Sensus Penduduk Indonesia 1961
Sensus Penduduk Indonesia 1961 merupakan sensus pertama Indonesia sebagai negara berdaulat. Dengan jumlah penduduk sebesar 97.018.829 jiwa, Indonesia merupakan negara terpadat kelima di dunia saat itu. Sensus ini mencakup seluruh wilayah di Indonesia, tetapi tidak dilakukan penghitungan di wilayah Papua Barat karena saat itu masih berada di bawah pendudukan Belanda. Sebagai gantinya, perkiraan jumlah penduduk wilayah tersebut dimasukkan dalam angka sensus akhir. Menurut sensus tahun 1961, kepadatan penduduk Indonesia saat itu adalah 50,9 jiwa/km2. Sebagai sensus pertama Indonesia sejak era kolonial Belanda (tahun 1930), data hasil sensus ini digunakan untuk merencanakan pembangunan masa depan bangsa.[1] Sepertiga penduduk Indonesia saat itu berusia di bawah sepuluh tahun, dan 65 persen dari populasi tinggal di pulau Jawa, yang dianggap kelebihan populasi sejak tahun 1930-an. Para ahli demografi menekankan bahwa sebagian besar kaum muda menyebabkan tantangan demografi. Mengingat sekitar seperlima pemuda pedesaan masih menganggur, muncul pertanyaan apakah Indonesia akan mampu menyerap gelombang pekerja baru di masa mendatang. Pertanian merupakan industri dominan yang mempekerjakan 72 persen pekerja. Sensus juga mengumpukan data terkait tingkat kehadiran sekolah masyarakat untuk memfasilitasi perencanaan pendidikan. Hampir setengah dari penduduk berusia sepuluh tahun ke atas dapat membaca dan menulis dalam aksara Latin maupun aksara non-Latin. Sekitar 350.000 petugas pendataan terdaftar di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Pelaksanaan sensus dimulai pada bulan Februari 1961, dengan penghitungan dan verifikasi akhir dilakukan pada bulan Oktober. Tabulasi dilakukan di biro statistik tingkat provinsi, tetapi hanya data dari tiga provinsi yang diproses secara lengkap. Data untuk wilayah Indonesia lainnya diambil dari survei 1 tabulasi sampel persen dari pengembalian sensus, dan banyak hasil sensus asli telah hilang. Latar belakangSensus penduduk 1961 merupakan sensus pertama di Indonesia setelah merdeka dari Belanda.[2] Sensus Hindia Belanda tahun 1930 adalah sensus sebelumnya yang telah diselesaikan dengan hasil perhitungan jumlah penduduk sebanyak 60.727.233 jiwa.[1][3] Setelah sensus 1930, ada rencana untuk melakukan sensus pada tahun 1940, tetapi dibatalkan karena Perang Dunia II.[4] Berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan konstan dari sensus tahun 1930, estimasi resmi untuk jumlah populasi tahun 1940 adalah sebanyak 70,4 juta penduduk.[5] Perkiraan selanjutnya pada tahun 1950—kali ini dihimpun dari catatan pendaftaran sipil yang dimiliki oleh kepala desa setempat—menunjukkan jumlah penduduk sebesar 77,2 juta jiwa. Namun, catatan populasi di beberapa wilayah Jawa dan wilayah lain di Indonesia pada saat itu seringkali kurang lengkap, dan metode pengumpulan data tidak konsisten; oleh karena itu, keandalan estimasi ini dipertanyakan.[6] Pada tahun 1953, Komisi Statistik dan Komisi Populasi PBB mulai mendorong negara-negara anggota PBB untuk melakukan dan menyelesaikan sensus nasional mereka pada tahun 1960 dengan menggunakan metode statistik baru.[7] Sebagai tanggapan menganai hal itu, Kabinet Djuanda membentuk Biro Pusat Statistik (disingkat BPS) melalui Keppres pada bulan Januari 1958 dan memerintahkannya untuk mempersiapkan sensus yang akan diadakan pada tahun 1960 atau 1961.[8] Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, mencabut undang-undang sensus era Belanda atas nama perencanaan dan pembangunan nasional,[9] dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1960 tentang Sensus menjadi dasar hukum baru sensus.[10] Enumerasi dan tabulasiHari pelaksanaan sensus secara resmi dimulai pada tanggal 31 Oktober 1961. Untuk memudahkan operasional, BPS mendirikan kantor sensus di setiap provinsi dan gubernur provinsi ditunjuk sebagai direktur ex officio untuk operasional sensus.[10] Staf kantor provinsi dilatih langsung oleh BPS, dan mereka pada gilirannya melatih petugas sensus di tingkat kabupaten. Rantai tersebut berlanjut hingga ke tingkat kecamatan, tempat para enumerator dan pengawas mereka dilatih. Secara keseluruhan, sensus ini melibatkan sekitar 350.000 petugas sensus dan 50.000 pengawas.[11] Persiapan dimulai tiga tahun sebelumnya dengan penggambaran enumerasi tingkat kecamatan dan pelaksanaan uji coba survei untuk mensimulasikan sensus. Pelaksanaan survei secara lapangan dimulai pada bulan Februari 1961 dengan pencatatan dan verifikasi rumah tangga. Sekitar 200.000 enumerasi kecamatan dibentuk, dengan setiap kecamatan menampung sekitar 100 rumah tangga. Kegiatan ini berlanjut hingga Oktober, dan enumerasi penduduk sebenarnya dilakukan pada bulan yang sama. Petugas pendataan mendata rumah tangga—sekitar 57 rumah tangga per petugas pendataan—dan memverifikasi informasinya. Di Sulawesi Selatan, enumerasi ditunda hingga bulan Desember karena masalah keamanan selama Pemberontakan Permesta. Antara tanggal 19 dan 31 bulan Oktober, petugas sensus mengunjungi kembali setiap rumah tangga untuk melakukan pengecekan akhir terhadap kelahiran baru, kematian, dan perubahan lainnya sejak rumah tangga tersebut pertama kali disurvei.[11] Individu yang tidak hadir pada saat pendataan karena pekerjaan dan mereka yang berada di luar rumah kurang dari tiga bulan, didata di tempat asal mereka.[12] Sensus menggunakan jadwal individu dan jadwal rumah tangga. Jadwal individu mengumpulkan informasi mengenai nama seseorang, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, usia, status perkawinan, kewarganegaraan, agama, bahasa, tempat lahir, pendidikan, dan tingkat kehadiran di sekolah.[11] Untuk individu berusia sepuluh tahun atau lebih, jadwal tersebut mengumpulkan informasi tentang literasi, jenis kegiatan, pekerjaan utama, industri, status dalam industri, pekerjaan sekunder, dan jumlah kelahiran setiap wanita yang sudah menikah. Rumah tangga yang dijadwalkan berisi topik terpisah untuk perusahaan industri, rumah tangga institusional, dan rumah tangga pribadi. Untuk rumah tangga pribadi, jadwal tersebut juga mencakup jenis rumah dan informasi pertanian.[13] Tabulasi jadwal dilakukan dalam dua kelompok. Jadwal dari semua wilayah perkotaan dan 10 persen jadwal dari daerah pedesaan diproses secara mekanis oleh BPS. Sisa 90 persen jadwal pedesaan ditabulasi secara manual di tingkat provinsi. Hasil sementara pertama dirilis pada bulan Desember 1961. Hal ini diikuti enam bulan kemudian dengan data tiap kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.[13] Hanya data dari tiga provinsi (Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur) yang diproses secara lengkap, sedangkan data untuk seluruh wilayah Indonesia diambil dari data 1 tabulasi sampel persen dari pengembalian sensus.[12] Banyak hasil rincinya yang telah hilang.[4] Data populasiSensus tersebut menghasilkan data jumlah penduduk sebesar 97.018.829 jiwa, [2] yang berarti peningkatan sebesar 60 persen dibandingkan sensus tahun 1930.[14] Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak kelima di dunia, setelah Republik Rakyat Tiongkok (669 juta jiwa pada tahun 1958), India (438 juta jiwa pada tahun 1961), Uni Soviet (214 juta jiwa pada tahun 1960), dan Amerika Serikat (182 juta jiwa pada tahun 1961).[2] Rasio jenis kelamin secara keseluruhan adalah 95 laki-laki per 100 perempuan.[15] Walaupun sensus mencakup seluruh wilayah negara, tidak ada penghitungan yang dilakukan di wilayah Papua Barat yang diklaim Indonesia, karena masih berada di bawah pendudukan Belanda. Alhasil, data jumlah penduduk untuk wilayah tersebut ditambahkan melalui perkiraan sebesar 700.000 jiwa.[10] Sebagai perbandingan, pejabat Belanda melaporkan kepada PBB pada tahun yang sama dengan sensus bahwa penduduk asli Papua Barat adalah 717.055. Angka ini tidak termasuk sekitar 12.000 tentara Belanda.[16]
Penyebaran geografisSalah satu ciri utama penduduk Indonesia adalah adanya perbedaan kepadatan penduduk antar pulau-pulaunya.[17] Hampir 65 persen dari total penduduk tinggal di pulau Jawa yang hanya seluas 6,9 persen dari total luas wilayah Indonesia. [14] Jawa sudah dianggap kelebihan populasi sejak tahun 1930an.[18] Di sisi lain, Kalimantan yang luas wilayahnya mencapai 28 persen dari total wilayah Indonesia, hanya dihuni oleh 4,2 persen dari total populasi. Rasio penduduk Jawa terhadap total penduduk menurun dari sensus tahun 1930, menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau-pulau lain. Sumatera dan Kalimantan, misalnya, jumlah penduduknya hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 1930.[14] UrbanisasiProporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan hampir dua kali lipat dari sensus sebelumnya, yaitu dari 7,5 persen menjadi hampir 15 persen.[19] Dalam literatur tahun 1950-an mengenai urbanisasi di Asia, Indonesia secara umum dipandang sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang paling sedikit mengalami urbanisasi,[20] meskipun setiap negara menerapkan kriteria yang berbeda untuk mendefinisikan wilayah perkotaan.[21] Federasi Malaya, misalnya, menerapkan kriteria numerik 1.000 penduduk atau lebih agar sebuah wilayah dapat disebut perkotaan,[22] yang mengakibatkan tingkat urbanisasinya sebesar 42,7 persen pada tahun 1957.[20] Sensus tahun 1961 memandang daerah perkotaan adalah ibu kota Jakarta, 48 wilayah otonom yang diberi status kotamadya, semua ibu kota kabupaten atau pusat pemerintahannya (terpisah dari kotamadya), enam daerah berkarakter perkotaan dengan lebih dari 20.000 penduduk, dan daerah-daerah lain yang secara sewenang-wenang dianggap sebagai perkotaan oleh kepala kabupaten.[21] Karena kriteria non-numerik digunakan untuk klasifikasi ini, tidak semua kota dengan populasi di atas 20.000 dihitung sebagai perkotaan.[22] Permukiman di daerah industri besar juga dikecualikan meskipun penduduk setempat menganggapnya sebagai kota.[21] Sebaliknya, sensus tahun 1930 menerapkan definisi seragam untuk semua daerah yang memiliki "tampilan yang kurang lebih perkotaan" dengan lebih lebih dari 1.000 penduduk sebagai perkotaan, yang terdiri dari 32 kotamadya dan 146 non-kotamadya.[23]
Sekitar dua pertiga penduduk perkotaan Indonesia tinggal di Jawa.[19] Proporsi ini menurun sejak tahun 1930, ketika wilayah perkotaan di Jawa mencakup lebih dari 78 persen dari total penduduk perkotaan Indonesia.[24] Tren ini menunjukkan tingkat pertumbuhan banyak kotamadya di luar Jawa melampaui tingkat pertumbuhan kotamadya lama di Jawa, yang mencerminkan perkembangan historis pulau tersebut. Eksploitasi kolonial di Jawa dimulai pada abad ke-17, sedangkan sumber daya di pulau-pulau terluar tidak dipanen untuk ekspor dalam skala besar sampai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[25] Dalam sensus tahun 1961, 13 dari 23 kota terbesar dengan lebih dari 100.000 penduduk terletak di Jawa. Sebaliknya, hanya 1 dari 7 kota sebesar ini pada tahun 1930 yang terletak di luar Jawa.[24] Dalam sensus ini dua kota memiliki lebih dari 1 juta penduduk.[26] Jumlah penduduk Jakarta tumbuh lebih dari lima kali lipat dari 533.000 jiwa pada tahun 1930 menjadi 2,97 juta jiwa,[27] sebagian karena batas kotanya diperluas pada tahun 1950.[28] Surabaya di Jawa Timur mengalami peningkatan populasi tiga kali lipat dalam periode waktu yang sama menjadi lebih dari 1 juta.[27] Kota ketiga, Bandung di Jawa Barat, berada di posisi ketiga dengan jumlah penduduk sebesar 972.556 jiwa.[26] Pertumbuhan yang disebabkan oleh perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota merupakan karakteristik yang terlihat di sebagian besar negara berkembang pada periode pasca perang.[29] Namun, jika dibandingkan dengan negara tetangga Myanmar (Burma), misalnya, yang pertumbuhan ekonominya sebagian besar terpusat di ibu kota Rangoon (Yangon), Indonesia memiliki distribusi penduduk kota yang lebih merata, mirip dengan beberapa negara maju.[30] Dari kota-kota yang berpenduduk lebih dari 100.000 jiwa, Bandung, bersama dengan Medan dan Pematangsiantar di Sumatera Utara, memiliki tingkat pertumbuhan lebih cepat dibandingkan Jakarta.[31] Kota dengan pertumbuhan tercepat adalah Pekanbaru di Riau, yang memiliki tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 13,1 persen.[32] Distribusi usiaPersentase penduduk yang tertinggi (33,6 persen) adalah anak-anak di bawah usia sepuluh tahun,[33] mencerminkan penurunan angka kematian bayi dan anak pada tahun 1950-an yang disebabkan oleh penurunan kasus frambusia, tuberkulosis, dan malaria, serta ketersediaan pangan dan gizi yang lebih baik dibandingkan tahun 1940-an.[34] Dari total populasi, 55,3 persen berada pada usia kerja (usia 15–64).[35] Proporsi ini lebih tinggi di Jawa (56,5 persen) dan di wilayah perkotaan (57,6 persen).[36] Demografer Kurt Horstmann berteori bahwa distribusi penduduk yang datar antara usia sepuluh dan tiga puluh lima tahun merupakan kerugian ekonomi bagi Indonesia pada tahun 1950an. Distribusi yang lebih normal akan menghasilkan populasi pekerja yang lebih besar di suatu negara.[34] Secara keseluruhan, rasio ketergantungan di Indonesia saat itu adalah 81 orang tanggungan per 100 orang pekerja. Menggabungkan data usia dengan data distribusi perkotaan-pedesaan menunjukkan adanya masuknya pekerja muda ke pusat perkotaan. Kelompok umur 15–24 tahun memiliki representasi yang lebih besar di kota-kota (20 persen dari populasi perkotaan) dibandingkan di pedesaan (15 persen dari penduduk pedesaan).[15]
Tenaga kerja dan ekonomiTenaga kerja pada tahun 1961 berjumlah sekitar 54 persen dari populasi berusia sepuluh tahun ke atas,[37] sekitar 34,6 juta jika dijumlahkan.[38] Mereka terdiri dari individu yang bekerja setidaknya dua dari enam bulan sebelum sensus dan mereka yang menganggur tetapi sedang mencari pekerjaan. Tingkat pengangguran rata-rata berada pada angka 5,4 persen.[37] Tiga perempat dari seluruh pekerja adalah laki-laki.[39] Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan kurang dari separuh populasi laki-laki. Pengangguran perempuan lebih tinggi yaitu 7,0 persen, dibandingkan dengan laki-laki pada angka 4,8 persen.[40] Di Jakarta, angka pengangguran mencapai 7 persen.[33] Meskipun daerah perkotaan memiliki persentase pengangguran lebih tinggi daripada daerah pedesaan, pengangguran merupakan masalah serius di daerah pedesaan. Di antara pekerja pertanian di daerah pedesaan di Jawa dan Madura, sebanyak sepertiganya menganggur.[41] Pada saat yang sama, di daerah pedesaan, mayoritas perempuan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan aktivitas ekonomi lainnya secara bersamaan.[40]
Pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) merupakan industri dominan yang mempekerjakan hampir 72 persen pekerja, sedangkan sektor manufaktur mempekerjakan kurang dari 6 persen.[38] Porsi pekerja di sektor pertanian tidak menunjukkan perubahan atau hanya sedikit perubahan dibandingkan pada tahun 1930.[42] Jawa memiliki persentase pekerja terendah di sektor pertanian, tetapi memiliki persentase tertinggi yang bekerja di sektor manufaktur, perdagangan, dan jasa. Di wilayah perkotaan, sepertiga pekerja bekerja di sektor jasa, sedangkan sektor manufaktur hanya mempekerjakan seperenam pekerja perkotaan.[43] Di daerah pedesaan, pertanian mencakup 81 persen pekerja. Meskipun sektor perdagangan dan jasa hanya menyumbang kurang dari 5 persen dan kurang dari 6 persen pekerja pedesaan, masing-masing, mereka yang bekerja di bidang pertanian kemungkinan menganggap ini sebagai kegiatan ekonomi sekunder atau sampingan mereka.[44] Sekitar 1 juta anak usia 10–14 tahun bekerja (3,4 persen dari angkatan kerja yang bekerja), dengan sektor pertanian menyumbang 87% persen dari kegiatan ekonomi kelompok tersebut.[45] ReferensiCatatan kaki
Bibliografi
Peraturan perundang-undangan
Pranala luar
|