Dalam agama Islam, bid'ah atau bidaah (bahasa Arab: بدعة; ejaan tidak baku: bid'at) adalah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambahi atau mengurangi ketetapan.[1] Istilah ini juga mengacu pada inovasi dalam masalah keagamaan.[2] Secara linguistik, istilah ini berarti "inovasi, kebaruan, doktrin sesat, bidaah".[3] Meskipun umum digunakan dalam teks-teks Islam, istilah ini tidak ditemukan dalam Al-Qur'an.
Dalam sastra Arab klasik, kata ini digunakan sebagai bentuk pujian atas komposisi prosa dan puisi yang luar biasa.[4]
Pandangan tradisional
Pada awal sejarah Islam, bid'ah merujuk pada doktrin-doktrin yang menyimpang. Dalam hukum Islam, bila digunakan tanpa kualifikasi, bid'ah berarti segala hal yang baru ditemukan yang tidak memiliki preseden dan bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.[5]
Memperkenalkan dan mengamalkan bid'ah dalam urusan agama adalah dosa dan dianggap sebagai salah satu dosa besar dalam Islam, dan pelakunya diwajibkan untuk segera berhenti dan bertaubat.[8][halaman dibutuhkan]
Bid’ah yang baik dan buruk
Jabir bin Abdillah meriwayatkan "...Nabi bersabda: Barangsiapa memperkenalkan beberapa amalan baik (preseden) dalam Islam yang diikuti setelahnya (oleh manusia), maka dia akan dijamin pahalanya seperti orang yang mengikutinya, tanpa imbalan mereka berkurang sama sekali. Dan barangsiapa yang memperkenalkan suatu amalan jahat dalam Islam yang kemudian diikuti (oleh orang lain), maka dia wajib menanggung beban seperti orang yang mengikuti (praktek jahat) tersebut tanpa mengurangi bebannya sedikit pun.[9][10][11]
Nabi [Muhammad] mengatakan, “Barangsiapa yang shalat malam sepanjang bulan Ramadhan karena Iman yang ikhlas dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni segala dosanya yang telah lalu.” Setelah kematian Nabi, masyarakat tetap menjalankannya (yakni Nawafil salat secara perorangan, bukan berjamaah), dan tetap seperti pada masa Kekhalifahan Abu Bakr dan pada masa awal
Kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada Ramadhan ketika melihat orang-orang shalat dalam kelompok yang berbeda, Umar memerintahkan Ubay bin Ka'ab untuk memimpin orang-orang dalam shalat berjamaah. Mengenai hal ini Umar berkata: 'Betapa hebatnya Bid'ah (yaitu perbuatan mengumpulkan orang-orang untuk salat malam berjama'ah, yang tidak dilakukan sebelumnya); ini.'
Hal ini mendapat konotasi positif dari Umar, yang mengatakan bahwa shalat Tarawih adalah suatu inovasi yang diberkati.[14][15]
Salman al-Farisi meriwayatkan bahwa Nabi Islam Muhammad ditanya oleh beberapa sahabat tentang kebolehan dan larangan suatu barang tertentu, kemudian Muhammad menyatakan “Halal adalah apa yang Allah jadikan Halal dalam kitab-Nya, Haram adalah apa yang Allah haramkan dalam kitab-Nya dan yang dia diamkan, maka diampuni semuanya.”[16]
Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa pada saat salat Subuh, Muhammad bertanya kepada Bilal, “Ceritakan kepadaku amalan terbaik yang kamu lakukan setelah memeluk Islam, karena aku mendengar langkah kakimu Surga pada waktu itu" Bilal menjawab, “Aku tidak melakukan sesuatu yang patut disebutkan kecuali jika aku berwudhu di siang atau malam hari, aku shalat setelah wudhu itu sesuai dengan apa yang telah dituliskan untukku.”[17] Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fath al-Bari bahwa “hadits tersebut menunjukkan bolehnya menggunakan penalaran pribadi (ijtihad) dalam memilih waktu untuk beribadah, karena Bilal mencapai kesimpulan yang dia sebutkan berdasarkan kesimpulannya sendiri dan Nabi (Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian) membenarkannya di dalamnya.”[18] Mirip dengan ini, Khubaib bin Adi diminta untuk shalat dua rakaat sebelum dieksekusi oleh penyembah berhala di Makah, dan oleh karena itu ia merupakan orang pertama yang menetapkan sunnah dua rakaat bagi orang-orang yang teguh dalam menjalankan ibadahnya, ketika akan datang kematian mereka.[18][19]
Rifa bin Rafi meriwayatkan: Ketika kami sedang salat di belakang Nabi [Muhammad] dan Nabi mengangkat kepalanya dari ruku’ seraya bersabda, “Allah mendengar siapa pun yang memuji-Nya,” seorang laki-laki di belakangnya berkata, “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah pujian yang berlimpah, yang bermanfaat, dan untungnya." Ketika dia bangkit untuk pergi, Nabi bertanya siapa yang mengucapkannya, dan ketika laki-laki itu menjawab bahwa itu dia, Nabi berkata, “Saya melihat tiga puluh malaikat yang masing-masing berusaha menjadi orang yang menuliskannya.”[20] Ibn Hajar al-Asqalani berkomentar dalam Fath al-Bari bahwa hadis tersebut menunjukkan diperbolehkannya permulaan ungkapan zikir baru dalam salat selain yang disebutkan melalui teks hadis (walaupun hal ini masih dilaporkan) dalam hadis), sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang disampaikan hadis. Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa “Jelas sekali, karena hal di atas hanya sekadar penyempurnaan dan tambahan dari sunnah berzikir.”[18]
Asy-Syafi'i memberikan nasihat sebagai berikut, “Inovasi yang bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah, Atsar atau Ijma adalah sebuah bid'ah yang sesat: Namun jika ada sesuatu yang baru yang diperkenalkan yang tidak jahat dan tidak bertentangan dengan otoritas kehidupan beragama yang disebutkan di atas, maka itu adalah bid'ah yang terpuji dan tidak obyektif." Hal ini dapat menyimpulkan bid'ah atau kaitan antara teknologi duniawi dengan keagamaan.[14][21][22][23][24]
Pandangan modern
Kriteria yang mengkualifikasikan suatu perbuatan tertentu sebagai bid'ah dalam agama masih menjadi perdebatan di kalangan ulama Sunni. Para ulama yang berafiliasi dengan Salafiyah dan Wahhabisme berpendapat bahwa ada definisi yang eksklusif dan literal yang mencakup segala sesuatu yang tidak secara khusus dilakukan atau ditegaskan oleh Muhammad.[25]
Sebaliknya, para praktisi Sufisme menganjurkan definisi yang inklusif dan holistik. Umar Faruq Abdullah menulis:
[B]id'a dapat memiliki berbagai corak makna. Jika digunakan tanpa kata sifat yang memenuhi syarat, kata ini cenderung bersifat mengutuk, misalnya dalam pernyataan, "bid'a harus dihindari". Namun demikian, bid'a tidak selalu berarti buruk. Dalam konteks tertentu, terutama jika dikualifikasikan dengan kata sifat, bid'a dapat mencakup berbagai makna mulai dari apa yang patut dipuji hingga apa yang sepenuhnya salah, seperti dalam pernyataan khalifah Umar dibawah ini, “betapa hebatnya bid’ah ini!”
— Umar Faruq Abd-Allah, Innovation and Creativity in Islam[26]
Perdebatan
Meskipun ada pemahaman umum tentang perbedaan pendapat ulama (bahasa Arab: اختلاف, translit. ikhtilaf), konsep inovasi yang dibolehkan (bid'ah hasanah) adalah isu yang memicu perdebatan di dunia Islam. Contoh nyata adalah perdebatan tentang perayaan mawlid (bahasa Arab: مولد, har.'kelahiran') Nabi Muhammad. Para ulama sepakat bahwa perayaan seperti itu tidak ada pada masa awal sejarah Islam. Namun, mawlid telah menjadi elemen umum dalam masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia. Meski begitu, ulama Sunni terbagi antara yang menolak secara tegas tanpa syarat[27][28] dan yang menerima dengan syarat tertentu,[29][30] dengan kelompok pertama menyatakan bahwa itu adalah bid'ah yang otomatis haram, sementara kelompok kedua berpendapat bahwa perayaan tersebut secara kontekstual dapat diterima.[31]
Perubahan Seiring Waktu
Sejarawan Inggris, Sadakat Kadri, mencatat adanya perubahan dalam apa yang dianggap bid'ah sepanjang waktu.
Penulisan hadits tidak dilakukan hingga abad ke-9, sebagian karena "tradisionalis seperti Ibn Hanbal menganggap literatur manusia sebagai inovasi yang tidak suci."[32] Tafsiran ini berubah bahkan untuk para ahli hukum konservatif seperti Ibn Taymiyyah, yang menulis puluhan buku. Namun, Ibn Taymiyyah menganggap matematika sebagai bid'ah, bentuk pengetahuan palsu yang "tidak menyempurnakan jiwa manusia, tidak menyelamatkan manusia dari hukuman Tuhan, maupun membawanya menuju kehidupan bahagia," dan melarang penggunaannya untuk menentukan awal bulan lunar.[33]
Kaum Wahhabi konservatif memperbolehkan siaran televisi, tetapi Deobandi di India melarang pengikutnya menonton televisi,[34] meskipun menggunakan penemuan yang lebih baru seperti internet untuk mengeluarkan fatwa.[34]
Ketika minuman kopi diperkenalkan di pasar Kairo antara tahun 1580 dan 1625 Masehi, para ulama menganggapnya sebagai bid'ah yang begitu ofensif terhadap Islam sehingga umat yang taat didesak untuk menyerang dan menghancurkan kedai kopi. Namun, pada abad ke-20, bahkan kaum Wahhabi Saudi yang ortodoks tidak keberatan menyajikan kopi.[35]
Mehram Kamrava berpendapat bahwa serangan terhadap inovasi tidak hanya terkait dengan kemurnian doktrinal, tetapi juga dengan kepentingan khusus finansial dan institusional para ulama, terutama monopoli mereka atas hukum dan pendidikan, yang dapat terganggu oleh kemajuan teknologi besar.[36]
Dalam Kitab IlmuAl-Ghazali mengamati bahwa banyak fenomena yang sebelumnya dianggap bid'ah kemudian menjadi praktik yang diterima secara hukum.
"[Di] antara praktik-praktik yang diterima di zaman kita adalah menghias dan memperindah masjid, serta menghabiskan banyak uang untuk konstruksi ornamen dan permadani mewah, yang sebelumnya dianggap inovasi. ... Tindakan serupa termasuk perdebatan dan diskusi agama, yang kini dianggap sebagai amal mulia tetapi sebelumnya tabu di zaman sahabat Nabi."[37]
"Aneh kedengarannya, praktik-praktik yang diterima hari ini adalah hal-hal yang tabu di masa lalu. ... Dan hal-hal yang tabu hari ini akan menjadi praktik yang diterima di masa depan."[37]
Dampak
Amalan tertolak
Nabi Islam Muhammad bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.[38]
Orang yang berbuat bid’ah amalannya akan sia-sia atau merugi. Allah berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.[39]
Terhalang untuk bertaubat
Dari Anas bin Malik, Nabi Islam Muhammad bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.”[40]
Tidak mendapat syafaat
Nabi Islam Muhammad berkata,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “[41]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.”[42]
Inilah doa laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi Islam Muhammad dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol mengatakan,
“Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridai oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadis ini.”
[Ibnu Baththol(Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah)
Berdosa jika perbuatannya tertular orang lain
Nabi Islam Muhammad berkata,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik lalu diikuti oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu sunnah yang buruk lalu diikuti oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran yg buruk seperti orang yang mengamalkan, tanpa mengurangi dosa si pemberi misal.[43]
^An-Na'im, Abdullahi Ahmed (1996-01-01). Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (dalam bahasa Inggris). Syracuse University Press. hlm. 197. ISBN9780815627067. This can be illustrated not only from usage of early Musims but also from the usage of the Prophet (s) himself when he speaks of reward for any Muslim who establishes a good sunna and punishment for any Muslim who establishes a bad sunna.
^Valentine, Simon Ross (2015-08-01). Force and Fanaticism: Wahhabism in Saudi Arabia and Beyond (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 87. ISBN9781849046152. Wahhabism, literal and narrow in its exegesis of the Quran and hadith regards bida as 'whatever religious practice or concept had come into being after the third century of the Islamic era', or as some ulema argue, those things introduced into society which were not known at the time of Prophet Muhammad (s)
^see Nurcholish Madjid, "Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafa: A Problem of Reason and Revelation in Islam" (Ph.D. dissertation., University of Chicago, 1984), pp.235-36.