Republik Tangerang
Republik Tangerang (Ejaan Van Ophuijsen: Repoeblik Tangerang) adalah pemerintahan revolusioner [en] semi-independen berumur pendek yang dideklarasikan oleh Achmad Chaerun, seorang tokoh komunis Tangerang pada tanggal 18 Oktober 1945. Tidak lama setelah berdirinya, pemerintahan republik ini berhasil dihancurkan oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR).[1] SejarahPada pertengahan Oktober 1945, ribuan massa yang berasal Karawaci dan Sepatan mendatangi kediaman bupati Tangerang saat itu, Agus Padmanegara di Tangerang. Tujuannya adalah untuk menggulingkan bupati Tangerang tersebut. Namun, Agus diketahui telah pergi menyelamatkan diri bersama keluarganya saat massa revolusi mengepung kediamannya. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada tanggal 18 Oktober 1945, Achmad Chaerun mendeklarasikan berdirinya pemerintahan revolusioner Republik Tangerang dan menyatakan dirinya sebagai "Bapak Rakyat Tangerang". Dimana ia juga memerintahkan pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Tangerang, Soetedjo untuk mengerahkan ribuan massa dari Karawaci dan Sepatan untuk mengepung kediaman bupati Tangerang.[2] Ketika bupati Tangerang sebelumnya berhasil digulingkan, Achmad Chaerun kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai bupati Tangerang yang baru. Dampaknya, seluruh pamong praja mulai dari camat hingga lurah diberhentikan sepihak olehnya. Berbagai aksi rakyat dikonsolidasikan untuk membersihkan sisa-sisa pemerintahan lama, bahkan hingga di tingkat daerah. Ia kemudian memutus hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta.[2] Setelah pemerintahan Achmad Chaerun berjalan efektif, berbagai permasalahan sosial mulai bermunculan, mulai dari intimidasi dan penjarahan terhadap masyarakat Tionghoa di Tangerang, juga dengan semakin banyaknya organisasi paramiliter yang berdiri di Tangerang. Salah satunya adalah Laskar Pasukan Berani Mati (LPBM) atau dikenal juga sebagai Laskar Ubel-Ubel Hitam (di kemudian hari dikenal sebagai pelaku penculikan Oto Iskandar di Nata dan pembunuhannya di pantai Tanjung Kait, Mauk) yang didirikan oleh Syekh Abdullah.[2] Pada bulan November hingga Desember 1945, masyarakat Tionghoa yang tinggal di Sepatan, Mauk, Kronjo, Kresek, dan Pakuhaji di pesisir utara Tangerang, bersama dengan pegawai sipil Tangerang, mengungsi ke Kota Tangerang, mengingat wilayah di luar Kota Tangerang sudah tidak aman lagi. Pemerintah pusat di Jakarta yang hanya berjarak 25 km dari Tangerang tidak dapat mengambil tindakan apapun, begitupun dengan Achmad Chaerun sebagai pimpinan wilayah Tangerang juga tidak berdaya mencegah 'aksi-aksi rakyat' tersebut. Laskar Hitam semakin merajalela, dimana mereka menyerang orang-orang yang masih setia kepada pemerintah pusat.[2] Menyusul situasi di Tangerang yang semakin tidak terkendali, langkah cepat kemudian diambil oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui Resimen IV untuk mengambil alih pemerintahan dari Chaerun. Dalam surat keputusan yang dikeluarkan TKR Tangerang disebutkan bahwa terhitung mulai tanggal 14 Januari 1946, pemerintahan Chaerun digulingkan dan Tangerang resmi berada di bawah perlindungan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para tokoh-tokoh Tangerang seperti Achmad Chaerun, Haji Alibasyah, Haji Muhur, Haji Arsyad, Haji Saelan, dan Abbas kemudian diasingkan ke Selabintana di Sukabumi, di bawah pengawasan ketat Didi Kartasasmita, komandan Komandemen I TKR Jawa Barat.[2] PemimpinHanya ada satu pemimpin (setingkat bupati) dalam pemerintahan revolusioner Republik Tangerang, yaitu Achmad Chaerun yang merupakan pendiri dan pemimpin terakhir hingga pengasingannya.[1] Lihat jugaCatatan
ReferensiPranala luar |