De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen (bahasa Indonesia: Organisasi Pertama bagi Kristen Protestan, akronim: Depok)[a] adalah sebuah desa otonom yang diberi status setingkat republik di Hindia Belanda. Penduduk yang mendiami wilayah Depok disebut sebagai "Kaoem Depok" atau "Belanda Depok". Gagasan ini dicetus oleh pengacara asal Batavia, R. H. Kleijn pada 1871 dengan nama "Gemeente Depok". Konsep tersebut benar-benar dilaksanakan pada tanggal 14 Januari 1913.
Formasi pemerintahan dikelola oleh Dewan Kota Depok (bahasa Belanda: Gemeente Bestuur Depok) yang pemimpinnya tidak disebut sebagai Wali Kota, melainkan Presiden. Kepemimpinannya dilakukan pemilihan internal dengan pemenang undi terbanyak yang dipilih oleh delapan anggota komisioner.
Sejarah
Dahulu, Depok merupakan tanah partikelir yang dimiliki oleh seorang saudagar asal Belanda, Cornelis Chastelein pada 18 Mei 1696 dengan luas 12,44 km².[1] Lahan tersebut ditaksir Rp2,4 juta.[2] Meski dimiliki oleh tuan tanah dari Belanda, namun Depok tidak dikuasai ataupun dikelola oleh pihak Hindia Belanda. Chastelein menguasai tanah Depok setelah dirinya mundur dari Perusahaan Hindia Timur Belanda. Kemudian, ia mendapatkan hak tanah di Sringsing dan Weltevreden. Sebelumnya, Depok dimiliki oleh Khouw Wie Seng pada 1877. Tak hanya Depok, keluarga besar Khouw tersebut juga menguasai sebagian besar wilayah Cilodong, Bojonggede, dan Sawangan. Menurut media massa "Het Vaderland", Depok dijual kepada Pemerintah Hindia Belanda pada 16 November 1930 seharga 600 ribu Gulden.[3]
Chastelein berinisiatif untuk menjadikan Depok sebagai kawasan pertanian. Ia mendatangkan sekitar 150 budak dari Bali, Makassar, hingga Ambon untuk mengelola hasil pertanian, sepertu kopi, teh, padi, dan sebagainya. Para budaknya tersebut diberikan fasilitas pendidikan dengan diperkenalkan sistem ekonomi hingga ajaran Protestanisme. Salah satu bukti pengaruh Chastelein adalah dibangunnya Gereja Immanuel yang letaknya bersebalahan dengan Gedung Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein. Selain itu, ia membangun hutan kota yang terletak di Pitara yang menjadi cikal bakal permukiman utama di Gemeente Depok sebagai cagar alam.
Sebelum berpulang, Chastelein berwasiat kepada para budak yang berada di bawah kekuasaannya untuk diberi kemerdekaan.[4] Mereka juga diwarisi lahan, perumahan, peternakan, dan alat-alat pertanian.
Umumnya, penduduk Gemeente Depok merupakan penganut Kristen Protestan yang berasal dari Belanda. Depok juga dikenal sebagai komunitas bagi jemaat gereja dan mendiami wilayah ini. Meski demikian, sebagian penduduk pribumi Depok memeluk agama Islam dan Paganisme. Para jemaat gereja ini diberi marga, diantaranya Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob, dan Zadokh. Ketika Cornelis Chastelein berpulang, ia berwasiat agar para budaknya dibebaskan dan muncullah istilah "Kaoem Depok" atau "Belanda Depok".
Depok mulanya dihuni oleh penduduk pribumi Sunda yang mendiami wilayah Depok selama bertahun-tahun. Setelah adanya pencampuran etnis di Batavia dan rencana perluasan pemukiman, suku Betawi mulai mendominasi wilayah Depok.[5]
Pemerintahan
Daftar presiden
Kekhawatiran muncul setelah Jarong van Bali meninggal. Oleh karenanya, para budak yang telah dimerdekakan itu menerapkan sistem demokrasi untuk memilih pemimpin yang mereka sebut sebagai presiden. Saat itu, pemerintahan sipil di Depok dikenal sebagai Gemeente Bestuur. Dalam bahasa Belanda, Depok saat itu disebut Gemeente Depok. Pejabat presiden pertama, G. Jonathan memulai karier sebagai pegawai penjual tiket di Stasion Depok. Atas ketekunannya, ia diangkat menjadi pegawai administrasi stasion (stationsklerk). Kemudian dipromosikan menjadi petugas Stasion Tjilieboet. Terakhir dirinya menjabat sebagai Kepala Stasion Depok dan pensiun pada tahun 1905. Berikut merupakan daftar Presiden Republik Depok.
Gerrit Jonathans (14 Januari 1913–1921)
Martinus Laurens (1921–1930)
Leonardus Leander (1930–1949)
Johannes Matijs Jonathans (1949–4 Agustus 1952)
Jabatan presiden dalam hal ini bukan sebagai kepala negara, melainkan kepala pemerintahan sipil. Presiden yang dimaksud adalah pendiri Depok Lama, yang merupakan cikal bakal berdirinya Kota Depok.[6] Menurut akta penyerahan tanah partikulir tahun 1952, Johannes Matijs Jonathans tercatat sebagai presiden terakhir. Tidak ada jabatan wakil presiden, melainkan sekretaris.[1]
Administrasi kota terdiri dari lima anggota, yaitu presiden, sekretaris, bendahara, dan dua komisaris. Kepengurusan ini dilakukan setiap dua atau tiga tahun sekali dengan cara pemilihan dengan suara terbanyak. Untuk pengawasan dilakukan oleh delapan anggota komisioner yang dipilih dengan cara yang sama. Untuk pelaksana tugas diangkat seorang camat yang berfungsi untuk melakukan perawatan terhadap jalan, jembatan, bangunan dan lainnya.
Johannes Matijs Jonathans adalah presiden Republik Depok yang terakhir karena pada 4 Agustus 1952, Pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh tanah partikelir Depok. Kecuali gereja, sekolah, balai pertemuan, dan lahan pemakaman, semuanya diambil alih dikuasai pemerintah dengan kompensasi ganti rugi sebesar Rp 229.261,26.[6]
^Menurut etimologi, istilah "Depok" merujuk pada "Padepokan" dalam bahasa Sunda yang berarti tempat bersinggah. Istilah "Depok" sebagai akronim muncul setelah datangnya bangsa Belanda di Nusantara.