- Untuk pengertian lain, lihat Tara
Tara merupakan Maharani Sriwijaya ke-10 bergelar Sri Kahulunan. Menurut Prasasti Nalanda, Dewi Tara adalah Putri Dharmasetu yang menikah dengan Samaragrawira dari Wangsa Sailendra, ia melahirkan Balaputradewa yang menjadi raja Kerajaan Sriwijaya.
Dalam Naskah Wangsakerta, disebutkan bahwa Samaragrawira mempunyai dua orang isteri yang satu melahirkan Pramodawardhani yang satunya lagi melahirkan Balaputradewa.
Dengan demikian, maka diketahui kalau Balaputradewa adalah saudara Pramodawardhani. Namun, berbeda Ibu Kandung.
Identifikasi Prasasti Nalanda, Wukiran & Wantil
Dalam Prasasti Nalanda, dijelaskan kalau Balaputradewa adalah Putra Samaragrawira dengan Dewi Tara. Jadi, dapat disimpulkan kalau Balaputradewa mewarisi tahta Sriwijaya dari Ibunya karena menjadi Permaisuri Raja Samaragrawira.
Hal itu juga diperkuat dengan temuan Prasasti Wukiran, Menurut sejarawan Boechari, di bukit Ratu Baka tidak dijumpai prasasti atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Mungkin tokoh ini yang memberontak terhadap pemerintahan Rakai Pikatan karena ia juga mengaku sebagai keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu Sanjaya.
Sementara itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, istilah ini bukan nama lain dari Balaputradewa, melainkan julukan untuk Dyah Lokapala, yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya.
Dengan demikian, teori yang menyatakan terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu Balaputradewa mungkin keliru. Karena Balaputradewa mewarisi tahta Sriwijaya dari Ibunya, sedangkan alasan ia memindahkan ibukota Sriwijaya ke Sumatera kemungkinan besar untuk menjaga stabilitas politik agar tetap kondusif.
Identifikasi Sri Kahulunan
Sementara itu, prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur). Sejarawan Dr. De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan dengan “permaisuri”, yaitu Pramodawardhani, karena pada saat itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.
(Pendapat Casparis telah terbantahkan oleh Boechari berdasarkan kisah Mahabharata, karena Jika tetap istilah Sri Kahulunan ditafsirkan sebagai permaisuri. Maka, permaisuri itulah istri dari Samaratungga)
Pendapat lain dikemukakan oleh Drs. Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan. Jadi, menurut versi ini, tokoh Sri Kahulunan bukan Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.
(Pendapat Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai Ibu suri / Ratu. Hal itu sesuai dengan isi prasasti Nalanda. Bahwa Balaputradewa adalah Putra Samaragrawira dengan Dewi Tara. Jadi, Kemungkinan besar Dewi Tara lah yang menjadi permaisuri Samaragrawira sekaligus Ibu Ratu dari Balaputradewa.
Berangkat dari penafsiran Drs. Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri, Kusen mengidentifikasikan Śrī Kahulunnan sebagai ibu suri dari masa raja yang menjabat pada masa prasasti tersebut, misal prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur), dan beberapa pendek prasasti candi plaosan, yang menyebut pejabat bernama Sang Sirikkan Pu Suryya yang juga termuat dalam Prasasti Wanua Tengah III, dan Śrī Kahulunnnan sebagai pejabat pada masa Rakai Garung, sehingga menimbulkan dugaan bahwa Candi Plaosan dibangun pada masa pemerintahannya. Maka Kusen berpendapat, bahwa Śrī Kahulunan adalah ibu suri dari Rakai Garung, istri dari seorang yang dimakamkan di Tuk/Tluk, yang ia tafsirkan sebagai Rakai Panaraban.
Referensi
- Ayatrohaedi. 2005. SUNDAKALA Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Bandung: Pustaka Jaya