Drs.H.Abdul Muin Pusadan (12 Agustus 1945 – 20 Mei 2007), adalah seorang politikus asal Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Sulawesi Tengah dan juga Bupati Poso ke-11 sejak tahun 1999 hingga 2004. Ia adalah Bupati Poso selama Kerusuhan Poso yang terjadi pada tahun 1999 hingga 2002.[1]
Kehidupan pribadi
Pusadan lahir di Bungku, Morowali, Sulawesi Tengah pada 12 Agustus 1945.[2] Dia memiliki seorang istri bernama Ramlah Rauf dan dua orang anak. Putra tertuanya, Muhammad Reza Pusadan, adalah pemilik perusahaan kontraktor CV. Sindang Laya Pratama.
Pada tahun 1999, situasi politik di Poso masih belum stabil. Dalam undang-undang baru tentang desentralisasi, posisi bupati harus diisi bukan melalui penunjukkan tetapi melalui pemilihan di DPRD. Penghapusan beberapa calon, seperti Yahya Patiro (Protestan) dan Damsik Ladjalani dari PPP, menyisakan tiga kandidat: Muin Pusadan (Islam); Ismail Kasim (Islam); dan seorang politikus bernama Eddy Bungkundapu (Protestan).[4] Pemilihan Bupati Poso yang definitif baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1999. Dalam pemilihan tersebut, Pusadan terpilih dengan suara terbanyak.[4]
Pusadan dikabarkan menjadi pilihan para pimpinan Golkar di tingkat provinsi. Seperti Pusadan, sekretaris kabupaten (Sekwilda) dan juru bicara DPRD juga seorang Muslim Golkar berasal dari wilayah Bungku di Morowali. Penolakan mungkin telah lebih meningkat pada tahun 1999 karena pembentukan Kabupaten Morowali yang terpisah, memberikan warga Muslim Bungku dua basis kekuasaan.[a]
Selama kekuasaannya, Pusadan juga tercatat mengakomodir kepentingan agama lain. Sejumlah birokrat beragama Kristen, atau yang berlatar belakang suku asli Poso yang beragama Kristen, duduk di pemerintahannya. Asisten III Setkab bidang Administrasi & Keuangan, Rampu Kandolia, adalah orang Pamona. Asisten I Setkab bidang Pemerintahan, Harry S. Kabi, berasal dari Lembah Bada di Lore. Selain itu ada Daniel Tokare, Kepala Bagian Keuangan, yang berasal dari Lembah Bada. Sedangkan Kepala Dinas Prasarana Wilayah, Yohanes Tumiwa, adalah orang Minahasa.[5]
Pada tanggal 17 November 2004, massa yang tergabung dalam Aksi Solidaritas Bersama untuk Poso melakukan unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia. Mereka meminta pemerintah segera mengungkap kasus peledakan bom di dekat pasar tradisional di wilayah itu. Pengunjuk rasa juga menuntut mundur Muin Pusadan sebagai Bupati Poso serta mendesak PresidenSusilo Bambang Yudhoyono dan Wakil PresidenJusuf Kalla untuk mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan masalah Poso.[6]
Kontroversi
Tuduhan korupsi
Muin Pusadan beberapa kali diduga melakukan usaha memperkaya diri, keluarga dan kroninya, dan diduga melakukannya melalui dana bantuan untuk pengungsi dan juga dana pembangunan di Kabupaten Poso. Tapi, hal ini belum terbukti.[7]
Isu korupsi Muin Pusadan diduga dilakukan dengan sejumlah anggota DPRD Kabupaten Poso (yang berprofesi sebagai kontraktor), jaringan politisi se-daerah asal (Bungku), jaringan dari alumni HMI (KAHMI) yang disinyalir telah membantu mengorbitkannya ke kursi Bupati dalam pemilihan bupati, jaringan rekan pejabat Golkar di tingkat provinsi, dan jaringan lainnya. Aparat penegak hukum juga diduga terlibat dalam jaringan ini.[8]
Isu lain yang muncul adalah dinasti politik. Kerabat dan kroni Pusadan dari Bungku juga ditempatkan dalam birokrasi Pemerintahan Kabupaten Poso. Amirullah Sia, sepupu Pusadan, diangkat menjadi Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Asni Radi, keponakan Pusadan, diangkat menjadi Bendahara Kesbang dan Linmas. Menurut para pengamat seperti Harli dan George Aditjondro, dengan penempatan yang strategis ini, Pusadan dapat mengatur irama pengucuran proyek dari Badan Kesbang dan Linmas.[5][9]
Catatan kaki
^Disebut dua basis, karena Pusadan (Orang Bungku) menguasai pemerintahan di Poso sebagai Bupati. Dengan demikian, Bungku memiliki dua kepentingan, yaitu di Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali.