Marsekal TNI (Purn.) Omar Dhani (23 Januari 1924 – 24 Juli 2009) adalah Kepala Staf TNI Angkatan Udara ke-2 yang menjabat pada periode 1962 - 1965. Ia merupakan putra dari KRT Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun, Klaten. Tahun 1956, ia mendapat tugas belajar pada Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris.
Masa remaja
Omar Dhani yang dibesarkan di Klaten, Surakarta dan Yogyakarta, di lingkungan keluarga ningrat terpelajar yang menjabat di birokrasi pemerintahan. Lingkungan itu pula yang mendidiknya agar merdeka serta menjunjung martabat dan penuh rasa tanggung jawab. Omar Dhani mengawali pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Klaten, Jawa Tengah tahun 1937. Kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Kristen Solo tahun 1940. Pada tahun 1942, Omar masuk Algemeene Middlebare School (AMS) B di Yogyakarta.[1][2]
Karier
Masa Revolusi Nasional
Pada bulan Juli 1946, ia menjadi penyiar siaran bahasa Inggris di RRI Tawangmangu. RRI Tawangmangu merupakan pindahan dari RRI Yogyakarta yang pernah dibom tentara Sekutu. Sebagai penyiar, ia dan teman-temannya tidak menerima gaji. Hanya sempat bekerja 3 bulan di sini. Setelah itu ia berangkat ke Jakarta, menjadi informan bagi MBT (Markas Besar Tentara) yang berkedudukan di Yogyakarta. Itupun juga tidak digaji. Bekerja tanpa gaji dan tanpa proses rekrutmen yang berbelit-belit demikian antara lain ciri khas masa Revolusi 1945-1950. Ia memperoleh nafkah dari melakukan berbagai pekerjaan seperti penyiar RRI dan pegawai bagian penerangan luar negeri di Kementerian Penerangan, berjualan obat (aspro, perban, kapas, obat merah, norit) secara door to door.
Juli 1947, kantor pemerintahan RI di Jakarta diserbu dan ditutup Belanda. Demikian pula dengan Kementerian Penerangan. Kemudian, pada bulan Oktober 1948, Omar Dhani masuk bekerja di Javasche Bank. Ia kemudian memutuskan untuk keluar dari kantor itu karena ada tantangan yang lebih besar di luar. Tampaknya Tuhan telah memberi tempat kepada Omar Dhani bukan "dalam urut-urutan seperti bebek di sawah", tetapi "sebagai elang perkasa yang terbang bebas di angkasa".
Menjadi Pasukan TNI AU
Pada bulan Juli 1950, AU membuka pendaftaran bagi pemuda Indonesia untuk dididik sebagai penerbang/navigator. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Omar Dhani yang waktu itu berusia 26 tahun. Pada bulan November 1950, 60 penerbang kadet AURI termasuk Omar Dhani dikirim untuk belajar di Academy of Aeronautics, TALOA (Trans Ocean Airline Oakland Airport) di California, AS. Bulan November 1951, Omar Dhani berhasil menyelesaikan pendidikan di sana dan kemudian kembali ke Tanah Air dan dilantik sebagai Letnan Muda Udara I (sekarang PELTU) pada akhir Juli1952 dan bertugas sebagai co-pilot Dakota di Pangkalan Udara Cililitan (sekarang Lanud Halim Perdanakusuma). Ia ikut serta dalam beberapa penugasan operasi militer, seperti pada PRRI di Sumatra. Karier melesat pesat, dalam waktu hanya 9,5 tahun ia mencapai posisi puncak di Angkatan Udara.
Digambarkan bagaimana kekuatan AURI sebelum tahun 1965 yang merupakan salah satu angkatan udara terkuat di kawasan Asia Tenggara, bahkan di Asia. Diceritakan juga tentang kedekatan AURI dengan Presiden Soekarno. Di samping berbagai masalah yang mengganjal antar-angkatan, terdapat pula kerenggangan hubungan antara pimpinan angkatan ini dengan pribadi tertentu di Angkatan Darat seperti Mayjen Soeharto.
Angkatan Udara yang dipimpin oleh Laksamana Omar Dhani sangat loyal terhadap Presiden Soekarno. Mereka mendukung gerakan "ganyang Malaysia" yang dilancarkan pemerintah Soekarno. Tetapi pihak Angkatan Darat dalam hal ini Soeharto tidak mendukung kebijakan itu dengan sepenuh hati.
Untuk menghadapi Malaysia pada 3 Mei 1964, dibentuk Komando Siaga (yang kemudian berubah nama menjadi Komando Mandala Siaga/ Kolaga) yang dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatan Udara Lakdya Omar Dhani. Wakilnya adalah Brigjen TNI Achmad Wiranatakoesoemah yang juga merangkap sebagai Kepala Staf Kostrad. Kolaga membagi pasukannya menjadi 3 komando, salah satunya berpusat di Kalimantan Barat, dipimpin oleh Brigjen Soepardjo.
Achmad kemudian digantikan oleh Mayjen Soeharto yang merangkap sebagai Panglima Kostrad. Terjadi friksi antara Omar Dhani dengan Soeharto, bahkan Soeharto mengatakan kepada Presiden Soekarno bahwa Omar Dhani tidak cocok sebagai Panglima Kolaga.
Keterlibatan dengan 30 September
Nama Omar Dhani mencuat dalam kasus pemberontakan G30S. Berawal dari dibeberkannya peristiwa yang terjadi di Halim menjelang dan pada 1 Oktober 1965. Kisah yang terjadi menjelang dan setelah kedatangan Presiden Soekarno ke Halim Perdanakusuma. Perintah harian Menteri Panglima Angkatan Udara 1 Oktober itu ditulis dengan spontan oleh Omar Dhani setelah mendengar siaran berita RRI pukul 07.00 tentang G30S. Ia langsung meminta kertas dan pulpen untuk menyusun konsep. Setelah dikoordinasikan dengan Panglima Koops Komodor Udara Leo Wattimena, pernyataan itu langsung dikirim ke Departemen Angkatan Udara untuk dikonsultasikan kepada DMPO Komodor Udara I Ignatius Dewanto. Sekitar pukul 08.15 Omar Dhani mendapat telepon dari Letkol Suparto bahwa Presiden Soekarno dalam perjalanan ke PAU Halim. Kembali Omar Dhani teringat konsep yang baru dibuatnya. Ia berusaha menarik kembali konsep surat itu supaya bisa disesuaikan dengan pendapat Bung Karno mengenai G30S. Namun ternyata surat itu telah terlanjur dikirim ke Depau. Perintah harian itu kemudian menjadi persoalan besar di mata kelompok Soeharto. Perintah harian yang pernah dikeluarkan Omar Dhani 1 Oktober 1965 itu dinilai oleh Soekarno sendiri "te voor barig" (terlalu tergesa-gesa). Namun perintah itu dianggap oleh kelompok Soeharto sebagai bukti keterlibatan Omar Dhani dalam mendukung G30S. Bila Presiden Soekarno tidak bertindak tegas terhadap Menteri Panglima Angkatan Udara mungkin ia sendiri akan terganjal kedudukannya. Omar Dhani mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Soekarno, tetapi ditolak. Sebagai jalan keluarnya, tanggal 14 Oktober 1965 Bung Karno menugaskan Menteri Panglima Angkatan Udara melakukan perlawatan ke negara-negara Eropa dan Asia dalam rangka menjajaki kerja sama luar negeri dengan AURI. Omar Dhani berangkat dengan anak-anak dan istrinya yang sedang hamil 7,5 bulan (mengandung putri ke-5) menuju Phnom Penh. Selama 6 bulan kurang 3 hari, Omar Dhani di luar negeri. Ia sebetulnya dapat saja terus berada di mancanegara dengan memanfaatkan keahlian sebagai pilot misalnya. Namun dari Phnom Penh, ia rela pulang ke Jakarta demi "memenuhi tanggung jawab", demikian pengakuannya.
Masa Penahanan
Dengan pesawat Hercules C-130 milik AURI, tanggal 20 April1966 Omar Dhani sekeluarga kembali ke Indonesia, mendarat di Semplak, Bogor, dan langsung ditempatkan di bungalow AURI di Cibogo dengan status "tidak boleh keluar dari sana". Dalam situasi seperti itu, bila malam tiba, Omar Dhani berbincang-bincang dengan ayahnya yang sebelumnya sudah di-"konsinyir" di sana, tentang hidup, kematian, tentang manusia, tentang Tuhan dan alam semesta. Suasana sekitar yang sejuk dan senyap itu membawa mereka larut berdiskusi kadang-kadang sampai dini hari.
Tanggal 23 Oktober 1966 Omar Dhani dipindahkan ke rumah tahanan Nirbaya yang letaknya sekitar 800 meter di sebelah selatan Asrama Haji Pondok Gede. Yang memberatkan Omar Dhani adalah pembelaannya yang berbunyi:
"segala perbuatan dan tindakan anggota-anggota AURI yang saya pimpin selama 1.409 hari, yaitu dari tanggal 18 Januari 1962 sampai tanggal 27 November 1965 adalah menjadi tanggung jawab saya penuh"
Oleh sebab itu, segala tindakan dan perbuatan anggota-anggota AURI, tamtama, bintara atau perwira yang langsung atau tidak langsung tersangkut dalam peristiwa G30S adalah menjadi tanggung jawab saya, selaku Menteri Panglima Angkatan Udara pada waktu itu.
Ia diadili dalam Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dan divonis hukuman mati pada 25 Desember 1966 yang kebetulan merupakan Hari Raya Natal dan juga jatuh pada bulan suci Ramadhan. Tahun 1980 hukumannya diubah menjadi seumur hidup. Setelah itu, bersama dengan Soebandrio, ia mendapat grasi yang dikeluarkan pada 2 Juni 1995. Akhirnya, suami dari Sri Wuryanti ini dapat menghirup udara bebas pada 15 Agustus 1995 setelah meringkuk dalam penjara selama 29 tahun. Ia dituduh terlibat Peristiwa G-30-S karena Landasan Udara Halim Perdanakusumah yang berada di bawah wewenangnya dijadikan tempat pelatihan Pemuda Rakjat onderbouw PKI[3]. Dia dituduh membiarkan dan memberikan tempat berlatih bagi Pemuda Rakjat dan yang dituduh PKI di kawasan Halim yang merupakan daerah kekuasaannya pada masa itu.
Wafat
Omar Dhani menghembuskan napas terakhir pada pukul 13.55 WIB pada hari Jumat tanggal 24 Juli 2009 (16 hari setelah Pemilihan umum Presiden Indonesia 2009), setelah sejak 2 hari sebelumnya dirawat di RSPAU karena lanjut usia. Omar Dhani diketahui sakit radang paru-paru yang berakibat sesak napas dan terserang penyakit tua lainnya.[4] Jenazahnya dimakamkan di TPU Jeruk Purut.
Tanda Kehormatan
Atas jasa dan darma bakti nya kepada negara, ia dianugerahi berbagai tanda kehormatan, diantaranya:[5]
^Diswatpersau, Subdisjarah (2004). Sejarah TNI Angkatan Udara: 1960-1969. Indonesia: Indonesia. Angkatan Udara. Dinas Penerangan, Indonesia. Angkatan Udara. Sub Dinas Sejarah. hlm. 188.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Adam, Asvi Warman. 2015. Melawan Lupa, Menepis Stigma Setelah Prahara 1965. Jakarta; PT Kompas Gramedia