
Kutipan
Referensi
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Menurut teori Bosch :