Pelecehan seksual atau penggangguan seksual adalah jenis pelecehan yang melibatkan penggunaan nuansa seksual yang eksplisit atau implisit, termasuk janji imbalan yang tidak diinginkan dan tidak pantas sebagai balasan atas bantuan seksual. Pelecehan seksual dapat berupa fisik dan/atau tuntutan atau permohonan untuk melakukan tindakan seksual, melontarkan pernyataan bernuansa seksual, memperlihatkan pornografi, dan perilaku fisik, verbal, atau non-verbal lain yang tidak diinginkan yang bersifat seksual.[1] Pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan mulai dari pelanggaran verbal hingga kekerasan atau penyerangan seksual.[2] Pelecehan dapat terjadi di berbagai lingkungan sosial seperti tempat kerja, rumah, sekolah, atau lembaga keagamaan. Pelaku pelecehan atau korban bisa berjenis kelamin apa pun.[3]
Pelaku dan korban
Walaupun secara umum wanita sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama.
Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar belakang, maupun status sosial.
Korban dari perilaku pelecehan sosial dianjurkan untuk mencatat setiap insiden termasuk identitas pelaku, lokasi, waktu, tempat, saksi dan perilaku yang dilakukan yang dianggap tidak menyenangkan. Serta melaporkannya ke pihak yang berwenang.
Saksi bisa jadi seseorang yang mendengar atau melihat kejadian ataupun seseorang yang diinformasikan akan kejadian saat hal tersebut terjadi. Korban juga dianjurkan untuk menunjukkan sikap ketidak-senangan akan perilaku pelecehan.
Pelecehan seksual di lingkungan kampus
Pelecehan terhadap perempuan juga bisa terjadi di kalangan intelektual, seperti mahasiswa. Pelaku harus diberi sanksi tegas agar jera dan berpikir ulang sebelum melakukan tindakan serupa. Pelecehan seksual, seperti permintaan hubungan intim dan perilaku fisik atau verbal bernuansa seksual, menjadi masalah serius yang memerlukan penanganan tegas. Di lingkungan kampus, pelecehan seksual bukanlah hal yang baru. Tindakan ini melibatkan berbagai pihak dari dunia pendidikan, seperti dosen, rekan mahasiswa, staf kampus, dan lainnya.
Faktor Penyebab Tingginya Kasus Pelecehan Seksual di Kampus
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus, dan hal ini menjadi salah satu alasan penerbitan Permendikbudristek No. 30/2021. Meski kampus sering dianggap bebas dari kriminalitas, fakta menunjukkan bahwa lingkungan perguruan tinggi juga berpotensi menghadirkan ancaman serupa (Nikmatullah, 2020 dalam Hidayat, dkk. (2023))
Salah satu penyebab utama adalah hubungan asimetris antara dosen dan mahasiswa. Posisi dosen yang berwenang memberikan nilai dan menentukan kelulusan membuat mahasiswa dalam posisi subordinat, sehingga sulit untuk menolak atau menantang tindakan yang tidak pantas dari dosen atau staf kampus yang menyalahgunakan kekuasaan mereka. Kondisi ini diperburuk oleh mahasiswa yang tidak selalu memahami tindakan mana yang tergolong pelecehan atau merasa takut untuk melaporkannya.
Selain itu, terdapat kasus penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi emosi yang sering muncul dalam bentuk "quid pro quo," yaitu ketika dosen atau pejabat kampus menawarkan keuntungan tertentu atau menjanjikan nilai yang baik sebagai imbalan untuk kepatuhan mahasiswa dalam interaksi yang tidak pantas. Situasi ini menggambarkan adanya penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan kepada pengajar dan pihak berwenang di kampus.
Kurangnya laporan atau penanganan yang efektif juga menjadi faktor yang membuat kasus pelecehan terus terjadi. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dari 2015 hingga 2020, sekitar 27% kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan tinggi. Sementara itu, survei Ditjen Kemdikbud menunjukkan bahwa 77% dosen pernah menyaksikan kekerasan seksual, namun 63% dari mereka memilih untuk tidak melaporkan kejadian tersebut.
Realitas ini mengindikasikan bahwa kampus tidak seaman yang dibayangkan banyak orang. Di satu sisi, kampus seharusnya menjadi tempat belajar yang aman; namun di sisi lain, mahasiswa seringkali rentan terhadap pelecehan, baik dari dosen maupun sesama mahasiswa, yang memanfaatkan celah yang ada di lingkungan akademik.
Dampak Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus
Pelecehan seksual memiliki dampak psikologis yang serius pada korban, menyebabkan perubahan sikap dan karakter yang signifikan sebagai bentuk respons tubuh terhadap trauma (Myrtati, 2012) dalam Hidayat, dkk. (2023):
1. Perubahan Sikap
Setelah mengalami pelecehan seksual, korban yang awalnya terlihat bahagia dan bersemangat mungkin berubah menjadi pendiam, sering menghindar dari interaksi sosial, atau tampak stres dan bahkan mengalami depresi. Gejala-gejala ini mirip dengan trauma yang juga dialami korban bullying. Misalnya, korban yang biasanya berbicara dan bercerita di rumah, bisa tiba-tiba menjadi tertutup dan menjaga jarak dari orang di sekitarnya. Kondisi ini sering kali menunjukkan bahwa korban sedang mengalami tekanan batin yang serius dan membutuhkan perhatian.
2. Perubahan Karakter
Selain sikap, karakter korban juga cenderung berubah drastis. Rasa takut yang timbul membuat mereka menarik diri dari lingkungan sosial, sering kali disertai rasa marah pada diri sendiri. Stigma sosial yang masih menyalahkan korban seringkali membuat korban merasa bersalah, sehingga menekan karakter aslinya dan “mengunci” dirinya dari dunia luar. Jika tidak mendapatkan dukungan dan penanganan yang tepat, korban berisiko melampiaskan traumanya melalui perilaku agresif atau menjadi pelaku bullying di kemudian hari.
Faiqoh (2013) Hidayat, dkk (2023) menambahkan bahwa dampak psikologis lainnya meliputi penurunan kepercayaan diri, kegelisahan, dan ketakutan yang tidak jelas penyebabnya, yang pada akhirnya juga memengaruhi kesehatan fisik. Korban mungkin mengalami sakit kepala, masalah pencernaan, perubahan nafsu makan, serta fluktuasi berat badan. Kondisi ini berdampak negatif pada aktivitas sehari-hari, menyebabkan korban kehilangan semangat dalam bekerja atau belajar, dan meninggalkan bekas traumatis yang mendalam.
Upaya Pencegahan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus
Tingkat pelecehan seksual di kampus cukup tinggi, sehingga diperlukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan untuk melindungi mahasiswa dari tindak pelecehan ini (Fadila, 2021) dalam Hidayat, dkk (2023):
1. Pencegahan
Berbagai upaya pencegahan kekerasan seksual dapat diterapkan di kampus, seperti menyebarkan informasi anti-kekerasan seksual melalui berbagai platform, mengadakan seminar, ceramah, dan diskusi, serta pelatihan yang mendalami kajian tentang kekerasan seksual. Integrasi nilai-nilai hak asasi manusia dan kesetaraan gender dalam kurikulum juga dapat membantu, bersama dengan penyediaan fasilitas kampus yang ramah untuk semua gender. Secara khusus, upaya lain meliputi sikap menghormati orang lain, komunikasi yang baik dengan pasangan, menghindari pergaulan yang merendahkan perempuan, menanggapi ujaran fisik atau lelucon yang tidak pantas secara tegas, mendukung korban kekerasan, dan kritis terhadap pesan-pesan media terkait hubungan, gender, dan kekerasan.
2. Penanganan Laporan
Korban kekerasan seksual harus segera mendapat bantuan yang tepat. Kampus perlu memiliki tim khusus yang mencakup psikologi, bimbingan, pembinaan, dan pengaturan penginapan untuk menangani kasus ini secara profesional, dengan prinsip-prinsip yang mencakup: menyesuaikan bantuan berdasarkan jenis kekerasan yang dialami, melibatkan korban dengan menghargai pilihan mereka, menjaga kerahasiaan, tidak merendahkan korban, menerapkan prinsip kesetaraan gender, memberikan dukungan emosional, dan menunjukkan empati.
Penanganan kekerasan seksual harus mengutamakan perlindungan dan penghormatan hak korban, serta menghukum pelaku secara tegas agar tidak mengulangi perbuatannya. Pendekatan yang tepat akan menciptakan lingkungan kampus yang aman, netral gender, dan bebas dari kekerasan seksual.
Pelecehan seksual di kantor
Pelecehan seksual di kantor mungkin terjadi saat:
Keputusan menyangkut kepegawaian individu tertentu dibuat karena individu tersebut melakukan atau menolak pendekatan-pendekatan seksual dalam pekerjaannya. Keputusan-keputusan kepegawaian misalnya terkait dengan promosi, penghargaan, pelatihan, dan keuntungan-keuntungan lainnya.
Penolakan akan pendekatan seksual yang secara tidak masuk akal berpengaruh pada penilaian pekerjaan individu atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, kasar, atau penuh tekanan lainnya.
Macam-macam perilaku yang digolongkan dalam pelecehan seksual di kantor
Lelucon seks, menggoda secara terus menerus akan hal-hal yang berkaitan dengan seks baik secara langsung maupun melalui media seperti surat, SMS, maupun surat-e.
Penyiksaan secara verbal akan hal-hal yang terkait dengan seks.
Secara berulang berdiri dengan dekat sekali atau hingga bersentuhan badan dan badan antar orang.
Secara berulang meminta seseorang untuk bersosialisasi (tinggal, ikut pergi) di luar jam kantor walaupun orang yang diminta telah mengatakan tidak atau mengindikasikan ketidak tertarikannya.
Memberikan hadiah atau meninggalkan barang-barang yang dapat merujuk pada seks.
Secara berulang menunjukkan perilaku yang mengarah pada hasrat seksual.
Membuat atau mengirimkan gambar-gambar, kartun, atau material lainnya yang terkait dengan seks dan dirasa melanggar etika/ batas.
Di luar jam kerja memaksakan ajakan-ajakan yang terkait dengan seks yang berpengaruh pada lingkup kerja.
Pencegahan
- Sebagai korban ada beberapa pencegahan seperti segera menjauh dari pelaku, baik di lingkungan, maupun sosial media.
- Tidak menyebutkan, memberitahukan, dan memberi isyarat yang dapat menimbulkan hasrat seksual pelaku semakin meningkat contohnya; segera melapor pada pihak berwenang dengan menyertakan bukti, mengingat proses pelaporan membutuhkan waktu hal terdekat atau tercepat yang dilakukan adalah mencari pertolongan orang terdekat bila perlu tegur dengan lantang.
^"Sexual Harassment". U.S. Equal Employment Opportunity Commission. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-13. Diakses tanggal 2010-07-16.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Sorenson, Susan B. (1997). Violence and Sexual Abuse at Home: Current Issues in Spousal Battering and Child Maltreatment, New York: Haworth Press. ISBN 1-56024-681-2.
Baladerian, N. (1991). "Sexual abuse of people with developmental disabilities". Sexuality and Disability. 9 (4): 323–335. doi:10.1007/BF01102020.
Sobsey, D.(1994). Violence and Abuse in the Lives of People With Disabilities: The End of Silent Acceptance? Baltimore: Paul H. Brookes Publishing Co. ISBN 978-1-55766-148-7
Sobsey D. and Varnhagen, C.(1989). "Sexual abuse and exploitation of people with disabilities: Toward Prevention and Treatment". In M. Csapo and L. Gougen (Eds) Special Education Across Canada (pp. 199–218). Vancouver Centre for Human Developmental Research
Valenti-Hien, D. and Schwartz, L.(1995). "The sexual abuse interview for those with developmental disabilities". James Stanfield Company, Santa Barbara: California.
White-Davis, Donna Lovers in the Time of Plague copyright 2009