Bahasa nonbaku di Indonesia terdiri dari sejumlah bahasa baik yang dikenal secara nasional maupun hanya digunakan di daerah tertentu. Bahasa nonbaku, kadang juga disebut bahasa subbaku, merupakan bahasa yang tidak memiliki standar dari segi pelafalan, kosakata hingga tata bahasa, tidak patuh atau berbeda dari ragam baku, dalam hal ini bahasa Indonesia baku atau bahasa daerah baku.[1]
Banyak bahasa nonbaku ini mulanya digunakan oleh kalangan tertentu untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Agar kalimat mereka tidak diketahui oleh kebanyakan orang, mereka memproduksi kata-kata baru dengan cara antara lain mengganti kata dengan lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Masing-masing komunitas (daerah) memiliki rumusan sendiri-sendiri.[2][3][4]
Perlu diketahui istilah "bahasa" dalam bahasa Indonesia memiliki pengertian yang luwes, ia bisa berarti bahasa, dialek, subdialek, laras bahasa dll. Kata bahasa dalam artikel ini digunakan dalam pengertian umumnya yang sesuai dengan penyebutannya di masyarakat, tidak berusaha mengoreksi istilah berdasarkan penggolongan dalam ilmu linguistik.
Sejarah
Dalam perkembangannya, bahasa nonbaku mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa pergaulan anak-anak remaja. Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja ini merupakan dialek bahasa Indonesia informal yang terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu (kalangan homoseksual atau waria). Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosakata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999.
Penggunaan
Penggunaan bahasa-bahasa nonbaku di Indonesia umumnya tidak mendapat dukungan dari otoritas bahasa. Meskipun demikian, bahasa nonbaku tetap hidup dan digunakan secara luas di Indonesia. Tak jarang, orang Indonesia juga mampu menggunakan berbagai ragam bahasa nonbaku untuk berbagai keperluan dan situasi sosial. Hal ini merupakan bagian dari keanekaragaman Indonesia.[3][5] Bahasa nonbaku di Indonesia digunakan untuk urusan-urusan informal atau tidak resmi, sedangkan untuk urusan formal dan resmi, bahasa Indonesia baku masih digunakan secara meluas.[6]
Bahasa-bahasa nonbaku nasional
Dalam hal ini bahasa nonstandar digunakan oleh sebagian kalangan yang tersebar secara nasional. Umumnya berbasiskan bahasa Indonesia, dengan sedikit pengaruh dari bahasa daerah. Karena berbasiskan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa nonstandar nasional biasanya digolongkan sebagai bagian atau cabang dari bahasa Indonesia.
Bahasa prokem adalah bahasa nonbaku yang populer digunakan oleh kalangan remaja Jakarta pada 1970-an hingga 1980-an. Seiring berjalannya waktu, bahasa prokem yang berasal dari Jakarta ini mulai menyebar dan digunakan di banyak daerah lain di seluruh Indonesia. Pada tahun 1990-an, bahasa informal ini mulai melebur dan tergantikan dengan ragam baru yang saat ini lebih dikenal sebagai bahasa gaul.[7][8]
Bahasa Binan adalah bahasa nonbaku yang dipertuturkan oleh kalangan LGBT di Indonesia. Bahasa Binan kadang bisa disebut juga bahasa Banci, bahasa Bencong, bahasa Gay dsb. Bahasa ini memiliki beberapa pola pembentukan kata yang teratur dan terdokumentasikan dalam tulisan dan ujaran.
Bahasa gaul adalah perkembangan selanjutnya dari bahasa prokem. Bahasa gaul mulai populer dipakai pada 1990-an oleh kalangan kelas menengah di Jakarta, tetapi lambat laun tersebar ke seluruh Indonesia melalui media massa, khususnya televisi dan internet. Selain meneruskan pengaruh sejumlah kosakata bahasa prokem, ragam bahasa Indonesia gaul ini menerima pengaruh dari bahasa Binan yang dituturkan oleh kalangan waria.
Bahasa Alay adalah bahasa pergaulan yang digunakan oleh kelompok alay di Indonesia, khususnya dalam bahasa pesan singkat dan internet. Bahasa ini diturunkan dari bahasa Gaul yang ditulis menggunakan kombinasi singkatan, huruf, kode, angka dan visualisasi sehingga menjadi ragam bahasa media sosial yang khas.[9][10] Bahasa Alay utamanya digunakan secara tertulis, walau sebagian kata dalam bahasa Alay tetap memiliki keunikan ketika diucapkan, seperti ciyus, miapa.
Lain-lain
Bahasa G
Bahasa G, Bahasa F, Bahasa S, Bahasa W, dll. (tergantung bunyi yang digunakan untuk sisipan) adalah sebuah bahasa permainan di kalangan pelajar/remaja/anak-anak yang kadang digunakan sebagai bahasa rahasia. Cara menggunakan bahasa ini adalah dengan memberikan sisipan di setiap suku kata. Sisipan dapat berupa bunyi G, bunyi S atau bunyi F dan lain-lain. Bunyi vokal pada sisipan mengikut bunyi vokal suku kata sebelumnya.[11] Kecuali Bahasa W yang mengubah huruf abjad A,U,E,O menjadi W dan I menjadi Y.
Aku tidak suka sama dia.
Agakugu tigidagak sugukaga sagamaga digiaga. (Bahasa G)
Afakufu tifidafak sufukafa safamafa difiafa. (Bahasa F)
Asakusu tisidasak susukasa sasamasa disiasa. (Bahasa S)
Wkw tydwk swkw swmw dyw. (Bahasa W)
Bahasa S
Bahasa S memproduksi kata baru dengan memotong sebagian suku kata dan menambahkan huruf es di belakangnya.[12]
Bagaimana → Gimana → Gimans
Kemana → Kemans
Dimana → Dimans
Demi apa → Dems aps
Santai → Sans
Bahasa-bahasa nonbaku kedaerahan
Terdapat cukup banyak variasi dan perbedaan bahasa nonstandar antardaerah, bergantung pada kota tempat seseorang tinggal, utamanya dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-etnis yang menjadi penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh, di Bandung, Jawa Barat, perbendaharaan kata dalam bahasa nonstandarnya banyak mengandung kosakata-kosakata yang berasal dari bahasa Sunda.
Jakarta dan sekitarnya
Bahasa Bekasi
Bahasa Bekasi adalah percampuran antara bahasa Betawi dan bahasa Sunda.[13] Beberapa kata yang terkenal dari bahasa Bekasi adalah baé, awang, dan kaga danta.[14]
Bahasa Jaksel
Bahasa ini merupakan bahasa campur kode antara bahasa gaul dan bahasa Inggris. Namanya, Jaksel, diambil dari wilayah Jakarta Selatan yang terkenal dengan penggunaan bahasa pergaulan yang demikian. Beberapa kosakata bahasa Inggris yang ikonik dan banyak digunakan dalam bahasa ini meliputi which is, like, dan literally. Campur kode dengan bahasa Inggris tidak hanya fenomena di Jakarta saja, melainkan dapat dilihat pada kota-kota besar lain di Indonesia.[15]
Sentimen negatif terhadap bahasa Jaksel dan perilaku keminggris, membuat bahasa ini mendapatkan sebutan 'bahasa kentut' dari sebagian kalangan.[16][17]
Bahasa Jemberan, kadang disebut bahasa Pendalungan, adalah percampuran bahasa Madura dan bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Jember dan daerah Tapal Kuda lainnya.[18][19]
Bahasa Walikan Malang atau bahasa Kiwalan dikenal memproduksi kata baru dengan cara membalik kosakata bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kata seakan dibaca dari belakang.[20] Contoh:
Berbeda dengan bahasa Walikan Malang, bahasa Walikan Yogyakarta adalah bahasa Jawa nonbaku yang dikenal memproduksi kata baru dengan membalik huruf berdasarkan tabel aksara Jawa. Salah satu contoh kata paling terkenal dari bahasa ini adalah kata matamu yang dibalik menjadi dagadu.[21]
ha na ca ra ka ↔ pa dha ja ya nya
da ta sa wa la ↔ ma ga ba tha nga
Dengan rumus pembalikan di atas, dihasilkan beberapa contoh lainnya seperti:
Mas → dab
Ngombe → lodse
Wedok → themony → themon
Lanang → ngadhal
Papua
Bahasa nonstandar di Papua merupakan penggabungan antara bahasa Melayu Papua dan bahasa Indonesia baku. Oleh karena itu, unsur-unsur bahasa Melayu Papua dan bahasa Indonesia baku menjadi tercampur.[3] Tak jarang, bahasa Indonesia gaul juga turut mempengaruhi.
Di wilayah Jawa Barat dan Banten yang menjadi tempat utama penutur bahasa Sunda, terdapat beberapa wilayah yang mempunyai bentuk nonbaku tersendiri yang berbeda-beda. Keanekaragaman bahasa gaul ini memiliki kekhasan tersendiri di setiap daerah.