Penaklukan Kepulauan Banda oleh Belanda dilancarkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC, "Perusahaan Hindia Timur Belanda") sejak 1609 hingga 1621. Kepulauan Banda sebelumnya merupakan bagian dari jaringan perdagangan yang besar di Nusantara. Pada tahun 1609, VOC menuntut monopoli atas perdagangan pala dan fuli di Kepulauan Banda. Rempah-rempah ini sangat menguntungkan untuk dijual di Eropa pada masa itu karena tidak dapat ditemui di tempat lain di dunia. Para orang kaya Banda menolak tuntutan ini. Orang-orang Banda sendiri bergantung pada perdagangan internasional karena mereka perlu mengimpor makanan dan komoditas-komoditas penting lainnya. Pembunuhan seorang pejabat VOC yang bernama Pieter Willemszoon Verhoeff kemudian menjadi alasan bagi VOC untuk memulai perang.
Setelah menjarah beberapa desa di Pulau Banda Neira, Belanda menyepakati perjanjian perdamaian dengan orang Banda dan mendirikan Benteng Nassau di pulau tersebut pada tahun 1609. Namun, orang-orang Banda membenci monopoli Belanda, sehingga mereka mengabaikan monopoli tersebut dan mulai berdagang dengan Inggris dan pedagang-pedagang Nusantara lainnya. Belanda lalu melancarkan ekspedisi untuk menaklukkan Pulau Ay. Walaupun sempat mengalami kegagalan, pada tahun 1616, VOC berhasil menaklukkan pulau tersebut dan membunuh semua penduduk asli yang melawan.
Walaupun VOC sengaja menghukum penduduk Pulau Ay untuk menakut-nakuti penduduk pulau-pulau lain, masyarakat Banda masih berusaha melawan. Pada Desember 1616, orang-orang Banda di Pulau Rhun mendapatkan bantuan dari Inggris dan bahkan bersedia menerima kedaulatan Raja James I untuk mempertahankan diri dari ancaman Belanda. Namun, VOC membalasnya dengan menyerang Pulau Rhun. Walaupun Inggris mampu bertahan selama lebih dari empat tahun, pada akhirnya pulau tersebut jatuh ke tangan Belanda. Sesudah itu, Belanda membantai dan memperbudak semua laki-laki dewasa di pulau ini, dan semua pohon pala di Pulau Rhun juga ditebang.
Orang-orang Banda di Pulau Lontor (atau Banda Besar) juga mengabaikan monopoli VOC. Akibatnya, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen melancarkan ekspedisi ke pulau tersebut pada tahun 1621. Ekspedisi ini berujung pada pembantaian Banda yang menewaskan sekitar 2.500 orang Banda dan mengakibatkan 1.700 warga Banda lainnya diperbudak oleh VOC. Orang-orang Banda yang tersisa diasingkan ke Batavia dan banyak di antara mereka yang diperbudak di sana. Dengan padamnya perlawanan rakyat Banda, VOC berhasil menguasai perdagangan rempah-rempah, sementara Inggris secara resmi mencabut klaimnya atas Pulau Rhun sesuai ketentuan Perjanjian Breda tahun 1667.
Latar belakang
Kepulauan Banda terletak di Kepulauan Maluku bagian selatan di kawasan timur Nusantara.[3] Pada akhir abad ke-16, pala dan fuli hanya dapat ditemukan di Kepulauan Banda, sehingga mereka yang dapat menguasai perdagangan komoditas ini akan memperoleh keuntungan yang besar.[4] Kepulauan Banda sendiri sudah menjadi bagian dari jaringan perdagangan yang besar di Nusantara, dan pedagang-pedagang dari Jawa sering kali mendatangi kepulauan ini untuk memperdagangkan beras Jawa dan tekstil India dengan pala dan fuli. Mereka juga membawa agama Islam ke kawasan ini. Secara politik, Kepulauan Banda terdiri dari perkumpulan desa-desa. Desa-desa ini dipimpin oleh para orang kaya (pemuka rakyat atau orang yang disegani) yang berkumpul di Pulau Banda Neira untuk menghindari konflik antardesa dan menyepakati perjanjian perdagangan.[3]
Pada awal abad ke-16, orang Portugis tiba di Kepulauan Banda.[5] Para orang kaya Banda melawan upaya Portugis untuk menancapkan kekuasaan. Mereka tidak pernah mengizinkan bangsa Portugis mendirikan pos dagang ataupun benteng.[6] Perlawanan orang Banda juga menghentikan upaya misionaris Portugis untuk menyebarkan agama Katolik.[7] Menurut sejarawan Britania John Villiers, perlawanan dari orang kaya inilah yang membuat bangsa asing tidak dapat menegakkan monopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Banda, sementara di wilayah Maluku lainnya (seperti di Kesultanan Ternate dan Tidore), bangsa Eropa dapat meyakinkan penguasa setempat untuk memberikan hak monopoli dan mengizinkan pendirian benteng.[8]
Situasi di Kepulauan Banda diramaikan dengan kedatangan orang Belanda pada akhir abad ke-16. Pada tanggal 1 Mei 1598, sebuah armada yang dipimpin oleh Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck berlayar dari kota Texel. Ekspedisi yang didanai oleh sejumlah voorcompagnieën (secara harfiah berarti "praperusahaan") ini melibatkan Jacob van Heemskerck yang sebelumnya dikenal karena pernah dua kali mencoba mencari Jalur Timur Laut dan berhasil selamat dari musim dingin di Pulau Novaya Zemlya.[9] Pada tahun 1599, Heemskerck berlayar ke Kepulauan Banda,[10] dan ini merupakan pertama kalinya Belanda mencapai kepulauan tersebut.[11] Orang Banda menyambut kedatangan Belanda karena mereka meyakini bahwa Belanda dapat membantu mengusir Portugis.[12] Heemskerck kemudian berhasil membeli pala dan fuli dari Banda.[13] Heemskerck bahkan diperbolehkan mendirikan sebuah pos dagang kecil di Pulau Lontor.[12]
Selanjutnya, pada tahun 1602, persekutuan dagang VOC secara resmi dibentuk. VOC sendiri merupakan hasil dari penggabungan dari sejumlah voorcompagnieën. Perusahaan tersebut memperoleh hak eksklusif dari pemerintah Belanda untuk berdagang di Asia. VOC juga memiliki hak untuk membuat perjanjian dengan negara lain dan mendirikan benteng serta pos dagang.[14]
Konflik meletus
Pertempuran Banda Neira
Walaupun pada mulanya hubungan antara Banda dan Belanda berlangsung baik, tak lama kemudian orang-orang Banda mulai menyadari bahwa kedatangan Belanda malah lebih merugikan daripada Portugis.[15] Pada awal April 1609, armada VOC yang dipimpin oleh Pieter Willemszoon Verhoeff tiba di Pulau Banda Neira dan ingin memaksakan pendirian sebuah benteng.[16] Selain itu, VOC juga ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah, sehingga mereka menuntut agar rakyat Banda hanya menjual rempah-rempah kepada Belanda.[17] Di sisi lain, orang Banda bergantung pada perdagangan dengan negara-negara lain karena mereka perlu mengimpor makanan dan komoditas-komoditas penting lainnya.[18] Orang Banda juga tidak ingin kehilangan kebebasan ekonomi mereka, karena mereka hendak menjual rempah-rempah kepada penawar tertinggi, terlepas dari apakah penawarnya berasal dari Jawa, Inggris, atau Portugal. Perundingan yang sengit pun berlangsung antara pihak Belanda dan Banda.[17] Namun, Verhoeff mengabaikan penolakan dari orang kaya setempat dan memulai pembangunan benteng.[19] Pada akhir Mei 1609, para pemimpin orang Banda mengajak Verhoeff dan dua komandan lainnya ke hutan, dan membunuh mereka di sana.[20] Penjaga mereka juga dibantai oleh orang Banda; secara keseluruhan terdapat 46 orang Belanda yang tewas.[18] Peristiwa ini disaksikan oleh salah satu anggota ekspedisi yang kelak akan menjadi Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.[21] Sebagai balasan, serdadu Belanda menjarah beberapa desa orang Banda dan menghancurkan kapal-kapal mereka. Pada bulan Agustus, Belanda dan Banda menyepakati sebuah perjanjian perdamaian. Perjanjian ini menguntungkan Belanda, karena orang Banda harus mengakui monopoli Belanda atas perdagangan rempah.[22] Pada tahun yang sama, Belanda membangun Benteng Nassau di Pulau Banda Neira untuk mengendalikan perdagangan pala.[23][24]
Ekspedisi melawan Lontor, Rhun, dan Ay
Meskipun telah menandatangani perjanjian yang menjamin monopoli Belanda, orang-orang Banda mengabaikan isi perjanjian tersebut.[18] Orang Banda memulai perdagangan dengan Inggris (dengan harga yang lebih menguntungkan) serta pedagang Melayu, Jawa, dan Makassar (yang menjual rempah-rempah dari Banda kepada Portugis).[25] Tidak diketahui apakah para orang kaya ini tidak memahami isi "perjanjian" yang dibuat dengan mengikuti sistem hukum Barat, atau apakah mereka memang tidak mau mematuhinya karena perjanjian tersebut menghilangkan kebebasan ekonomi mereka. Namun demikian, hal ini membuat mereka dianggap sebagai "rekan" yang "tidak bisa dipercaya" di mata orang Belanda.[18]
Sementara itu, Piet Hein menggantikan Verhoeff sebagai komandan armada Belanda. Setelah pembangunan Benteng Nassau diselesaikan, armada Belanda bergerak ke Ternate di utara. Sultan Ternate sudah mengizinkan Belanda membangun kembali sebuah benteng Melayu yang sudah rusak. Nama benteng ini kemudian diganti menjadi Benteng Oranje pada tahun 1609. Benteng ini menjadi ibu kota de facto VOC hingga pemindahan ibu kota ke Batavia (kini Jakarta) di Pulau Jawa pada tahun 1619. VOC sempat berperang dengan Ternate dan Tidore. Pada Maret 1610, Hein tiba di Ambon. Setelah melalui proses perundingan yang panjang dari Maret hingga November 1610, ia berhasil membeli cengkih dari Ambon. Selanjutnya, pada awal tahun 1611, ia melancarkan ekspedisi hukuman ke Pulau Lontor dan Rhun di Kepulauan Banda. Ia lalu ditugaskan membangun Benteng Belgica di Pulau Banda Neira.[26] Pada tahun 1610, VOC juga menyerang Pulau Ay, tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan.[18]
Penaklukan Ay
VOC tidak dapat menerima fakta bahwa orang Banda terus-menerus mengabaikan monopoli Belanda, sehingga dewan direksi perusahaan tersebut, Heeren XVII, memutuskan pada tahun 1614 bahwa VOC harus menaklukkan seluruh Kepulauan Banda, bahkan jika hal tersebut akan mengakibatkan kehancuran penduduk asli dan kerugian finansial.[18] Untuk mewujudkan rencana tersebut, Gubernur JenderalGerard Reynst memimpin pasukannya ke Banda Neira pada 21 Maret 1615, sebelum mereka menyerang Pulau Ay pada 14 Mei 1615.[25] Pulau Ay sendiri pada saat itu berada di bawah perlindungan Inggris.[27] Pada mulanya VOC berhasil menguasai benteng-benteng orang Ay, tetapi prajurit Belanda terlalu dini dalam melakukan penjarahan.[25] Inggris telah mundur ke Pulau Rhun, kembali menggalang kekuatan, kemudian melancarkan serangan kejutan pada malam yang sama yang berhasil menewaskan 200 prajurit Belanda dan merebut kembali pulau tersebut.[28] Reynst lalu memutuskan untuk mundur dari Pulau Ay. Ia berencana untuk terlebih dahulu menghentikan upaya Inggris untuk memperoleh cengkih di Ambon, dan menaklukkan Ay sesudahnya. Namun, ia meninggal akibat penyakit pada Desember 1615.[25]
Sementara itu, orang-orang Banda meminta bantuan dari Inggris untuk mempertahankan diri dari serangan Belanda. Mereka mengirim utusan ke pos dagang Inggris di Banten dan membawakan surat berikut:
Maka dari itu kami semua ingin mencapai kesepakatan dengan Raja Inggris, karena sekarang orang Belanda menggunakan segala cara untuk menjajah negeri kami dan menghancurkan agama kami dan karena itu kami semua di Kepulauan Banda sungguh sangat membenci rupa orang-orang Belanda ini, anak-anak sundal, karena mereka unggul dalam berbohong dan berbuat jahat dan ingin mengalahkan negeri semua orang dengan pengkhianatan... Jika Raja Inggris karena cintanya kepada kami bersedia untuk menjaga negeri dan agama kami dan akan membantu kami dengan mesiu dan peluru untuk meriam dan membantu kami merebut kembali Puri Neira, sehingga kami dapat berperang melawan Belanda, dengan pertolongan Allah kami akan menjual semua rempah-rempah yang dihasilkan tanah kami hanya kepada Raja Inggris.[a]
Pada April 1616, Jan Dirkszoon Lam membawa 263 prajurit bersamanya. Walaupun menghadapi perlawanan yang sengit, mereka berhasil menaklukkan Pulau Ay. Lam memutuskan untuk menghukum penduduk pulau ini dan membunuh semua penduduk asli yang melawan, sementara 400 warga lainnya (termasuk wanita dan anak-anak) tenggelam saat mencoba melarikan diri ke Pulau Rhun.[18][30] Hal ini memaksa para orang kaya Banda di pulau-pulau lainnya untuk menandatangani perjanjian yang menguntungkan Belanda. Lam lalu memerintahkan pembangunan Fort der Wrake ("Benteng Pembalasan Dendam") di Pulau Ay untuk menunjukkan konsekuensi jika orang Banda berani melanggar perjanjian dengan Belanda. Namun, tindakan ini masih belum dapat memastikan monopoli Belanda atas perdagangan pala dan fuli.[30] Walaupun awalnya sempat terintimidasi, orang-orang Lontor akhirnya meneruskan perdagangan dengan mitra-mitra dagangnya, termasuk Inggris yang telah menancapkan keberadaannya di Pulau Rhun dan Nailaka.[18]
Pengepungan Rhun
Pada Desember 1616,[31] pedagang Inggris Nathaniel Courthope mendarat di Pulau Rhun dengan 39 orang dan mendirikan sebuah benteng di pulau tersebut. Ia berhasil meyakinkan penduduk Pulau Rhun untuk menandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa rakyat Rhun menerima Raja James I sebagai pemegang kedaulatan pulau tersebut. Belanda lalu mengepung benteng Inggris. Dengan bantuan penduduk setempat, Inggris dapat bertahan selama beberapa tahun, tetapi pada akhirnya Courthope gugur dalam pertempuran pada tahun 1620 dan benteng Inggris jatuh ke tangan Belanda. Inggris pun harus meninggalkan pulau ini.[28] Selepas menguasai Rhun, Belanda membunuh dan memperbudak semua laki-laki dewasa di pulau tersebut, sementara wanita dan anak-anak diasingkan. Belanda juga menebang semua pohon pala di Pulau Rhun supaya pulau tersebut menjadi tidak berharga lagi.[28][1] Selain itu, Belanda membiarkan sapi bebas berkeliaran di Pulau Rhun agar dapat menjadi sumber makanan untuk pulau-pulau lain.[32] Pada tahun 1638, Inggris kembali mencoba mengunjungi Rhun, sehingga pejabat-pejabat VOC rutin berkunjung ke pulau tersebut setiap tahunnya untuk memeriksa apakah orang-orang Inggris secara diam-diam telah menancapkan keberadaannya di pulau tersebut. Kunjungan tahunan ini baru dihentikan setelah Inggris melepaskan klaim atas Pulau Rhun pada tahun 1667.[32]
Konflik Inggris–Belanda
Selagi benteng Inggris di Pulau Rhun dikepung, ketegangan antara VOC dengan East India Company (EIC) semakin menguat dan berujung pada pertempuran laut yang berlangsung pada tahun 1618. Gubernur Jenderal VOC yang baru, Jan Pieterszoon Coen, menulis sebuah surat kepada Heeren XVII pada 29 September 1618. Dalam surat ini, ia meminta pasukan, dana, kapal, dan keperluan-keperluan lainnya untuk berperang melawan Banda dan Inggris. Sebagai penganut Calvinisme yang taat, ia mencoba meyakinkan atasannya bahwa ini akan menjadi investasi yang menguntungkan karena ia meyakini Tuhan akan mendukung mereka dan menganugerahkan mereka dengan kemenangan meskipun sebelumnya mereka sempat mengalami kegagalan. Ia menulis, "Janganlah bersedih, jangan ampuni musuh-musuhmu, tidak ada satupun hal di dunia yang dapat menghalangi atau merugikan kita, karena Tuhan bersama kita, dan jangan menarik kesimpulan dari kegagalan-kegagalan sebelumnya, karena di Hindia ada sesuatu yang besar yang dapat dicapai."[33]
Pada akhirnya Belanda berhasil merebut sebelas kapal Inggris, beberapa di antaranya membawa muatan perak, sementara Inggris hanya dapat merampas satu kapal Belanda. Namun, perang informal ini tidak menguntungkan pemerintahan masing-masing negara di Eropa. Pada tahun 1619, pemerintahan kedua negara tersebut berdamai dan menandatangani sebuah Perjanjian Pertahanan, karena Gencatan Senjata Dua Belas Tahun akan segera berakhir dan mereka hendak membentuk persekutuan Protestan untuk melawan Spanyol dan Portugal yang beragama Katolik. Heeren XVII lalu memerintahkan Coen untuk menghentikan permusuhan dengan Inggris. Inggris akan mendapatkan sepertiga rempah-rempah dari Maluku, sedangkan Belanda dapat memperoleh dua pertiganya. Coen dibuat murka oleh arahan ini, karena ia ingin mengusir Inggris dari Maluku dan memonopoli perdagangan rempah-rempah. Ia menulis surat berikut kepada atasan-atasannya:[21]
Saya mengakui bahwa tindakan majikan bukan urusan hamba (...). Namun, bisa saja kami salah, Kalian yang Mulia terlalu terburu-buru, dan tidak bisa dipahami mengapa Inggris diperbolehkan [menerima] sepertiga cengkih, pala, dan fuli, sementara mereka tidak dapat mengklaim satu bulir pasir pun di Maluku, Amboina, atau Banda.[21]
Sebagai saksi peristiwa pembunuhan Verhoeff, Coen menyimpan dendam kepada orang Banda.[21] Pada tanggal 26 Oktober 1620, Coen menulis sebuah surat kepada Heeren XVII yang berbunyi: "Untuk menangani masalah ini secara tepat, Banda perlu ditundukkan sekali lagi dan diisi dengan suku bangsa lain."[34] Selanjutnya, Heeren XVII memberikan arahan kepada Coen untuk menaklukkan Kepulauan Banda dan mengusir para pemimpin mereka dari wilayah tersebut.[35]
Penyerbuan
Armada VOC yang dipimpin oleh Coen berlayar dari Batavia pada akhir tahun 1620.[1] Armada ini pertama-tama tiba di Ambon, dan di situ armada Coen diperkuat oleh sejumlah pasukan dan kapal. Armada Coen lalu berlayar ke Pulau Banda.[36] Armada tersebut terdiri dari 19 kapal, 1.655 bala tentara Eropa, dan 286 tentara bayaran Jepang.[1] Pada 21 Februari 1621, armada Coen tiba di Benteng Nassau, dan di situ armadanya diperkuat oleh 250 prajurit Banda[37] serta 36 kapal.[1]
Setelah gagal merekrut orang Inggris dari Pulau Rhun dan Ay, Coen mulai mengirim para pengintai ke pesisir Pulau Lontor. Pengintaian itu memakan waktu dua hari, dan pada saat itu prajurit Banda menembakkan meriam ke arah beberapa kapal. Para pengintai menemukan tempat-tempat yang cocok untuk bertahan di pesisir selatan dan di wilayah perbukitan, tetapi mereka gagal menemukan tumpuan pantai. Pada 7 Maret, sebuah rombongan pengintai VOC mendarat di pulau tersebut, tetapi dipukul mundur selepas jatuhnya korban: satu orang tewas dan empat terluka.[38]
Pada 11 Maret, Coen memerintahkan serangan mati-matian. Ia membagi pasukannya menjadi beberapa kelompok yang menyerang berbagai titik di Pulau Lontor. Para penyerbu dengan cepat merebut kubu-kubu kunci, dan pada penghujung hari mereka juga berhasil menguasai dataran rendah di bagian utara dan tanjung di bagian selatan. Prajurit Lontor dan penduduk setempat melarikan diri ke perbukitan yang berada di tengah pulau, sementara pasukan VOC berupaya mengejar mereka. Pada penghujung hari tanggal 12 Maret, VOC berhasil menduduki seluruh Pulau Lontor, dengan korban enam orang tewas dan 27 orang terluka.[39]
Perdamaian sementara
Selepas keberhasilan tersebut, para orang kaya di Lontor mengajak berdamai. Mereka menawarkan hadiah kepada Coen dan menerima semua tuntutan VOC. Mereka bersedia untuk menyerahkan senjata, menghancurkan kubu mereka, dan melepaskan sandera. Mereka menerima kedaulatan Belanda dan pembangunan beberapa benteng Belanda di pulau tersebut. Mereka juga berjanji akan menyerahkan sebagian dari hasil panen mereka dan menjual sisanya secara eksklusif kepada VOC dengan harga tetap. Sebagai gantinya, Belanda akan menjamin kebebasan, otonomi, dan hak untuk tetap memeluk agama Islam.[40][1]
Dimulainya lagi pertempuran dan pembantaian
Ketika para orang kaya dan VOC tengah berdamai, sebagian besar penduduk Lontor melarikan diri ke kawasan perbukitan dan mulai melancarkan pertempuran kecil melawan Belanda. Coen membalasnya dengan menghancurkan desa-desa dan memaksa para penduduknya bekerja untuk VOC.[40]
Pada 21 April, Belanda menyiksa para orang kaya dan berhasil memperoleh "pengakuan" bahwa mereka tengah melakukan persekongkolan.[41] Coen menangkap setidaknya 789 "orang kaya" dan anggota keluarga mereka dan mendeportasi mereka ke Batavia; di situ, banyak dari mereka yang diperbudak.[2][1] Atas tuduhan melanggar perjanjian dan bersekongkol melawan Belanda, 24 orang kaya dihukum mati dan dipenggal oleh tentara bayaran Jepang pada tanggal 8 Mei.[34] Namun, tindakan-tindakan ini masih belum dapat meredam perlawanan rakyat Lontor,[34] sehingga Coen memerintahkan pasukannya menyapu pulau tersebut dan menghancurkan desa-desa agar penduduk Lontor mau menyerah.[2] Pertempuran yang sengit pun meletus dalam kurun waktu beberapa bulan. Selepas melihat kehancuran yang disebabkan oleh Belanda, banyak penduduk Lontor yang memilih mati kelaparan atau melompat dari tebing alih-alih menyerah.[1]
Selepas penaklukan
Menurut Coen, "sekitar 2.500" penduduk tewas "karena kelaparan dan kesengsaraan atau oleh pedang", "banyak wanita dan anak-anak" yang ditawan, dan tidak lebih dari 300 orang berhasil melarikan diri.[2] Sejarawan Hans Straver menyimpulkan bahwa kemungkinan penduduk Lontor saat itu berjumlah 4.500 hingga 5.000 orang; 50 hingga 100 dari mereka gugur dalam pertempuran, 1.700 diperbudak, dan 2.500 tewas akibat kelaparan dan penyakit, sementara jumlah penduduk yang tewas karena melompat dari tebing tidak diketahui. Ia juga mencatat bahwa ratusan penduduk melarikan diri ke kepulauan terdekat, seperti Kepulauan Kei dan Pulau Seram.[34]
Selepas penaklukan ini, Belanda menjajah seluruh Kepulauan Banda. Inggris sendiri sudah meninggalkan Pulau Rhun, dan hanya datang sesekali ke Pulau Nailaka. Berdasarkan Perjanjian Breda tahun 1667, Inggris secara resmi melepaskan klaim mereka atas kepulauan tersebut.[32] Akibat ulah Belanda, Kepulauan Banda mengalami depopulasi. Sejarawan Vincent C. Loth dan Charles Corn memperkirakan bahwa Kepulauan Banda secara keseluruhan kemungkinan memiliki jumlah penduduk sebesar 15.000 jiwa sebelum ditaklukkan oleh Belanda. Dari jumlah tersebut, hanya 1.000 yang selamat.[2][1] Arkeolog Peter Lape bahkan memperkirakan bahwa akibat penaklukan ini, 90 persen penduduk Kepulauan Banda tewas, diperbudak, atau dideportasi.[42]
VOC lalu mengisi kembali populasi Kepulauan Banda dengan tujuan agar kepulauan tersebut tetap produktif. Kebanyakan orang yang dimukimkan di kepulauan ini adalah budak-budak yang diimpor dari wilayah Nusantara lainnya, India, dan Tiongkok. Budak-budak ini kemudian menjadi tenaga kerja untuk para pemilik perkebunan Belanda yang dikenal dengan sebutan perkeniers.[43] Penduduk asli juga diperbudak dan diperintahkan untuk mengajarkan kepada para pendatang baru cara untuk membudidaya pala dan fuli.[44] Para budak diperlakukan dengan buruk; jumlah penduduk asli Banda turun menjadi 100 orang saja pada tahun 1681, dan 200 budak harus diimpor setiap tahun untuk memastikan agar populasi budak tetap stabil pada angka 4.000.[44] Walaupun Belanda tidak memprioritaskan upaya untuk mengkristenkan budak-budak mereka, mereka memaksa semua orang Eropa di Kepulauan Banda untuk mengikuti Gereja Reformasi Belanda (salah satu gereja Calvinis), sementara agama Katolik (yang diperkenalkan oleh Yesuit dari Portugis pada abad ke-16) dilarang dan semua orang Katolik dipaksa menjadi Calvinis. Para budak diperbolehkan memeluk agama Islam dan animisme, tetapi mereka diajak dan kadang juga dipaksa untuk bergabung dengan Gereja Reformasi Belanda.[45]
Keterangan
^Ini adalah terjemahan dari versi bahasa Inggris. Kutipan lengkapnya: "Therefore we all desire to come to an agreement with the kinge of England, because nowe the Hollanders doe practise by all meanes possible to conquer our Country and destroy our Religion by reason whereof all of us of the Islands of Banda do utterly hate the sight of theis Hollanders, sonnes of Whores, because they exceed in lying and villainy and desire to overcome all mens Country by Treachery... That if soe be the Kinge of England out of his love towards us will have a care of our Country and Religion and will help us with Artillary powder and shott and help us recover the Castle of Nera, whereby we may be able to make war with the Hollanders, by Gods helpe all the spices, that our land shall yeald, we will sell only to the King of England."[29]
Dillen, J.G. (1970), Van rijkdom en regenten: Handboek tot de economische en sociale geschiedenis van Nederland tijdens de republiek, Den Haag: Martinus Nijhoff
Lape, Peter V. (2000), "Political Dynamics and Religious Change in the Late Pre-Colonial Banda Islands, Eastern Indonesia", World Archaeology, 32 (1): 138–155
van Ittersum, Martine Julia (2016), "Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo–Dutch Imperial Competition in the East Indies, 1609–1621", History of European Ideas, 42 (4): 459–501