Karena masa jabatan Bupati PosoArief Patanga akan segera berakhir, yang berarti pemilihan Bupati baru akan segera digelar, membuat sejumlah partai politik mulai menentukan calon yang akan mereka usung. Sebelum terjadi kerusuhan pada bulan Desember 1998, proses penjaringan bakal calon Bupati Poso sudah dimulai.[2] Dalam selebaran yang dibuat oleh Agfar Patanga, Yahya Patiro diisukan sebagai salah satu penggerak kerusuhan tahun 1998. Peristiwa ini membuat namanya selalu muncul di berbagai baliho dan spanduk di seluruh kota setelah kerusuhan, yang sebagian besar menuduhnya sebagai salah satu provokator. Hal ini membuatnya memilih untuk tetap tinggal di Palu.[3]
Hingga bulan Maret 1999, sejumlah nama yang masuk dalam nominasi adalah Akram Kamarudin, Abdul Malik Syahadat, Abdul Muin Pusadan, Damsik Ladjalani dan Ismail Kasim. Sebelum tahapan nominasi diselesaikan, masih ada waktu bagi Patiro untuk melakukan pemulihan politik. Untuk mengamankan nominasinya sebagai calon bupati, dia jelas harus kembali ke Poso dan mencoba untuk membersihkan namanya, dan ini dilakukannya pada akhir bulan Maret 1999.
Patiro menginap di hotel milik pemerintah kabupaten, Hotel Wisata, di tepi pantai yang terletak di kelurahan yang dihuni mayoritas penduduk Muslim, Lawanga. Patiro menggunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan sekelompok aktivis pemuda Muslim lokal tak lama setelah kedatangannya.[4] Namun, setelah mengetahui bahwa Patiro berada di Poso, kelompok Muslim lainnya berkumpul di depan Hotel Wisata di malam yang sama dan mulai melemparkan batu ke arah hotel.[5] Patiro meloloskan diri dengan melompati pagar belakang sebelum kerumunan pemuda Muslim bisa memasuki hotel, yang kemudian dijarah. Dengan bantuan penduduk di sekitarnya, dia kemudian dibawa ke pangkalan militer lokal terdekat Kodim, dan setelah itu dia diam-diam kembali ke Palu dengan pengawalan polisi. Dia kemudian dipindahkan ke kepegawaian provinsi di Palu sebagai ajudan gubernur.