Perubahan iklim dan genderPerubahan iklim dan gender merupakan cara untuk menganalisis dampak perubahan iklim berdasarkan gender. Perubahan iklim beserta kebijakan dan strategi adaptasinya memengaruhi masyarakat secara berbeda-beda bergantung pada aspek ekonomi, budaya, dan konteks sosial.[1] Perempuan secara umum lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim dan menanggung beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Kerentanan tersebut antara lain disebabkan oleh proporsi perempuan yang lebih tinggi sebagai penduduk miskin dunia. Selain itu, mereka juga sangat tergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian dan memenuhi peran sosial gender mereka.[2] Dari 1.3 miliar penduduk miskin di negara berkembang, sebanyak 70 persennya adalah perempuan.[3] Kemampuan mereka dalam mengelola dampak krisis iklim juga dibatasi oleh berbagai hambatan sosial, ekonomi, dan politik.[2] Para perempuan yang paling terdampak hidup di negara-negara berkembang yang memiliki kemampuan rendah dalam merespon krisis iklim. Negara berkembang umumnya memiliki keterbatasan sumber daya, infrastruktur, dan kapasitas untuk menangani krisis ini.[4] Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah bencana alam, antara lain banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai, sedangkan efek jangka panjangnya adalah kerusakan lingkungan secara bertahap[2], seperti peningkatan suhu dan presipitasi, kenaikan permukaan air laut, kelangkaan air bersih, dan kerusakan lingkungan lainnya.[5] Keduanya memengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Namun, bagi perempuan, kondisi ini diperparah dengan relasi kuasa, politik, dan sosial yang tidak seimbang yang seringkali memposisikan mereka sebagai objek kebijakan dan implementasinya.[1] Perempuan tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya alam dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.[2] Akibatnya, menurut para pakar, minimnya akses, kontrol, dan partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim berpotensi memperparah kesenjangan gender yang telah ada.[6] Penelitian oleh LSE pada 141 negara yang dilanda bencana alam pada 1981-2002 telah menemukan hubungan kuat antara bencana dan status sosial ekonomi perempuan. Bencana alam menyumbang terhadap penurunan angka harapan hidup perempuan dan memperlebar kesenjangan gender.[7] Melebarnya ketidaksetaraan gender ini akan meningkatkan kerentanan masyarakat dan negara.[8] Fokus kebijakan krisis iklim ada pada upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berfokus pada upaya mengurangi dampak, misalnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, sedangkan adaptasi adalah strategi mempersiapkan dampak-dampak yang akan terjadi.[9] Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim. Seluruh aspek yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan harus berperspektif gender.[10] Organisasi internasional, seperti PBB, dan pemerintah berbagai negara telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. Persetujuan Paris, misalnya, menekankan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, misalnya, telah merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.[11] Krisis iklim mungkin tidak hanya berdampak pada perempuan dan laki-laki, tapi juga kelompok non biner. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa memperburuk kondisi masyarakat gender non-biner di tengah menghangatnya isu perubahan iklim. Sampai saat ini, studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner masih terbatas.[12] Isu gender dalam masalah iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, antara lain usia, kelas sosial, status perkawinan, dan kelompok etnik.[13] Perubahan iklim sebagai isu hak asasi manusiaPerubahan iklim mengancam kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tak langsung. Selain itu, hak asasi manusia mereka juga berpotensi tidak terpenuhi. Kerusakan lingkungan dan dampak kesehatan krisis iklim mengancam hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak untuk hidup, akses ke makanan dan air bersih, kesehatan, keamanan, tempat tinggal, dan budaya.[14] Hilangnya kegiatan-kegiatan kultural, seperti mata pencaharian tradisional, dapat menyebabkan tekanan psikologis, kecemasan, dan ketidakpastian. Masyarakat miskin dan terpinggirkan lebih rentan karena mereka tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk merespon krisis, misalnya dengan beradaptasi dan bermigrasi.[15] Menurut ilmuwan, kelompok yang paling berisiko terhadap kritis iklim meliputi masyarakat miskin, kelompok minoritas, perempuan, anak-anak, orang tua, orang dengan penyakit kronis dan cacat, warga yang tinggal di daerah dengan jumlah kasus penyakit terkait iklim yang tinggi, dan pekerja yang terpapar panas ekstrem atau peningkatan variabilitas cuaca. Pada level makro, negara-negara berpendapatan rendah yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih kecil terdampak lebih parah daripada negara-negara maju yang merupakan penyumbang emisi terbesar.[14] Selain faktor kemiskinan, menurut peneliti, perempuan menjadi kelompok paling terdampak akibat kesenjangan historis. Sejak lama, perempuan memiliki akses yang terbatas terhadap sumber daya sosial dan ekonomi. Dalam konteks masyarakat agraris, sumber daya ini antara lain berupa akses ke lahan, pembiayaan, teknologi terbaru, daya tawar, modal sosial, dan pelatihan adaptasi iklim dan kesiapsiagaan bencana. Ketidaksetaraan tersebut mengancam ketahanan perempuan terhadap krisis iklim dan berpotensi menghambat mereka untuk terlibat dalam proses pembangunan. Hal ini juga semakin memperparah kesenjangan gender yang telah ada sebelumnya. Kurangnya sumber daya dan pendapatan yang rendah menurunkan daya tawar perempuan, baik di dalam keluarga maupun masyarakat di tingkat nasional, regional, dan internasional. Kurangnya representasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim semakin memperburuk kerentanan tersebut.[16] Dampak gender perubahan iklimPerubahan iklim membawa dampak ke berbagai sektor penting, seperti pertanian dan ketahanan pangan, keanekaragaman hayati dan ekosistem, sumber daya air, kesehatan manusia, permukiman dan pola migrasi, energi, transportasi, industri, dan margasatwa.[2] KesehatanPerubahan iklim memengaruhi kondisi kesehatan semua gender dan dapat memperlebar kesenjangan kesehatan berbasis gender yang telah lama ada. Perubahan iklim meningkatkan risiko kejadian yang dapat mendorong munculnya gangguan kesehatan berupa peningkatan paparan panas, kualitas udara buruk, peristiwa cuaca ekstrem, perubahan transmisi penyakit tular vektor, penurunan kualitas air, dan penurunan ketahanan pangan. Semua masalah tersebut memengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda bergantung pada wilayah geografis dan faktor sosial ekonomi.[17] Asia, terutama Asia tenggara dan Asia Selatan, diperkirakan menjadi kawasan yang paling terdampak pemanasan global dan krisis iklim di antara bagian bumi yang lain.[18] Peningkatan suhu secara ekstem diprediksi mengancam kesehatan para pekerja di luar ruangan di Asia Tenggara pada 2050. Salah satu risiko kesehatan yang muncul adalah pitam panas.[19] Berdasarkan penelitian yang diterbitkan di The Lancet pada 2019, perempuan termasuk paling rentan terhadap kondisi cuaca ekstrem.[20] Mereka rentan terhadap paparan panas tinggi. Panas yang ekstrem dapat memengaruhi kondisi ibu hamil dan janinnya, risiko yang dihadapi antara lain kelahiran prematur, cacat bawaan, tekanan darah tinggi (hipertensi gestasional), dan pre-eklampsia. Peningkatan suhu udara juga berpotensi meningkatkan penularan malaria. Wanita hamil, menurut studi, lebih rentan tertular malaria daripada wanita yang tidak hamil.[21]. Perempuan sebagai gender dengan kebutuhan spesifik, misalnya kebutuhan nutrisi yang cukup saat hamil, bisa terganggu kesehatannya akibat kurangnya ketersediaan pangan. Bencana alam juga memicu kecemasan dan depresi pada perempuan. Selain itu, perempuan yang melahirkan saat bencana juga berisiko mengalami komplikasi kehamilan, seperti pre-eklampsia, perdarahan, dan kelahiran bayi bobot kurang.[22] Badai yang merupakan salah satu efek perubahan iklim juga memengaruhi kehidupan perempuan. Hurikan Katrina yang terjadi di New Orleans, Amerika Serikat, pada 2005 membuat banyak perempuan miskin harus hidup sebagai ibu tunggal. Selain itu, kesehatan mereka juga terganggu akibat fasilitas sanitasi yang kurang memadai di lokasi pengungsian. Tempat penampungan yang bercampur antara laki-laki dan perempuan menjadikan pengungsi perempuan rentan terhadap kekerasan seksual dan fisik.[23] Berdasarkan laporan Oxfam di tiga negara terdampak tsunami pada 2004, yaitu Indonesia, India, dan Sri Lanka, jumlah perempuan yang berhasil menyelamatkan diri lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan umumnya tidak bisa berenang dan kemungkinan mereka tidak hanya fokus menyelamatkan diri sendiri, tapi juga anak-anak dan anggota keluarga yang lain.[23] Hasil penelitian terhadap korban banjir Serbia pada 2014 menyatakan bahwa perempuan umumnya kurang memiliki keterampilan dan teknik tanggap darurat yang efektif. Perempuan dan anak-anak berisiko lebih besar menjadi korban saat terjadi bencana alam.[24] Pria juga rentan terhadap bencana iklim. Dampak lingkungan dari perubahan iklim berupa tingkat hujan ekstrem, banjir, dan kekeringan yang mengakibatkan gagal panen memicu kenaikan angka bunuh diri petani di India.[25] Jumlah petani pria India yang bunuh diri lebih tinggi daripada petani wanita.[26] Laki-laki di negara maju dilaporkan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa yang bisa mengarah pada aksi bunuh diri dan isolasi sosial.[20] Menurut WHO, tingkat kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat dalam merespon dampak kesehatan krisis iklim ditentukan oleh norma, peran, dan relasi gender. Bencana alam terkait iklim, seperti kekeringan, banjir, dan badai lebih banyak membunuh perempuan daripada laki-laki dan di usia perempuan yang lebih muda. Karakteristik bencana, peran, dan status sosial ikut memainkan peran di dalamnya. Perempuan umumnya diharapkan berperan utama dalam pengasuhan keluarga, sehingga saat bencana, beban mereka berlipat ganda. Pengaruh kesenjangan gender terhadap harapan hidup semakin terlihat dalam bencana alam berskala besar dan di lokasi dengan penduduk perempuan berstatus sosial ekonomi rendah.[5] Pertanian dan ketahanan panganKrisis iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap pertanian dan ketahanan pangan. Perempuan perdesaan, dalam hal ini, merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Berdasarkan hasil studi UNDAW dan UNESCO, petani wanita di Asia Selatan lebih cenderung menanam tanaman pangan, sedangkan petani pria lebih memilih tanaman komersial.[27] Perubahan iklim berdampak pada risiko menurunnya produksi pangan di kawasan tersebut pada 2050, seperti beras (menurun 14%), gandum (49%), dan jagung (9%).[27] Wanita juga bekerja di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen. Wanita dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan ternak dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga. Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh.[28] Dalam masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen. Relasi kuasa yang tidak seimbang ini menghambat perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen.[29] Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang terdiri atas lahan, ternak, pasokan benih, peralatan pertanian, pupuk, tenaga buruh tani, dan dukungan penyuluhan.[29] Laki-laki juga lebih mudah mengakses pinjaman usaha dan layanan pasar.[30] Tanpa dukungan finansial yang memadai, perempuan rentan kehilangan aset saat terjadi kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya.[27] Wanita perdesaan cenderung berpenghasilan lebih rendah dan bergantung secara ekonomi daripada pria. Dengan akses terbatas terhadap sumber daya, mereka tidak dapat berkontribusi pada pendapatan nasional resmi. Akibatnya, mereka dipandang bukan penyumbang penting dalam perekonomian dan tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan. Krisis iklim semakin meminggirkan para perempuan. Meski terbantu pelatihan dan kampanye peningkatan kesadaran adaptasi dan mitigasi, perempuan tak memiliki akses ke layanan pendukung untuk memulihkan diri dari efek negatif krisis iklim.[31] Kurangnya akses ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, termasuk stereotip sosial, relasi gender yang tidak setara di dalam rumah tangga, dan kekerasan berbasis gender. Menurut FAO, kebijakan dan adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian dan pangan yang responsif gender diperlukan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya.[29] Ketersediaan air bersihPerubahan iklim memicu krisis air bersih. Sekitar 71% populasi dunia atau 4.3 milyar orang telah mengalami kelangkaan air dari kategori sedang hingga berat setidaknya selama beberapa kali setiap tahun.[32] Sumber air bersih dapat terganggu akibat bencana iklim, seperti banjir dan peningkatan salinitas air.[33] Perempuan memiliki peran sentral dalam pengumpulan dan pengawasan air bersih. Mereka bertanggung jawab atas lebih dari 70% pengelolaan air dan kegiatan domestik terkait air, seperti mengangkut air, memasak, dan mencuci. Peneliti mengatakan bahwa semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan air, maka semakin kecil kemungkinan laki-laki mengambil peran sebagai pengangkut. Akibatnya, perempuan lebih rentan terhadap tekanan fisik, ekonomi, dan psikososial saat menjalani tugas tersebut.[32] Terlepas dari perannya yang penting, perempuan belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan. Menurut para pegiat air bersih, perempuan dan laki-laki perlu bekerja sama dalam mencari solusi terkait masalah ketersediaan air. Masalah kenaikan salinitas air dilaporkan terjadi di banyak negara berkembang. Salinisasi air juga memengaruhi tanaman yang bisa berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Pada 2011, diperkirakan ada sekitar 884 juta orang di seluruh dunia yang tidak memiliki akses terhadap air bersih. Menurut ilmuwan, desalinisasi air dengan tujuan mengurangi kadar garam dan mineral lainnya tidak bisa menjadi solusi jangka panjang bagi negara berkembang. Kenaikan kadar garam pada air dapat menimbulkan efek kesehatan seperti tekanan darah tinggi dan masalah kesehatan masyarakat lainnya.[32] Keanekaragaman hayatiPara ilmuwan berpendapat bahwa krisis iklim menjadi faktor dominan yang memengaruhi hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam jangka panjang, kerugian yang muncul adalah menipisnya pasokan air bersih, energi, dan pasokan pangan. Dampak negatif yang lain adalah berkurangnya lingkungan yang sehat dan terganggunya konservasi sistem ekologi, keanekaragaman hayati, serta barang dan jasa ekosistem terkait.[10] Dampak krisis iklim dan kerusakan alam terhadap keanekaragaman hayati dapat dirasakan oleh hampir semua orang terlepas dari gender, ras, usia, maupun tingkat pendapatan. Namun, dua faktor utama penentu keparahan dampak adalah gender dan status sosial ekonomi.[34] Keanekaragaman hayati dan sumber daya alam berperan besar dalam mencukupi kebutuhan dan menjadi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya. Di wilayah Sub-Sahara Afrika, sekitar 30-50% sumber pendapatan masyarakat berasal dari sektor non pertanian. Di Afrika Selatan, mencapai 80-90%. Di Asia Selatan, sekitar 60% pendapatan rumah tangga pedesaan berasal dari sumber non pertanian. Namun, akibat keanekaragaman hayati yang mulai hilang, lebih dari 60% orang termiskin di dunia tinggal di daerah yang rentan secara ekologis. Kerusakan ini ini tidak hanya mengancam spesies dan habitat di suatu wilayah, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kemiskinan masyarakatnya. Masyarakat miskin dan penduduk asli memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hasil alam sebagai sumber makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar. Perempuan lebih rentan terhadap dampak kerusakan lingkungan karena mereka adalah mayoritas penduduk miskin.[34] Di Indonesia, sejumlah perempuan di Jawa Tengah berjuang menyelamatkan lingkungan dan keanekaragaman hayati di daerah mereka, termasuk di Kendeng, Rembang. Bencana ekologis akibat ulah manusia dan hilangnya keanekaragaman hayati telah mengubah struktur sosial masyarakat di Jawa Tengah. Dampak seriusnya adalah ancaman kesehatan dan terlanggarnya hak seksual dan reproduksi perempuan, seperti peningkatan angka kematian ibu dan pernikahan anak. Bersama Jawa Barat, Jawa Tengah telah melampaui Jawa Timur untuk angka kedua kasus tersebut.[35] TransportasiTransportasi menyumbang emisi karbon dioksida sebesar 24,5% di seluruh dunia [36] dan merupakan salah satu dari tiga besar penyumbang gas rumah kaca. Berdasarkan penelitian, laki-laki dan perempuan memiliki pola perjalanan yang berbeda sehingga berpotensi menghasilkan emisi karbon dioksida yang juga berbeda.[37] Studi perilaku perjalanan menunjukkan bahwa perempuan memiliki karakteristik khas terkait pilihan moda transportasi, waktu tempuh, tujuan perjalanan, rute, rantai perjalanan, dan jarak perjalanan. Perbedaan tersebut sebagian besar disebabkan oleh kegiatan perempuan yang lebih kompleks daripada laki-laki. Pembagian kerja berbasis gender membuat perempuan memiliki kewajiban yang lebih bervariasi, termasuk di dalamnya pekerjaan, aktivitas rumah tangga, dan tugas pengasuhan. Akibatnya, perempuan lebih cenderung melakukan perjalanan dengan jarak yang lebih pendek, lebih kompleks, perjalanan ulang alik dengan beberapa tujuan berbeda, perjalanan tidak terkait dengan pekerjaan, bepergian di luar jam sibuk dan menggunakan lebih banyak variasi rute. Mereka juga cenderung lebih memilih moda transportasi yang fleksibel tergantung pada sejumlah karakteristik sosial, seperti usia, pendapatan, dan jumlah tanggungan dalam keluarga.[38] Sedangkan laki-laki, menurut WHO, mengkonsumsi lebih banyak energi karena tingginya angka penggunaan kendaraan pribadi oleh mereka.[5] Sejumlah studi kasus di beberapa negara mengangkat pola transportasi masyarakat berbasis gender dan hasilnya cukup variatif. Studi terhadap data perilaku lingkungan di 10 negara anggota OECD menemukan bahwa tidak ada hubungan kuat antara jenis kelamin dan perilaku hemat energi. Namun, pria, baik yang sudah menikah maupun lajang, mengemudi lebih sering daripada perempuan. Di Swedia, laki-laki mengeluarkan anggaran lebih banyak untuk kendaraan dan belanja bahan bakar dibandingkan perempuan. Studi di Uni Eropa dan Amerika Serikat juga menemukan bahwa laki-laki secara keseluruhan menghasilkan jejak karbon yang lebih tinggi dari aktivitas mereka berkendara.[39] Dari hasil riset di beberapa negara, perempuan pada umumnya memiliki tingkat kepedulian yang lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim, termasuk dalam bidang transportasi.[39] Studi kasus di Swedia[40] dan Selandia Baru[41] menemukan bahwa wanita melakukan perjalanan dengan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan pria dan mereka lebih mempertimbangkan isu keberlanjutan dalam pola transportasi mereka. Namun, kepedulian ini belum tentu berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang perubahan iklim, baik laki-laki dan perempuan. Penelitian di Semarang juga menunjukkan bahwa preferensi perjalanan perempuan menyiratkan konsumsi energi yang lebih efisien dan lebih sedikit menghasilkan gas rumah kaca. Perempuan di Semarang juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kendaraan umum. Namun, hal ini lebih disebabkan oleh akses perempuan yang terbatas terhadap kepemilikan dan penggunaan kendaraan. Laki-laki dan perempuan di Semarang sama-sama mau menggunakan transportasi publik dengan syarat ada jaminan keamanan dan kenyamanan.[37] Berdasarkan hasil penelitian di lima negara, yaitu Brazil, Tiongkok, Britania Raya, Italia, dan Spanyol, perempuan lebih berminat mengubah pilihan transportasi jika tersedia informasi mengenai jejak karbon yang mereka hasilkan.[42] EnergiKemiskinan energi menjadi salah satu isu penting dalam perubahan iklim dan gender, terutama di negara berkembang. Perempuan di negara berkembang memiliki akses ke energi yang terbatas. Di perdesaan Asia dan Afrika, perempuan bertanggung jawab mengumpulkan energi guna memenuhi kebutuhan energi rumah tangga, seperti memasak dan sumber panas. Para perempuan tersebut cenderung mengandalkan pertanian berskala kecil dan sumber daya yang ada di sekitar mereka untuk mencukupi kebutuhan energi rumah tangga harian. Mereka memanfaatkan energi biomassa yang berasal dari kayu, arang, sampah, dan sisa produksi pertanian.[2] Di Asia dan kawasan Pasifik, jumlah mereka diperkirakan mencapai 2.7 milyar orang atau sekitar 40% penduduk dunia. Akibat perubahan iklim, keanekaragaman hayati terancam dan perempuan pun kesulitan untuk mendapatkan sumber-sumber energi tersebut. Kemiskinan energi membuat mereka harus bekerja lebih keras dan semakin terpapar risiko kesehatan. Mereka juga semakin tidak punya waktu mengerjakan hal-hal lain, seperti bekerja yang menghasilkan pemasukan, bersekolah, dan beristirahat.[43] Polusi di dalam ruangan yang dihasilkan oleh pembakaran energi biomassa berisiko menyerang kesehatan perempuan dan balita. Sampai 2030, diperkirakan ada 1.5 juta kematian per tahun yang diakibatkan oleh polusi tersebut. Beban pekerjaan yang tinggi dan kurangnya nutrisi membuat perempuan terserang anemia dan mengalami kematian perinatal. Pekerjaan mengumpulkan bahan bakar meningkatkan risiko kematian prenatal dan komplikasi pasca melahirkan.[43] Para ilmuwan meyakini bahwa masalah akses ke energi adalah masalah interseksional. Menurut ilmuwan, transisi dari energi bahan bakar fosil ke energi yang lebih rendah karbon tidak akan serta merta menyelesaikan masalah akses energi. Menurut beberapa studi, perempuan berpotensi menjadi sekadar objek kebijakan jika tidak ada intervensi berbasis gender.[44] Meski tidak ada jaminan energi terbarukan dapat mengatasi kesenjangan peran gender, energi terbarukan setidaknya berpotensi mengurangi beban pekerjaan perempuan dan risiko kesehatan yang mereka hadapi.[43] Permukiman dan pola migrasiDampak perubahan iklim terhadap suatu wilayah dapat termanifestasi secara berbeda bergantung pada letak geografisnya. Beberapa negara di Asia Selatan dan gurun Sahara, misalnya, menghadapi bencana kekeringan yang merupakan salah salah satu efek dari pemanasan global. Negara kepulauan, seperti Indonesia dan kepulauan Pasifik, dapat terimbas banjir dan terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Peningkatan permukaan air laut mengancam kelangsungan hidup warga di area pesisir dan memaksa mereka untuk berpindah tempat. Menurut sejumlah studi, beberapa wilayah pesisir di Indonesia yang terancam tenggelam pada 2050 antara lain Jakarta, Banda Aceh, dan kota-kota di pesisir utara Jawa, seperti Surabaya, Semarang, Tegal, serta Pekalongan, sedangkan kota-kota lain di dunia yang diperkirakan juga akan tenggelam meliputi Lagos, Houston, Dhaka, Venesia, Virginia Beach, Bangkok, New Orleans, Rotterdam, Alexandria, dan Miami.[45] Migrasi menjadi salah satu strategi adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat yang terdampak langsung.[46] Beberapa jenis migrasi meliputi mobilitas internal, pengungsian dari bencana, mobilitas mikro dalam wilayah tertentu, dan relokasi ke tempat yang jauh dari daerah rawan bencana. Perpindahan bisa ke wilayah dengan jarak tempuh pendek hingga sampai ke luar negeri, bisa dalam jangka pendek, musiman, ataupun permanen. Berdasarkan studi pada 2019 oleh SLYCAN Trust, sebuah organisasi nirlaba di Sri Lanka, sebanyak 80% rumah tangga di distrik Trincomalee, Sri Lanka, memiliki paling tidak satu anggota keluarga yang bermigrasi. Kepergian anggota keluarga tersebut didorong oleh kekeringan, kelangkaan air, dan kegagalan panen. Mereka umumnya pergi ke Kolombo dan kota-kota lainnya untuk bekerja di pabrik semen, konstruksi, pembangunan jalan dan pekerjaan serupa lainnya. Mereka hanya kembali setiap beberapa bulan sekali atau saat musim panen.[47] Perpindahan manusia akibat perubahan iklim juga memiliki aspek gender. Sejumlah literatur telah mengkaji dampak gender dari pola mobilitas. Beberapa aspek yang memengaruhi mobilitas laki-laki dan perempuan antara lain peran seks laki-laki dan perempuan, stratifikasi dan struktur tenaga kerja yang menentukan akses dan ketersediaan sumber daya dan peluang untuk bermigrasi, dan bagaimana proses tersebut dialami secara berbeda oleh pria dan wanita. Gender, bersama dengan identitas-identitas sosial dan politik yang lain, seperti ras, kelas, usia, kelompok etnik, dan kasta, menentukan tingkat kerentanan seseorang ketika memutuskan bermigrasi.[48] Studi kasus di Bahama tentang efek pengungsian akibat bencana badai Dorian menemukan bahwa komunitas LGBTI dan perempuan Haiti rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan berbasis gender di tempat pengungsian. Dari penelitian tersebut, gender, usia, kecacatan, status kewarganegaraan, status imigrasi, dan orientasi seksual menentukan kerentanan dan juga sedikit banyaknya kesempatan yang mereka peroleh pasca bencana.[49] Urbanisasi telah mendorong pertumbuhan populasi di wilayah perkotaan, dan hal ini menyumbang kerentanan pada penduduk karena banyaknya kota besar di dunia yang berada di dekat pantai dan garis patahan. Sebanyak 14 persen penduduk kota di negara berkembang hidup di zona pesisir dataran rendah. Urbanisasi, perencanaan perkotaan dan implementansi pengembangannya yang buruk, serta krisis iklim menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat miskin yang tinggal di perkampungan kota dan permukiman kumuh. Berdasarkan studi oleh peneliti di Lagos, Nigeria, beberapa dampak buruk tersebut antara lain eksklusi sosial (hak dan akses yang terbatas terhadap infrastruktur publik, hukum, jaminan kepemilikan atas tanah dan perumahan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup mereka) dan kerentanan terhadap bencana alam dan polusi. Para peneliti menyatakan kelompok yang paling terdampak dari hal-hal tersebut adalah tunawisma dan mayoritas warga berpenghasilan rendah. Mereka terdiri atas orang lanjut usia, orang cacat, perempuan, dan anak jalanan. Gender dan faktor usia (penuaan) menjadi dua faktor penting untuk memahami kerentanan yang diakibatkan oleh krisis iklim terhadap permukiman.[50] Kekerasan terhadap perempuan dan anakPerubahan iklim juga dapat menjadi salah satu pemicu peningkatan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.[7] Berdasarkan laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN), ada ribuan kasus kawin paksa di Afrika yang terjadi akibat krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Keluarga petani miskin yang mengalami gagal panen dan kekurangan makanan umumnya menikahkan anak perempuannya yang masih remaja. Hal ini mereka lakukan untuk mengurangi jumlah tanggungan dan mendapatkan pemasukan secara instan. Beberapa kasus tersebut dilaporkan terjadi di Malawi, Sudan Selatan dan Etiopia. Di Sudan Selatan dan Etiopia, anak perempuan dinikahkan demi mendapatkan imbalan berupa hewan ternak.[51] Kekerasan lain yang mungkin mengancam para perempuan di Afrika adalah kekerasan seksual. Kelangkaan sumber air dan semakin meluasnya permukaan gurun mengharuskan perempuan berjalan semakin jauh untuk mengumpulkan air dan mendapatkan makanan. Risiko yang mungkin meningkat adalah paparan terhadap kekerasan seksual di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok kejahatan bersenjata.[51] UNDP melaporkan bahwa di Uganda, perempuan dan anak-anak perempuan dipaksa berhubungan seksual untuk mendapatkan air dan makanan. Para penjual makanan, petani, dan pemilik tanah memaksa mereka meski para perempuan tersebut telah berusaha menawarkan penyediaan tenaga kerja sebagai pengganti hubungan seksual. Anak-anak perempuan yang sibuk dengan urusan pengumpulan makanan dan air juga tidak sempat lagi belajar dan harus putus sekolah. Kelelahan akibat beban bertumpuk membuat perempuan terlalu lelah untuk berhubungan seksual dan sebagian suami meresponnya dengan tindak kekerasan. Perempuan juga rentan mengalami kekerasan seksual karena hidup sendiri di rumah sementara suami dan anggota keluarga laki-laki bekerja di tempat yang jauh.[52] Dengan peran tradisional sebagai pekerja dan kepala keluarga, para pria di negara-negara tersebut juga mengalami berbagai tekanan. Sumber pencaharian mereka terdampak oleh gagal panen, kematian hewan ternak, berkurangnya pendapatan dan kerentanan pangan. Sebagian dari mereka melarikan diri ke minuman beralkohol dan salah satu akibatnya, mereka berperilaku semakin keras terhadap istri mereka.[52] Dampak gender perubahan iklim pada masyarakat adatPenduduk asli merupakan penjaga kawasan, teritorial, dan sumber daya di tanah tradisional mereka. Menurut data FAO pada 2019, ada sekitar 476.6 juta warga pribumi di seluruh dunia yang terdiri atas 238.4 juta perempuan dan 238.2 juta laki-laki. Berdasarkan studi, 80% keanekaragaman hayati di seluruh dunia ada dalam penjagaan mereka. Warga pribumi memiliki pengetahuan dan kearifan turun menurun tentang cuaca dan iklim yang dapat berkontribusi untuk ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan hidup.[53] Masyarakat asli merupakan salah satu korban pertama dan merasakan langsung dampak perubahan iklim. Ada dua alasan mengapa komunitas asli menjadi kelompok yang paling terpengaruh krisis iklim. Pertama, mereka memiliki hubungan yang erat dan unik dengan alam dan seringkali menggantungkan hidup mereka sepenuhnya ke alam. Hutan merupakan sumber makanan, obat-obatan, dan pengetahuan bagi mereka.[54] Masyarakat adat juga menganggap alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kultur dan spiritualitas mereka. Alasan kedua, komunitas asli pada umumnya sudah hidup dalam kemiskinan di lingkungan yang terpinggirkan dan di beberapa wilayah, mereka terdiskriminasi.[55] Mereka telah terpinggirkan secara sosial, politik, dan rentan kehilangan tanah dan sumber daya, menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi dan pengangguran. Krisis iklim turut memperparah situasi warga asli.[56] Ilmuwan juga menambahkan faktor geografis sebagai penentu kerentanan warga asli terhadap perubahan iklim. Beberapa suku asli yang hidup di bagian utara Kanada, seperti Inuit, terdampak penghangatan suhu di wilayah Arktika.[57] Suku-suku asli yang keluar dari tanah tradisional mereka, baik secara sukarela maupun terpaksa, rentan mengalami diskriminasi ganda akibat status mereka sebagai imigran sekaligus orang asli. Perpindahan tempat yang dilakukan secara mendadak membuat mereka rentan menjadi korban perdagangan dan penyelundupan orang. Warga suku-suku asli di negara berkembang yang terpaksa pindah karena deforestasi banyak yang berakhir di permukiman kumuh di kota-kota besar.[56] Seperti halnya wanita di komunitas-komunitas lain, perempuan pribumi belum terwakili secara memadai dan belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang iklim. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memaksimalkan potensi, ikut berperan dalam merespon krisis iklim, serta menghapus kesenjangan gender dan diskriminasi terhadap masyarakat adat.[53] Perempuan penduduk asli juga memikul beban ganda dengan statusnya sebagai perempuan dan warga adat. Dalam konteks perubahan iklim, wanita adat sering menghadapi pelanggaran HAM sistemik dan mengalami praktik eksklusivitas dan diskriminatif yang mendalam, baik di dalam komunitas mereka sendiri maupun masyarakat secara umum. Hak-hak mereka sebagai perempuan penduduk asli masih terabaikan meski telah ada Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).[16] Christiana Saiti Louwa, perempuan dari suku El Molo, Kenya, menyatakan para perempuan di sukunya terdampak secara fisik, mental, dan emosional akibat kerusakan lingkungan dan kekeringan yang melanda wilayah mereka. Selama bertahun-tahun, suku El Molo hidup dengan mencari ikan dan memelihara ternak. Namun, akibat penyusutan air di danau Turkana, mereka harus berpindah ke dataran tinggi dan terpaksa belajar bercocok tanam. Di Indonesia, suku-suku asli di Kalimantan dan Sumatra telah kehilangan hutan warisan akibat deforestasi yang dipicu oleh perluasan industri kelapa sawit. Mereka dipaksa menjual tanah dan berpindah ke tempat lain. Studi terhadap Orang Rimba di Sarolangun, Jambi dan suku Dayak Iban di Bengkayang, Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa perempuan terdampak langsung secara ekonomi akibat deforestasi. Di kedua komunitas tersebut, perempuan tidak lagi dapat mewariskan pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, seperti menganyam tikar dan keranjang yang terbuat dari hasil hutan. Mereka juga kehilangan sumber pendapatan tambahan.[58] Untuk memengaruhi kebijakan iklim yang berdampak pada kehidupan mereka, suku-suku asli di dunia berhimpun dan memulai gerakan keadilan iklim untuk masyarakat adat. Mereka berasal dari berbagai wilayah di dunia, seperti Amerika Utara dan Amerika Selatan. Suku-suku yang hidup di hutan Amazon wilayah Ekuador timur, seperti Huaorani, Sápara dan Sarayaku Kichwa telah lama terlibat dalam upaya pencegahan perubahan iklim. Mereka memiliki peran ganda. Pertama, dengan menentang pendudukan dan deforestasi atas hutan yang telah lama mereka tinggali, dan kedua, mereka bergerak di lobi-lobi dan forum internasional. Sejak 1990-an, suku-suku tersebut telah menyadari peran mereka dalam melindungi kawasan hutan dari efek perubahan iklim. Kesadaran bahwa masyarakat adat memiliki potensi memengaruhi pengambilan keputusan mendorong mereka terlibat lebih jauh dalam kegiatan aktivisme. Mereka aktif bersuara di lobi-lobi negosiasi perubahan iklim antar negara dan di forum-forum PBB.[59] Kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap keberlangsungan lingkungan hidup mendorong sejumlah perempuan adat untuk mengambil posisi kepemimpinan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mereka berjuang melindungi hak mereka atas tanah, memimpin proyek konservasi sumber air bersih, dan membuka jalan bagi generasi selanjutnya untuk merencanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Di Ekuador, Nemonte Nenquimo diangkat sebagai pemimpin perempuan pertama suku Waorani. Ia bersama masyarakat adat Waorani menuntut pemerintah Ekuador ke pengadilan karena rencana penjualan hutan ke perusahaan minyak. Mereka memenangkan kasus pada 2009 dan berhasil menyelamatkan 500.000 hektar hutan hujan Amazon. Kemenangan ini menjadi preseden hukum yang penting untuk hak-hak masyarakat adat. Sebelum masuknya peradaban dan pendudukan, perempuan Waorani adalah pengambil keputusan di sukunya. Nilai-nilai baru yang dibawa oleh pendidikan luar menjauhkan perempuan adat dari peran itu. Menurut Nemonte, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peran dan harus bekerja sama dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.[4] Perbedaan gender tentang persepsi mengenai perubahan iklimPandangan seseorang atau kelompok mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain ras, kelompok etnik, status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender. Terkadang juga ditambah dengan pandangan dan orientasi politik. Faktor-faktor tersebut secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang krisis iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kelompok dalam mempertimbangkan solusinya.[60] Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan hidup dan perubahan iklim. Hasil penelitian di Amerika Serikat menemukan perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.[61] Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, mereka sedikit lebih ragu tentang apakah mayoritas ilmuwan mempercayai bahwa perubahan iklim tengah terjadi saat ini. Dalam studi lain di negara yang sama, perempuan ditemukan memiliki pengetahuan perubahan iklim yang lebih baik daripada laki-laki. Namun, dibandingkan dengan pria, wanita lebih cenderung menganggap remeh pengetahuan yang mereka miliki.[62] Perbedaan gender tentang pendekatan kebijakan perubahan iklimMenurut sejumlah penelitian, representasi perempuan dalam parlemen menentukan sikap parlemen terhadap kebijakan perubahan iklim. Sampel data yang dikumpulkan dari 91 negara menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan memengaruhi pendekatan negara dalam adaptasi perubahan iklim, termasuk di antaranya dengan mengadopsi kebijakan yang lebih ketat.[63] Sebuah studi di AS menyebutkan bahwa anggota parlemen perempuan memiliki pandangan yang lebih pro lingkungan hidup dibandingkan anggota laki-laki.[64] Penelitian terhadap anggota parlemen Eropa keenam dan ketujuh menyatakan bahwa anggota legislatif laki-laki dan perempuan menunjukkan kepedulian yang sama terhadap isu perubahan iklim. Tetapi, wanita secara signifikan lebih mungkin mendukung undang-undang lingkungan hidup daripada rekan pria mereka. Peneliti menekankan bahwa terlepas dari hasil riset tersebut, kebijakan lingkungan hidup yang ada saat ini masih banyak diputuskan oleh laki-laki akibat keterwakilan perempuan yang masih rendah di lembaga legislatif.[65] Partisipasi perempuan dalam penanganan bencana alamKajian mengenai riskscapes di tiga daerah di Indonesia, yaitu Aceh, Bantul, dan Merapi mengindikasikan bahwa intervensi berbasis gender perlu dilakukan dalam penanganan bencana alam. Peneliti studi tersebut menulis "ketika perempuan diberdayakan, memiliki partisipasi dan lebih setara dalam ruang publik dan sipil, serta diberi peluang untuk mengembangkan modal sosial dan pengalaman kepemimpinan, maka para perempuan tersebut bersama keluarga serta komunitasnya memiliki kemampuan yang lebih besar untuk pulih dan menunjukkan ketahanan yang lebih besar dalam menghadapi bahaya yang menandai riskscapes bencana".[66] Mereka juga merekomendasikan para peneliti riskscapes untuk memasukkan aspek gender ke dalam penelitian, perencanaan, dan aksi penanganan bencana alam dan perubahan iklim. Menurut Satoshi Takada, profesor Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Kobe, keterlibatan perempuan dalam upaya mitigasi bencana sangat diperlukan. Ia berpendapat bahwa perempuan bisa berperan dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terdampak. Dalam penanganan bencana, perempuan memiliki tugas yang berbeda dengan laki-laki. Dengan bekal kemampuan mereka dalam berbagai pekerjaan rumah tangga, menurut Satoshi, perempuan dapat terlibat untuk merawat anak-anak dan orang lanjut usia.[67] Namun, untuk terlibat lebih jauh dalam urusan pengambilan keputusan, terutama terkait tata kelola penanganan bencana, perempuan seringkali menghadapi beragam hambatan.[68] Peneliti di Universitas Huddersfield, Inggris, melakukan studi literatur mengenai peran perempuan dalam tata kelola risiko bencana. Mereka mengidentifikasi sejumlah faktor yang menghambat perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait bencana. Kendala-kendala tersebut bersumber dari faktor sosial budaya, karakteristik individu, faktor hukum dan kelembagaan, serta faktor sosial ekonomi.[69] Hambatan sosial budaya yang dihadapi adalah kultur patriarki, paham agama, struktur keluarga, dan beban pekerjaan rumah tangga. Perempuan dan anak perempuan dalam masyarakat patriarki dipandang sebagai subordinat laki-laki dan peran perempuan seringkali direduksi hanya sebagai ibu dan istri. Hal ini membuat perempuan menjauh dari politik dan publik. Keyakinan agama menjadi kendala lain bagi perempuan untuk terlibat dalam kepemimpinan dan masyarakat. Menurut peneliti, Kristen Protestan lebih mendorong keterlibatan perempuan sebagai pemuka agama dibandingkan dengan Katolik dan Kristen Ortodoks. Fenomena yang sama juga terlihat di India, keyakinan terhadap agama telah membatasi kebebasan perempuan muslim dibandingkan dengan wanita Hindu. Hal ini sedikit banyak memengaruhi pola pikir perempuan tentang perannya di masyarakat. Besar kecilnya keluarga dan komposisi di dalamnya juga berpengaruh. Jika proporsi anggota keluarga didominasi oleh laki-laki dewasa, maka perempuan cenderung kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Multi peran dan beban kerja domestik berlebih juga menyibukkan perempuan sehingga kesulitan untuk terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat.[68] Sedangkan karakteristik pribadi yang menghambat keterlibatan perempuan dalam tata kelola bencana adalah tingkat pendidikan dan minat pribadi. Pendidikan dan kemampuan yang rendah, serta tidak adanya minat untuk terjun ke masyarakat menjadi faktor penghambat dari dalam. Perempuan di negara berkembang, menurut peneliti, kurang memiliki minat untuk masuk ke dalam bidang politik dan ikut mengambil peran sebagai pengambil/perumus kebijakan. Faktor penghambat dari unsur institusi dan hukum antara lain budaya organisasi, lingkungan politik, dan hambatan kebijakan dan hukum. Perempuan belum terepresentasikan secara memadai di level lokal maupun nasional. Budaya organisasi yang patriarkis juga menghambat partisipasi perempuan, terkadang ditemui pula diskriminasi berbasis gender di dalamnya. Faktor terakhir adalah terkait tingkat pendapatan keluarga. Status sosial ekonomi yang lebih rendah membuat perempuan kurang terlibat dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga maupun masyarakat.[68] Kritik terhadap studi perubahan iklim dan genderBeberapa peneliti memandang studi perubahan iklim dan gender yang ada saat ini masih didominasi oleh pandangan dikotomis laki-laki dan perempuan dan masih kurang mempertimbangkan aspek interseksionalnya. Kajian interseksionalitas sebenarnya telah lama digunakan untuk memahami permasalahan gender secara lebih komprehensif. Para peneliti tersebut meyakini bahwa isu perubahan iklim dan gender sifatnya kompleks dan multidimensi. Menurut mereka, isu perubahan iklim dan gender bukan hanya masalah kekuatan dominan laki-laki melawan kelompok perempuan yang terdominasi dan lebih rentan, tapi juga tentang apa yang terjadi dalam kelompok rentan itu sendiri.[70] Dikotomi laki-laki dan perempuan juga cenderung mengabaikan kompleksitas isu dan bagaimana kerentanan serta kemampuan adaptasi itu bersifat dinamis.[13] Laki-laki dan perempuan bukan merupakan kategori yang homogen. Memandang perempuan sebagai kelompok homogen, menurut ilmuwan, sama dengan mengabaikan pentingnya faktor-faktor sosial yang lain dan tidak mengakui konteks sosial rumah tangga yang dikepalai perempuan.[71] Selain faktor gender, ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi identitas perempuan, seperti ras/kelompok etnik, kelas, kasta, usia, status perkawinan, pendidikan, tingkat pendapatan, agama dan lokasi geografis.[29] Akibatnya, menurut sejumlah pakar, memposisikan perempuan semata-mata sebagai korban dari perubahan iklim[71] dan memandang laki-laki pasti memikul beban yang lebih ringan adalah miskonsepsi. Kenyataan di masyarakat tidak demikian. Wanita di Asia dan Afrika, misalnya, tidak kekurangan rasa agensi mereka. Namun, dalam kondisi di bawah tekanan dan keterbatasan pekerjaan, agensi mereka diarahkan ke kepentingan bertahan hidup dan mencari solusi jangka pendek.[13] Sejumlah literatur juga menunjukkan bahwa perempuan berpeluang menjadi agen perubahan yang proaktif dalam pengendalian perubahan iklim.[72] Studi kasus di sejumlah negaraIndonesiaPengarusutamaan gender telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini. Namun, dalam konteks perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki. "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".[73] Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh CIFOR terhadap mekanisme pendanaan iklim, ditemukan adanya kesenjangan pemahaman antara tingkat nasional dan lokal. Di tingkat nasional, pengambil kebijakan telah mendukung kesetaraan gender, sementara mereka yang mengimplementasikan di tataran bawah masih belum memahami pentingnya isu ini dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.[74] Para peneliti CIFOR melakukan analisa terhadap lima mekanisme pendanaan dalam aspek integrasi tujuan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan. Mereka meliputi Dana Desa, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Peneliti menyatakan bahwa mekanisme bantuan ini bisa berpotensi membantu ataupun menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kalangan perempuan dan masyarakat miskin. Hal ini bergantung pada bagaimana perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan program ini dilakukan. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim di Indonesia masih berfokus pada pengentasan kemiskinan, tetapi belum mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.[74] Sementara itu, di tingkat nasional, perempuan di Indonesia masih menghadapi hambatan hukum dan kebijakan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk isu krisis iklim. Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) 2020. Para ilmuwan merekomendasikan isu perubahan iklim dan gender dimasukkan ke dalam agenda nasional dengan pembahasan utama difokuskan pada gender dan kerentanan, gender dan mitigasi, serta gender dan adaptasi.[75] Urban and Regional Development Institute, Indonesia, meneliti aspek kesetaraan gender dalam adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Para peneliti melakukan studi kasus di Cirebon dengan menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Cirebon dipilih karena mewakili daerah di Indonesia yang berlokasi di area pesisir. Peneliti menggunakan sampel dari populasi yang hidup di kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, tepatnya di Kesepuhan dan Pegagan Lor. Kesepuhan merupakan daerah perkotaan yang rawan banjir dengan permukiman dan fasilitas perkotaan yang mendekati pantai, sedangkan Pegagan Lor masuk wilayah kabupaten yang terancam kekeringan. Petani dan lahan pertanian di Pegagan Lor rentan terhadap krisis iklim. Peneliti mengkaji perbedaan gender pada kondisi sosial ekonomi dengan menggunakan model sosio-ekologis dengan beragam variabel yang terdiri dari literasi dan pendidikan, mata pencaharian, akses dan kontrol atas sumber daya, kesehatan, mobilitas, kepala keluarga perempuan, dan peran dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kapasitas adaptif gender antara perkotaan dan perdesaan. Penduduk perkotaan, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kemampuan yang lebih baik daripada warga perdesaan. Warga perkotaan lebih unggul dalam kemampuan literasi dan pendidikan, pekerjaan, akses dan kontrol terhadap sumber daya alam, perempuan sebagai kepala rumah tangga dan peran dalam pengambilan keputusan. Ketidaksetaraan gender mulai berangsur-angsur berkurang, baik di kota maupun desa. Akibat tekanan ekonomi, perempuan di perkotaan dan perdesaan sama-sama mulai mengambil kontrol lebih terhadap sumber daya. Perempuan mulai memiliki kekuatan mengendalikan aset keluarga yang terdiri atas rumah, tanah, hewan ternak, kendaraan bermotor, emas, dan tabungan. Temuan yang lain adalah pengarusutamaan gender dalam adaptasi perubahan iklim lebih mudah diterapkan di perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat serta para pembuat kebijakan [76] FilipinaFilipina memiliki undang-undang yang sensitif gender. Dalam hal upaya penghapusan kesenjangan gender, negara ini selalu di urutan pertama di Asia Tenggara. Meski demikian, Filipina menghadapi tantangan di tingkat implementasi. Untuk merespon dampak gender perubahan iklim, Filipina telah mengesahkan UU Republik nomor 9729, 7192 dan 10121. Di dalamnya, ada Magna Carta Perempuan yang merupakan undang-undang untuk menjamin hak perempuan atas ketahanan pangan dan hak perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Selanjutnya, Undang-Undang Perubahan Iklim diamandemen untuk menciptakan dana adaptasi bagi pemerintah daerah atau dikenal dengan Dana Ketahanan Masyarakat. Untuk mendapatkan bantuan ini, proyek harus peka terhadap kerentanan berbasis gender. Sejak 1995, setiap tahun pemerintah FIlipina mengalokasikan 5% dari total anggarannya untuk gender dan pembangunan.[77] Sekitar 13.6 juta masyarakat Filipina merupakan warga pesisir yang paling terpapar efek krisis iklim berupa kenaikan permukaan air laut, badai, dan banjir. Di antara mereka merupakan perempuan yang rentan karena menggantungkan hidup pada hasil alam. Mereka adalah petani, penduduk hutan, dan nelayan. Krisis iklim mengancam ketersediaan air dan makanan dan mengganggu tugas domestik perempuan perdesaan, seperti memasak dan menyediakan air bersih. Perempuan perdesaan Filipina juga tidak memiliki akses setara terhadap tanah, pinjaman usaha, dan informasi. Akibatnya, saat terjadi bencana, mereka cenderung mengalami kerugian besar. Meski Komisi Perempuan Filipina telah memantau penerapan UU yang baru, stereotip masih menghambat upaya reformasi yang peka gender. Menurut studi, kontribusi perempuan pedesaan dalam produksi pangan nasional, seperti di sektor perikanan, masih cenderung diremehkan dan tidak terkompensasi. Pekerjaan perempuan tidak dihargai karena tugas-tugas mereka yang dianggap rendahan, seperti mempersiapkan alat tangkap dan menjual ikan.[77] IndiaIndeks Pembangunan Manusia 2020 menempatkan India di posisi ke-131 dari 189 negara dengan penilaian rendah untuk aspek kesetaraan gender. Mereka berada di peringkat ke-123 dalam Indeks Pembangunan Gender.[78] Menurut UNDP, kesenjangan gender dalam perubahan iklim di India diperparah oleh norma-norma sosial, stigma, mobilitas terbatas, angka buta huruf yang tinggi, sumber daya finansial yang rendah, pembatasan hak-hak, serta pengabaian terhadap aspirasi perempuan dalam penyusunan kebijakan perubahan iklim.[27] Salah satu kelompok perempuan paling rentan adalah mereka yang hidup di daerah kering dan semi-kering di India. Akibat beban kerja berlebih, banyak perempuan di kawasan tersebut tidak dapat mengakses pendidikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya dampak-dampak perubahan iklim, seperti kekeringan dan keterbatasan air bersih untuk kepentingan memasak, air minum, sanitasi, dan kepentingan produktif lainnya. Para perempuan tersebut bertanggung jawab mengumpulkan dan mengangkut air, mengumpulkan kayu untuk bahan bakar, serta terlibat dalam pekerjaan di pertanian.[79] Avantika Singh, akademisi ilmu politik di Universitas Delhi, mengemukakan bahwa diskursus kebijakan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim di India masih buta gender dan sarat dengan maskulinisasi. Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari anggota dewan yang masih didominasi oleh laki-laki dengan kewenangan yang besar, serta tidak adanya upaya melakukan pendekatan ke bawah, termasuk menjaring suara perempuan yang berpengalaman dalam hal ini. Untuk memformulasi kebijakan perubahan iklim tersebut, tidak ada pelibatan perwakilan dari Kementerian Pengembangan Perempuan dan Anak, praktisi yang bekerja di masyarakat bawah, maupun LSM perempuan.[80] TiongkokMenurut sejumlah peneliti, kebijakan perubahan iklim dan gender di Tiongkok telah mengalami perkembangan cukup baik selama sepuluh tahun terakhir, meski masih ditemui kelemahan dan cenderung terfragmentasi. Sebelumnya, mereka dikritik karena menunjukkan komitmen lemah terhadap pengurangan emisi dan penanganan krisis iklim. Sejumlah peneliti menduga perubahan sikap ini dipicu oleh laporan kenaikan kadar karbon dioksida, metana, dan dinitrogen monoksida oleh Administrasi Meteorologi Tiongkok pada 2017. Tiongkok merilis kebijakan lingkungan pertamanya pada Juni 2007. Dalam rencana aksi perubahan iklim nasional tersebut, mereka menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi GHG (gas rumah kaca global) dengan tanpa mengorbankan kepentingan ekonomi Cina. Berbeda dengan di negara-negara lain, pembahasan mengenai aspek gender dalam perubahan iklim di Cina umumnya dimasukkan ke dalam kebijakan mengenai kesetaraan gender, bukan di kebijakan perubahan iklim.[81] Penelitian di perdesaan Tiongkok mengungkap adanya perbedaan dampak gender pada isu perubahan iklim. Para perempuan lebih terdampak secara negatif daripada laki-laki. Salah satu contohnya adalah riset di kalangan petani di Yunnan. Pada Januari hingga Maret 2008, komunitas petani di Yunnan terdampak hujan salju lebat yang mengakibatkan banjir. Kerugian yang mereka hadapi antara lain bekerja lebih berat karena terlibat dalam upaya kesiapsiagaan sebelum bencana dan pemulihan setelah bencana, berkurangnya pendapatan, serta kesehatan yang terganggu.[82] Berbeda dengan hasil penelitian di Eropa dan Amerika, dari beberapa studi didapati bahwa laki-laki Tiongkok lebih menunjukkan kepedulian lebih terhadap isu perubahan iklim dibandingkan perempuannya. Salah satu contohnya adalah studi di sebuah desa di provinsi Ningxia. Partisipan laki-laki lebih mampu menjelaskan dampak perubahan iklim yang mereka rasakan, seperti adanya perubahan suhu dan kelembapan yang sifatnya musiman, sedangkan perempuan merespon pertanyaan dengan jawaban yang kurang jelas dan tidak spesifik. Dari sini, terlihat adanya kesenjangan pengetahuan mengenai perubahan iklim di antara kedua gender. [83] Kesenjangan gender dalam pengetahuan lingkungan ini, menurut ilmuwan, akan terus bertahan kecuali perkembangan ekonomi Tiongkok diarahkan untuk menjamin akses perempuan ke pendidikan dan ekonomi yang lebih baik.[84] Partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim di Cina masih cukup rendah, baik di tingkat lokal maupun nasional. Meski sekitar 20-50% staf pemerintah yang bekerja di bagian perumusan kebijakan lingkungan adalah perempuan, mereka belum cukup terwakili di posisi kepemimpinan. Persentase pejabat perempuan hanya sekitar 5-20%. Sejak berdiri pada 1984, kementerian lingkungan hidup belum pernah sekalipun dipimpin oleh seorang perempuan.[85] Referensi
Daftar pustakaBuku
Jurnal
Sumber daring
|