Drs. Bartolomeus Lallung Sallata (lahir di Batualu, Sangalla Selatan, Tana Toraja - meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan; 2 Oktober 2016), adalah Sekretaris Provinsi Sulawesi Tengah yang menjabat pada tahun 1973 hingga 1980 dan juga Bupati Poso ke-6 yang menjabat pada tahun 1962 hingga 1968. Ia adalah satu-satunya orang yang pernah merangkap tiga jabatan di Sulawesi Tengah dan orang Toraja pertama yang pernah menjadi bupati di luar Tana Toraja.
Kehidupan pribadi
Sallata lahir di Batualu, Sangalla Selatan, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.[1] Sallata meninggal dunia di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2 Oktober 2016.[2]
Riwayat Hidup
Pendidikan dan jabatan
Sallata pernah menjadi Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah pada tahun 1973 hingga 1980, sekaligus merangkap jabatan sebagai Inspektur Wilayah dan Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah. Dia juga pernah menjadi Inspektur Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1983 hingga 1987 dan Inspektur Wilayah Provinsi Papua pada tahun 1987 hingga 1990. Selain di bidang politik, dia juga pernah menjadi dosen di Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta Selatan pada tahun 1980 hingga 1985.
Kontroversi
Rencana kudeta Bupati Poso
Pada bulan Maret hingga April 1966, Kota Poso sedang dilanda kerusuhan skala kecil di dalam kota, dengan meletusnya peristiwa pertama yang mengarah pada radikalisasi kelompok Muslim kota Poso, yang juga merupakan awal aliansi militer dengan kelompok Islam radikal di kota Poso.[3] Komandan Kodim 1307 Poso waktu itu, Letkol Sutikno Slamet, berusaha menggulingkan Sallata. Alasannya, Sallata berasal dari PNI dan merupakan unsur Orde Lama, bukan orang asli Poso dan beragama Kristen. Untuk itu, Slamet berkampanye melalui forum Panca Tunggal yang beranggotakan Dandim, Kapolres, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kejaksaan Negeri. Bupati sendiri mendapat dukungan dari Kapolres Poso, AKBP Raden Bey.[4]
Di luar forum Panca Tunggal, kampanye penggulingan Bupati Sallata mendapat dukungan dari Yahya Mangun, tokoh buruh PSII, dan seorang tokoh Muslim, Ali Adam, Direktur SGA Negeri Poso.[5] Tetapi usaha penggulingan sang bupati sangat sulit secara legal, sebab DPRD-GR Kabupaten Poso waktu itu didominasi oleh PNI, dan diketuai oleh seorang politisi asal Pamona yang beragama Kristen, J. Santo. Karena sudah tidak sabar, Slamet kemudian mengerahkan pasukannya untuk mengepung kantor DPRD-GR Poso, untuk memaksa anggota DPRD mencabut dukungan mereka kepada Sallata. Sebelumnya, kantor dan rumah Bupati Sallata sudah dikepung juga oleh personil militer Kodim Poso.[1]
Usaha kudeta itu gagal, karena anggota BPH Bidang Ekonomi yang juga seorang kader PNI, Usman Sondeng, berhasil lolos dari kepungan militer, dan melaporkan tindakan Dandim ke atasannya di Palu.[6] Dalam waktu singkat, Sutikno Slamet serta Raden Bey dicopot dari posisi mereka masing-masing sebagai Dandim dan Kapolres, dan diperiksa oleh atasan mereka masing-masing. Sementara itu, seluruh anggota Panca Tunggal diganti, kecuali Bupati Sallata, yang diberi kesempatan menyelesaikan masa jabatannya sampai tahun 1968 tanpa halangan.[1]
Referensi