Siratalmustakim
Shirat al-Mustaqim (Arab: الصراط المستقيم, Ash-Shirāthal Mustaqiym) adalah sebuah frasa dalam surat Al Fatihah. Kalimat ini secara harfiah memiliki arti "Jalan (yang) lurus". Para ulama ahli tafsir baik dari kalangan sahabat ataupun dari para tabi'ut dan tabi'ut tabi'in, telah banyak memberikan penjelasan tentang arti dari shiratal mustaqim. Konsep ini diartikan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an sebagai tindakan penyembahan kepada Allah semata. Pedoman untuk mencapai jalan yang lurus ditetapkan kepada beberapa hal, yaitu ajaran Islam dalam Al-Qur'an dan Sunnah dan contoh dari para Sahabat Nabi khususnya Khulafaur Rasyidin. Jalan yang lurus telah diterapkan oleh Nabi Muhammad pada masa kenabiannya dan berlanjut hingga ke masa Kekhalifahan Rasyidin. EtimologiKata ash-shiraath (الصراط) diambil dari kata saratha (سرط) dan karena huruf sin (س) dalam kata ini bergandengan dengan huruf ra (ر), maka huruf sin (س) diucapkan shad (ص). Asal kata ash-shiraath sendiri bermakna "menelan". Jalan yang lebar dinamakan shiraath, karena sedemikian lebarnya sehingga jalan itu bagaikan menelan pejalannya. Kata mustaqiim (مستقيم) diambil dari kata "qaama-yaquumu" (قام - يقوم) yang arti asalnya adalah "mengandalkan kekuatan betis" dan "memegangnya secara teguh sampai yang bersangkutan dapat berdiri." Karena itu kata قام dapat diterjemahkan "berdiri" atau "tegak lurus". Dalam surah al-Fatihah ini mustaqiim diartikan "lurus." Dengan demikian, shiraathal mustaqiim dapat diartikan "jalan luas, lebar dan terdekat menuju tujuan", "jalan luas lagi lurus itu adalah segala jalan yang dapat mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat."[1] Lafaz dan dalilShiratal mustaqim, sebagaimana dilafazkan dalam Al Qur'an dapat diartikan sebagai jalan yang terang dan jelas.[2] Allah dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa jalan yang lurus bentuknya dengan melaksanakan ibadah kepada-Nya. Dalam Surah Ali Imran ayat 51 dinyatakan bahwa menyembah Allah sebagai tuhan merupakan jalan yang lurus. Pernyataan yang sama persis dinyatakan kembali dalam Surah Az-Zukhruf ayat 64. Kemudian pada Surah Maryam ayat 36 pernyataan yang sama diulang dengan redaksi yang sedikit berbeda. Lalu pada Surah Yasin ayat 60-61, pernyataan menyembah Allah sebagai jalan yang lurus ditambahkan dengan larangan kepada manusia untuk tidak menyembah setan.[3] MaknaMenurut Imam Abu Ja’far bin Juraih ia berkata, “Para ahli tafsir telah sepakat seluruhnya bahwa shiratal mustaqim adalah jalan yang jelas yang tidak ada penyimpangan di dalamnya”.[4] Sedangkan menurut Imam Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa ada empat perkataan ulama tentang makna shiratal mustaqim, diantaranya adalah:
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mejelaskan: “Shiratal mustaqim adalah jalan yang jelas dan gamblang yang bisa mengantarkan menuju Allah dan surga-Nya, yaitu dengan mengenal kebenaran serta mengamalkannya”.[6] Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan, “Yang dimaksud dengan shirat (jalan) di sini adalah Islam, al Qur’an, dan rasul. Ketiganya dinamakan dengan “jalan” karena mengantarkan kepada Allah. Sedangkan al-mustaqim maknanya jalan yang tidak bengkok, lurus dan jelas yang tidak akan tersesat orang yang melaluinya”.[7] Perbedaan penjelasan para ulama tentang arti shiratal mustaqim tidaklah saling bertentangan satu dengan yang lainnya, bahkan penjelasan tersebut saling melengkapi. Maka dapat disimpulkan bahwa dari penjelasan di atas shiratal mustaqim adalah agama Islam yang sangat jelas dan gamblang, yang harus diamalkan berdasarkan al-Qur’an dan as-sunnah, sehingga menjadikan keyakinan para muslim akan membuat pelakunya masuk ke dalam surga Allah, dan jalan inil adalah jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul serta para sahabatnya. Silang pendapatPara Sahabat Nabi dan kaum salaf memiliki beberapa pendapat mengenai pengertian dari jalan yang lurus. Ada yang berpendapat bahwa jalan yang dimaksud adalah Al-Qur'an sebagai kitabullah. Pendapat lain menyatakan bahwa jalan yang dimaksud adalah Islam. Sementara sebagian pendapat lainnya menyatakan bahwa jalan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Beberapa pendapat juga menyatakan bahwa jalan yang dimaksud adalah tindakan para Khulafaur Rasyidin.[2] Ibnu Taimiyah memberikan pendapatnya mengenai jalan yang lurus. Ia menggabungkan dan menyatukan pendapat-pendapat para Sahabat Nabi dan kaum salaf. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa pendapat-pendapat tersebut saling mendukung satu sama lain dan saling menguatkan. Ia kemudian berpendapat bahwa jalan yang lurus adalah jalan menerapkan Islam dengan bimbingan dari Al-Qur'an yang penjelasannya diperoleh dari Sunnah dan dicontohkan oleh Sahabat Nabi khususnya para Khulafaur Rasyidin.[2] Periode penerapanMasa Nabi Muhammad dan Khulafaur RasyidinPenerapan jalan lurus yang pertama diperoleh oleh Nabi Muhammad selama masa kenabiannya dalam penyebaran Islam. Setelah itu, jalan lurus ini diteruskan kepada para penggantinya sebagai khalifah yaitu Khulafaur Rasyidin. Kekhalifahan Rasyidin dimulai sejak tahun 632 Masehi. Periodenya berlangsung selama 4 masa kepemimpinan khalifah yang semuanya merupakan Sahabat Nabi. Khalifah pertama adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memimpin Kekhalifahan Rasyidin hingga tahun 634 Masehi. Kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua yang memimpin hingga tahun 644 Masehi. Setelah itu, Kekhalifahan Rasyidin dipimpin oleh Utsman bin 'Affan sebagai khalifah ketiga hingga tahun 656 Masehi. Kekhalifahan Rasyidin berakhir dalam kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat hingga tahun 661 Masehi.[8] Referensi
Pranala luar |