Djawoto (10 Agustus 1906 – 24 Desember 1992) adalah seorang jurnalis dan diplomatIndonesia. Ia berasal dari keluarga pangreh praja.
Riwayat Hidup
Guru
Setelah menamatkan sekolah menengahnya, Djawoto mengikuti kursus guru dan kemudian ia menjadi guru di berbagai sekolah swasta antara lain di Taman Siswa yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara, Pamong Putra dan Tjahaja Kemadjuan, di Kepu, Jakarta. Ia mengabdikan dirinya sebagai guru selama 15 tahun.
Karir Pers
Djawoto adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan ia menekuni ilmu ekonomi dan politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi wartawan dengan membaca setiap hari. Bukunya "Jurnalistik dalam Praktik" adalah hasil pengalaman pekerjaannya sehari-hari.
Sejak tahun 1928 Djawoto sudah mulai menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan Jepang. Selama Perang Dunia II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di Kantor Berita Domei, satu-satunya kantor berita yang diizinkan hidup selama pendudukan Jepang.
Pada tahun 1945 Kantor Berita Antara dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.
Karier Djawoto sebagai wartawan terus menanjak. Pada tahun 1950-an ia terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Ia dipilih kembali untuk jabatan tersebut pada kongres PWI di Makassar, 26 Mei1961. Sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI, Djawoto bersama H. Agus Salim menyusun untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.
Ketika PNI dibubarkan oleh Mr. Sartono, Djawoto bergabung dengan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) di bawah pimpinan Sjahrir. Dan setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Partai Sosialis yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Ia menjabat sebagai Kepala Departemen Pendidikan dari partai tersebut. Ketika Partai Sosialis pecah pada bulan Februari 1948, kelompok Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) sementara kelompok Amir Sjarifuddin membentuk Partai Sosialis. Djawoto tidak memilih salah satu dari keduanya, melainkan memusatkan perhatian dan tenaganya pada Kantor Berita Antara.
Ketika G30S meletus, Djawoto dan keluarganya tidak kembali ke Indonesia karena khawatir keselamatan nyawanya terancam. Karena itu Djawoto dan keluarganya menetap di Beijing.
Setelah peristiwa G30S itu, Soekarno tersingkir dan terjadilah pembersihan besar-besaran di Indonesia atas semua orang yang pernah terlibat dalam pemerintahan Soekarno dan mereka yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI dan ormas-ormasnya. Pada 16 April1966 Djawoto sendiri kemudian melepaskan jabatannya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Rakyat Mongolia. Pada tanggal 20 April1966 memimpin sidang Sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika di Beijing.
Setelah menetap di Tiongkok selama sekitar 15 tahun, Djawoto beserta keluarganya pindah ke Belanda pada 1979, hingga ia meninggal dunia pada 24 Desember1992.
Kehidupan pribadi
Djawoto menikah dengan Hasnah Sutan Diatas (meninggal dunia 4 November2005), yang berasal dari Minangkabau dan dikaruniai empat orang anak: Djoko Martono, Ratna Aprilia, Ratni Utami, dan Ratni Lestari.