Taenia adalah sebuah genuscacing pita yang anggotanya menjadi parasit pada manusia dan hewan ternak seperti babi, sapi, dan kerbau.[2] Cacing Taenia mengakibatkan dua jenis penyakit, yaitu taeniasis dan sistiserkosis. Genus ini memiliki puluhan spesies. Secara morfologis, mereka memiliki tubuh seperti pita yang tersusun dari segmen-segmen yang disebut proglotid. Nama Taenia berasal dari bahasa Yunani ταίνια, tainia yang berarti pita, perban, atau garis-garis. Pada ujung anterior (depan) tubuh, terdapat bagian menyerupai kepala yang disebut skoleks. Tidak semua anggota genus Taenia memiliki skoleks yang dilengkapi dengan "senjata" berupa kait dan/atau duri. Sebagai contoh, skoleks pada Taenia saginata tidak bersenjata, sedangkan Taenia solium memiliki skoleks bersenjata.[3]
Spesies
Ada puluhan spesies dalam genus Taaenia. Di antara spesies-spesies tersebut, ada tiga spesies yang dianggap penting karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica.[4] Perbedaan di antara ketiganya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Cacing Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan inang definitif. Proglotid gravid (segmen tubuh yang telah matang dan dipenuhi telur) akan terlepas dan memisahkan diri dari tubuh cacing untuk keluar secara aktif dari anus atau keluar secara pasif bersama-sama tinja inang definitif. Terkadang, proglotid masih bergerak setelah berada di luar tubuh. Inang perantara (sapi, babi, atau hewan lain) harus menelan proglotid atau telur tersebut untuk melengkapi daur hidup Taenia. Bila spesies Taenia ditelan oleh spesies inang perantara yang sesuai, telur cacing akan menetas dan selanjutnya mengeluarkan embrio (disebut onkosfer) yang kemudian menembus dinding usus inang. Embrio cacing yang terbawa sirkulasi darah dan limfa akan mencapai otot lurik dan berkembang menjadi larva yang disebut sistiserkus. Jaringan otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot di antara tulang rusuk.[5]
Di dalam jaringan otot, sistiserkus akan tumbuh, membuat lubang, dan berkembang menjadi larva kedua yang bersifat infeksius dan berbentuk menyerupai kandung kemih. Untuk melanjutkan daur hidup, inang definitif (manusia) harus menelan daging inang perantara (sapi dan babi) yang kurang matang. Di dalam usus inang definitif, skoleks cacing akan menempel dan "bagian leher" cacing akan menghasilkan segmen-segmen baru. Telur akan terlihat pada tinja dalam enam sampai sembilan pekan, dan daur hidup ini kembali berputar.[7]
Penyakit
Infeksi Taenia dikenal dengan istilah taeniasis dan sistiserkosis. Taeniasis terjadi saat inang terinfeksi cacing Taenia dewasa. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh T. solium (cacing pita babi), T. saginata (cacing pita sapi), dan T. asiatica. Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia.[8]
Sementara itu, sistiserkosis merupakan kondisi saat tubuh inang terinfeksi sistiserkus. Cacing pita babi dapat mengakibatkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak. Kemampuan T. asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti, tetapi ada dugaan bahwa spesies ini merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.[9] Manusia terkena sistiserkosis bila mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung telur T. solium. Hal ini juga dapat terjadi melalui proses swainfeksi oleh individu penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali makanan.[10]
Sumber infeksi Taenia pada manusia yaitu penderita taeniasis yang tinjanya mengandung proglotid telur cacing; hewan, terutama babi dan sapi yang di dalam ototnya mengandung sistiserkus; serta makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.[11]
Penyebaran
Penyebaran di dunia
Cacing pita Taenia tersebar secara luas di seluruh dunia.[12] Penyebaran Taenia dan kasus infeksinya lebih banyak terjadi di daerah tropis karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi dan iklim yang sesuai untuk perkembangan parasit ini.[13] Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi T. solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin.[14] Beberapa kasus infeksi Taenia di negara tropis dapat dilihat di bawah ini.
Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah tropis yaitu ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa negara Asia yang dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia.[21] Asian Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negaraAsia yang umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Korea dan Cina.[22] Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica.[23] Kejadian T. asiatica yang tinggi terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia.[18]
Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia terutama di negara berkembang.[24] Penyebaran sistiserkus pada manusia dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging mentah atau setengah matang.[25] Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang dapat disebar oleh air hujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat pelepasan telur.[5]
Penyebaran di Indonesia
Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi Papua.[26] Di Kabupaten Jayawijaya, Papua, ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi.[24] Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit.[24] Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi.[24] Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak.[24]
Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%.[18] Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak.[27] Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%.[18] Kasus T. asiatica di provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang.[18]
^ abcKusumamihardja, S. (1992). Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Roberts, Larry S; Janovy, Jr., John (2004). Foundations of Parasitology (edisi ke-7). McGraw-Hill Higher Education.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdSatrija, F (2005), Helmintologi: Ciri Umum dan Morfologi Helminth, Bogor: Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, hlm. 1–5
^Dharmawan, N.S. (2004). "Taenia asiatica: Bentuk Ketiga Cacing Pita Taenia". Jurnal Veteriner. 5 (4).
^"Taeniasis". CDC. 18 Desember 2017. Diakses tanggal 24 Juli 2021.
^ abSimanjuntak, Gindo Mangara (2000). Studi Taeniasis/Cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-24. Diakses tanggal 2021-07-24.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Hunter, G.W.; Frye, W.W.; Swartzwelder, J.C. (1971). A Manual of Tropical Medicine (edisi ke-4). Philadelphia: Saunders.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcde Wandra, T., A. A. Depary, P. Sutisna, S. S. Margono, T. Suroso, M. Okamoto, P. S. Craig, dan A. Ito (2006). "Taeniasis and Cysticercosis in Bali and North Sumatra, Indonesia". Parasitology International. 55: 155–160. doi:10.1016/j.parint.2005.11.024.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^ Suroso, T., S. S. Margono, T. Wandra, dan A. Ito. (2006). "Challenges for Control of Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia". Parasitology International. 55: 161–165. doi:10.1016/j.parint.2005.11.025.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^(Inggris) Galan-Purchades, M. T., dan M. V. Fuentes. 2000. The Asian Taenia and The Possibility of Cysticercosis. Korean Journal of Parasitology 38 (1): 1-7.
^(Inggris) Bowles, J., dan D. P. McManus. 1994. Genetic Characterization of the Asian Taenia, A Newly Described Taeniid Cestodes of Human. American Journal Trop Med Hyg 50:33-34.
^(Inggris) Ito, A., M. Nakao, T. Wandra, T. Suroso, M. Okamoto, H. Yamasaki, Y. Sako, dan K. Nakaya. 2005. Taeniasis and Cysticercosis in Asia and The Pacific. Southest Asian J Trop Med Public Health 36(4): 123-130.
^(Inggris) Gomes, A. B. K. A. Soares, E. C. Bueno, N. M. Espindola, A. A. Maia, R. H. Peralta, A. J. Vaz. 2007. Comparative Evaluation of Different Immunoassays for the Detection of Taenia solium Cysticercosis in Swine with Low Parasite Burden. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Jaineiro 102 (6): 725-731.
^ Margono, SS (2006). "Taeniasis/Cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia". Parasitology International. 55: 143–148. doi:10.1016/j.parint.2005.11.051.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^ Margono, S. S., T. Wandra, dan T. Suroso (2001). "Cysticercosis in Indonesia: Epidemiological Aspects". Southeast Asian J Trop Med Public Health (dalam bahasa English). 32 (2): 79–84.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)