Silo terletak di pegunungan Efraim, merupakan ibu kota keagamaan Israel selama 300 tahun sebelum berpindah ke Yerusalem.[2] Disebutkan pertama kali di Kitab Yosua dan seterusnya pada zaman Kitab Hakim-hakim, kota ini terletak di sebelah utara Betel, sebelah timur jalan raya Betel ke Sikhem dan di sebelah selatan Lebona di pegunungan Efraim (Hakim-hakim 21:19). Silo dipastikan berada di lokasi kota Khirbet Seilun oleh pakar Amerika, E. Robinson pada tahun 1838. Sebelumnya lokasi ini dicatat oleh penulis zaman Romawi, Eusebius dan oleh Ishtori Haparchi.
Silo disebutkan sebagai tempat berkumpulnya orang Israel setelah mereka menaklukkan tanah Kanaan dan berpindah dari Gilgal.
Maka berkumpullah segenap umat Israel di Silo, lalu mereka menempatkan Kemah Pertemuan di sana, karena negeri itu telah takluk kepada mereka. (Yosua 18:1)
Pada satu waktu ketika masih di Silo, kemah yang dapat dipindah-pindah itu tampaknya ditutupi dalam satu kompleks atau digantikan dengan bangunan yang mempunyai "pintu" (1 Samuel 3:15) yang kemudian menjadi dasar Bait Suci di Yerusalem. Silo menjadi pusat ibadah Israel, di mana umat berkumpul pada hari-hari raya sebagaimana diwajibkan dalam Kitab Taurat.[6] Di sinilah Yosua membagi milik pusaka sejumlah suku-suku Israel termasuk kota-kota orang Lewi dengan undian.[7] Hal ini menunjukkan bahwa Allah yang menetapkan pembagian tanah itu untuk tiap suku.
Bangsa Israel juga membuat rencana peperangan di Silo.[8]
Pada zaman Hakim-hakim, ibadah di Silo mendapat saingan tempat ibadah di Dan di Utara, berisi patung-patung sembahan Mikha, yang dirampas oleh suku Dan.[9] Perayaan di Silo juga menjadi ajang bagi dua ratus laki-laki suku Benyamin untuk mendapatkan istri di antara para gadis perawan suku-suku lain[6] setelah suku Benyamin hampir punah akibat Pertempuran Gibea.[10]
Beberapa abad kemudian, Samuel dibesarkan di sana oleh imam Eli.[11] Samuel mendapat wahyu Allah ketika masih muda (1 Samuel 3) dan terus melayani di Kemah Pertemuan, meskipun bukan sebagai imam, karena ia bukan keturunan Harun.
Ketika Israel berperang dengan orang Filistin dan terdesak, mereka membawa Tabut Perjanjian ke luar dari Kemah Pertemuan di Silo ke medan pertempuran, tetapi orang Filistin mengalahkan mereka di Afek, membunuh kedua putra imam Eli dan merampas Tabut Perjanjian itu serta membawanya ke wilayah Filistin. Saat mendengar kabar itu dari salah seorang pembawa berita, imam Eli jatuh dan meninggal. Rupanya satu pasukan Filistin terus maju menyerang Silo dan menghancurkan tempat kudus itu.[12] Namun tampaknya Kemah Pertemuan sudah dipindahkan sebelum kedatangan orang Filistin, dan dibawa ke Gibeon sampai pada zaman raja Daud. Tabut Perjanjian tidak lama kemudian dikembalikan oleh orang Filistin ke Israel, tetapi disimpan di Kiryat-Yearim sampai Daud membawanya kembali ke Yerusalem. Tabut itu tidak pernah lagi kembali ke Silo.
Ketika Salomo meninggal, sepuluh suku memisahkan diri dan mendirikan ibadah sendiri (1 Raja–raja 12:31, 2 Raja–raja 17:29–32, dan 2 Tawarikh 13:9). Pada waktu itu, Silo tampaknya digunakan lagi sebagai tempat kudus. Merupakan rumah nabi Ahia (=Ahiyah HaSyiloni; "Ahia dari Silo"), yang menubuatkan perpecahan Kerajaan dan pemisahan sepuluh suku setelah matinya Salomo.[13]
Isaac b. Joseph Chelo dari Aragon, pengarang "Shibhe di-Yerushalayim", dicatat pernah mengunjungi tempat ini pada tahun 1334.
Zaman Kristen
St. Hieronimus, dalam suratnya kepada Paula dan Eustochius, sekitar tahun 392–393, menulis: "Dengan Kristus di pihak kita, kita akan melewati Silo dan Betel " (Ep.46,13, PL 22, 492). Gereja di Yerusalem tidak menjadwalkan ziarah tahunan ke Silo, tidak seperti yang dilakukan ke Betel. Sebaliknya, peringatan untuk Samuel diadakan pada tanggal 20 Agustus di desa Masephta (Mizpa atau Mitzpah). Rupanya peziarah tidak dapat mengunjungi Silo, karena satu-satunya yang disebut dengan nama itu —peziarah abad ke-6 Theodosius (pasal 4, CCSL 175, 116)— salah menempatkan lokasinya di tengah jalur antara Yerusalem dan Emaus. Kesalahan ini bertahan berabad-abad, misalnya pada peta Florentine tahun 1300, yang menempatkan Silo di Nebi Samwil di mana ditemukan makam Samuel. Peta mosaik Madaba salah menempatkan lokasi Silo di sebelah timur Sikhem, menghilangkan gambar gereja.
Zaman Islam
Pada tahun 638 orang Islam menguasai wilayah Palestina. Peziarah Muslim yang pergi ke Silo menyebutkan adanya mesjid yang bernama "es-Sekineh" yang menghormati perbuatan-perbuatan Yakub dan Yusuf. Sumber paling awal adalah el-Harawi, yang mengunjungi negeri itu pada tahun 1173 ketika dikuasai oleh tentara Perang Salib, yang menulis: "Seilun adalah desa tempat mesjid es-Sekineh di mana batu Mezbah ditemukan". Yaqut (1225) dan el-Quarwini (1308, Marmardji, 1394–1395), menulis hal yang serupa.
"Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa."[14]
Orang-orang Kristen menghubungkan tokoh "Silo" ("dia yang berhak atasnya") ini dengan Mesias, karena "Silo" diyakini merujuk kepada YesusKristus.[15]
^Seder Olam Rabbah bagian "Yosua". Kutipan: Rumah suci (sanctuary) di Silo dibangun pada tembok-tembok batu dan ditutupi dengan permadani tenunan; Israel beribadah di sana selama 369 tahun, kemudian tempat itu dihancurkan.