Transisi demografi adalah istilah yang mengacu kepada transisi dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi menjadi rendah karena ekonomi suatu negara atau wilayah berkembang dari ekonomi pra-industrial menjadi ekonomi yang terindustrialisasi. Teori ini diusulkan pada tahun 1929 oleh ahli geografi Amerika SerikatWarren Thompson[1] yang mengamati perubahan tingkat kelahiran dan kematian masyarakat-masyarakat industri selama 200 tahun. Sebagian besar negara maju telah melewati proses transisi demografi dan memiliki tingkat kelahiran yang rendah, sementara sebagian besar negara berkembang masih mengalami proses transisi ini.[2][3] Beberapa pengecualian adalah negara-negara miskin (terutama di Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah) yang melarat dan terkena dampak kebijakan pemerintah atau huru hara, terutama di Pakistan, Palestina, Yemen, dan Afganistan.[2]
Model transisi demografi dapat digunakan untuk memprediksi penurunan tingkat kelahiran apabila suatu masyarakat menjadi semakin kaya; namun, beberapa data yang baru dikumpulkan tampaknya membantah hal ini, karena tingkat kelahiran dapat kembali meningkat setelah tingkat kemajuan tertentu telah tercapai.[4] Selain itu, dalam jangka panjang, transisi demografi akan dihentikan oleh tekanan evolusi yang menghasilkan tingkat kelahiran dan kematian yang lebih tinggi.[5]
Teori transisi demografi merupakan sebuah teori yang didukung oleh banyak ahli dalam ilmu sosial karena adanya korelasi historis yang kuat antara penurunan tingkat kesuburan dengan kemajuan sosial dan ekonomi.[4] Para ahli masih memperdebatkan apakah industrialisasi dan pendapatan yang lebih tinggi mengakibatkan penurunan jumlah penduduk, atau apakah jumlah penduduk yang lebih rendah mengarah ke industrialisasi dan pendapatan yang lebih tinggi. Para ahli juga memperdebatkan sejauh mana faktor-faktor yang terkait mempengaruhi transisi demografi ini, seperti pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat pendapatan perempuan yang tinggi, tingkat kematian yang rendah, jaminan usia tua, dan bertambahnya permintaan sumber daya manusia.[6]
Rangkuman teori
Transisi ini terdiri dari empat tahap (atau mungkin lima:)
Tahap pertama adalah tahap yang dilalui oleh masyarakat pra-industri, ketika tingkat kelahiran dan kematian kurang lebih seimbang. Semua populasi manusia berada dalam keseimbangan ini hingga akhir abad ke-18, ketika keseimbangan di Eropa Barat mulai terganggu.[7] Pada tahap ini, tingkat pertumbuhan penduduk hanya kurang dari 0,05% paling tidak semenjak Revolusi Pertanian sekitar 10.000 tahun yang lalu.[7] Tingkat pertumbuhan sendiri dibatasi oleh ketersediaan makanan; dalam kata lain, fluktuasi tingkat kelahiran akan diseimbangkan oleh tingkat kematian, kecuali bila suatu masyarakat mengembangkan teknologi baru untuk meningkatkan produksi pangan (seperti penemuan sumber pangan yang baru atau teknologi yang menambah hasil panen).[7]
Tahap kedua adalah tahap yang dilalui oleh negara berkembang: tingkat kematian menurun drastis berkat ketersediaan sumber pangan dan penyediaan sanitasi yang lebih baik, sehingga harapan hidup bertambah dan risiko penyakit berkurang. Tingkat kematian mulai menurun pada akhir abad ke-18 di Eropa barat laut dan kemudian hal yang sama terjadi di Eropa selatan dan timur dalam 100 tahun berikutnya.[7]
Tahap ketiga: tingkat kelahiran menurun berkat faktor-faktor kesuburan seperti ketersediaan kontrasepsi, peningkatan gaji, urbanisasi, berkurangnya praktik pertanian subsisten, pendidikan dan pemberdayaan perempuan, bertambahnya biaya investasi orang tua untuk anak-anak, dan perubahan-perubahan sosial lainnya. Penurunan tingkat kelahiran di negara-negara maju dimulai pada akhir abad ke-19 di Eropa utara.[7] Walaupun kontrasepsi berperan penting dalam mengurangi tingkat kelahiran, perlu dicatat bahwa kontrasepsi belum tersedia secara luas pada abad ke-19 dan kemungkinan bukan merupakan faktor yang penting pada masa itu.[7] Tingkat kelahiran juga dapat turun akibat perubahan nilai dan bukan hanya karena kontrasepsi.[7]
Tahap keempat: tingkat kelahiran dan kematian rendah. Tingkat kelahiran dapat menurun hingga mengakibatkan penurunan jumlah penduduk, seperti yang terjadi di Jerman, Italia, dan Jepang. Hal ini mengancam industri-industri yang bergantung kepada pertumbuhan penduduk. Selain itu, penuaan generasi yang terlahir pada tahap kedua menjadi beban ekonomi bagi populasi pekerja yang semakin menyusut. Tingkat kematian mungkin akan tetap rendah atau sedikit bertambah akibat kemunculan penyakit yang dipicu oleh gaya hidup dan kurangnya olahraga, seperti obesitas.[3]
Beberapa ahli menambahkan "tahap kelima" sebagai tahap ketika tingkat kelahiran berada di bawah tingkat yang diperlukan untuk tetap mempertahankan jumlah penduduk suatu masyarakat. Beberapa ahli lain mendefinisikan tahap kelima sebagai tahap peningkatan kembali tingkat kesuburan.[5]
Model ini merupakan sebuah generalisasi yang tidak berlaku sama di semua negara. Beberapa negara seperti Tiongkok, Brasil, dan Thailand telah melewati transisi demografi dengan sangat cepat berkat perubahan ekonomi dan sosial. Beberapa negara (terutama negara-negara Afrika) tampaknya terhenti di tahap kedua akibat pembangunan yang jalan di tempat dan dampak HIV/AIDS.