Sidang isbat (secara harfiah isbat berarti penyungguhan, penetapan, dan penentuan)[1] adalah sidang penetapan dalil syar'i di hadapan hakim dalam suatu majelis untuk menetapkan suatu kebenaran atau peristiwa yang terjadi.[2] Sidang isbat juga bisa dilakukan dengan kedatangan sang penuntut yang meminta haknya atau mencegah terjadinya penolakan terhadap hak tersebut. Jika tuntutannya dipenuhi oleh hakim sesuai dengan ketetapan syar'i, maka hakim mencegah penolakan terhadap haknya dan mengabulkan tuntutannya. Dalam kondisi ini, seorang penuntut diwajibkan memberikan bukti tuntutannya, sementara tergugat harus mengucapkan sumpah jika ingin menolak tuntutan.[2]
Namun di Indonesia secara populer, sidang isbat sering dikaitkan dengan penetapan datangnya bulan Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, selain juga isbat nikah.
Sidang isbat Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha
Sidang isbat Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha diselenggarakan oleh pemerintah sejak tahun 1950 dengan tujuan menetapkan hari pertama Bulan Ramadan, Syawal, dan tanggal 10 Dzulhijjah. Pada awal penyelenggaraannya, sidang ini hanya sederhana dengan didasarkan fatwa para ulama bahwa negara punya hak untuk menentukan datangnya hari-hari tersebut. Kemudian mulai tahun 1972, Badan Hisab Rukyat (BHR) mulai dibentuk di bawah Kementerian Agama. Di dalamnya terdapat para ahli, ulama dan ahli astronomi, yang tugas intinya memberikan informasi, memberikan data kepada Menteri Agama tentang awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.[3]
Sidang ini diadakan satu hari sebelum hari yang diperkirakan sebagai awal bulan yang dimaksud. Dalam sidang ini, dihadirkan berbagai ulama, tokoh, dan organisasi masyarakat di Indonesia. Dan pada tahun 2013, juga direncanakan hadirnya perwakilan negara lain yang akan menjadi saksi dan memberi pandangan mengenai penentuan tanggal penting ini.[4] Sidang akan diawali dengan pemaparan mengenai posisi hilal atau bulan pada petang hari di sejumlah daerah oleh anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI dari Planetarium.[5] Kemudian berbagai perwakilan Ormas dan Ulama yang menggunakan berbagai metode dalam menentukan datangnya hari suci akan bermusyawarah untuk menentukan dengan kesepakatan bersama. Setelahnya pemerintah mengumumkannya sebagai sebuah keputusan yang disahkan negara. Namun Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama sendiri mengakui bahwa keputusan ini tidaklah mengikat, sehingga setelahnya bisa saja pihak tertentu tetap meyakini tanggal yang berbeda.[3]
Kontroversi
Berbagai organisasi massa dan aliran tertentu biasanya memiliki cara penghitungan atau penetapan yang berbeda-beda, sehingga tetap saja meyakini hari suci yang berbeda dengan yang telah ditetapkan dalam sidang isbat. Perbedaan ini telah sering terjadi di Indonesia dan menyebabkan perbedaan pelaksanaan hari pertama puasa, Salat Idul Fitri, dan Salat Idul Adha. Muhammadiyah adalah salah satu organisasi massa yang sering disorot karena perbedaan ini. Akhirnya sejak tahun 2012, Muhammadiyah tidak lagi bersedia menghadiri sidang ini walaupun mendapat undangan.[6] Biasanya, Muhammadiyah, Satariyah di Medan, Naqsyabandiyah, dan An Nasir dari Sulawesi Selatan adalah pihak yang sering mengambil sikap berbeda dari pemerintah.[7]
Sidang isbat nikah
Sidang isbat nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan kepengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. Biasanya sidang ini diadakan bagi pasangan yang pernikahannya belum dicatat negara, kehilangan buku nikah, atau menikah sebelum tahun 1974. Pemohon diminta mengisi formulir pengajuan sidang isbat, membayar biaya perkara, menunggu panggilan sidang, menghadirkan bukti dan saksi, dan akhirnya menerima keputusan pengadilan.[8]