Mohamad Hasan (polisi)
Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Mohamad Hasan (20 Maret 1920 – 23 Februari 2005) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tahun 1971–1974. M. Hasan pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia pada tahun 1974-1978, lalu menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1978-1983. Riwayat HidupMohamad Hasan bin H. Ahmad dilahirkan di Muaradua pada 20 Maret 1920. Ayahnya Haji Ahmad bin Hasan dan ibunya Hajah Mariyatul Koptiah binti Pangeran Abdul Holik, mempunyai sembilan orang anak. Tiga di antaranya laki-laki: Mohamad Hasan, Abdul Chalik, dan Abdulah Basri. Adiknya, Abdul Chalik bekerja di Departemen Dalam Negeri dengan jabatan terakhir sebagai Gubernur Bengkulu pada tahun 1974-1979. Ayah Mohamad Hasan, Haji Ahmad bin Hasan, adalah seorang pegawai pemerintah selama tiga zaman (zaman Belanda, Jepang, dan setelah kemerdekaan). Jabatan terakhir sang ayah adalah demang (wedana) di daerah Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Walaupun sebagai pejabat pemerintah, tetapi kehidupan keluarga Haji Ahmad sama seperti keluarga kebanyakan pada saat itu, sebagai keluarga yang sangat sederhana. Kejujuran dan keterbukaan selalu tertanam dalam kehidupan mereka sehingga dapat dikatakan bahwa penanaman nilai-nilai luhur dalam keluarga, khususnya dalam diri Mohamad Hasan tidak terlepas dari sifat serta didikan kedua orang tuanya, khususnya dari ayahnya. Pendidikan dasar yang ditempuh pertama kalinya, yaitu Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang terletak di Muara Enim yang jauh dari kampung halamannya sehingga Mohamad Hasan sudah meninggalkan rumah sejak usia 7 tahun untuk bersekolah ditempat itu. Kemudian setelah lulus dari HIS, Mohamad Hasan meneruskan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Palembang sebelum melanjutkan pendidikan di Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA) di Magelang. Awal Karier di Pemerintahan dan KepolisianMohamad Hasan mengawali karier di lingkungan kepolisian tanpa harus melalui pendidikan formal di Akademi Kepolisian (Akpol). Ketika ia menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas (MOSVIA) pada tahun 1941 Indonesia masih dalam masa penjajahan pemerintahan Hindia-Belanda. Pada saat itu belum ada Akademi Kepolisian. Di masa itu banyak orang Indonesia pribumi yang direkrut menjadi perwira polisi. Jadi, pada saat itu memang ada kemudahan bagi rakyat Indonesia yang ingin mengabdikan dirinya lewat jalur kepolisian. Ia mengawali kariernya di lingkungan pemerintahan sebagai pegawai pemerintah daerah (pemda) pada tahun 1941 dimana pada masa itu memang kepolisian merupakan bagian dari pemda dan belum merupakan suatu korps atau instansi yang berdiri sendiri. Saat itu status serta kedudukan kepolisian kira-kira hampir sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang kita kenal sekarang ini. KepolisianMohamad Hasan mulai memasuki lingkungan kepolisian pada tahun 1942 setelah pemerintahan Hindia-Belanda menyerah kepada tentara Jepang. Pada saat itu, pemerintahan pendudukan Jepang di wilayah Indonesia banyak merekrut orang-orang pribumi yang cukup berpendidikan untuk menjadi pejabat dalam struktur pemerintahan daerah. Dari berlatar belakang pendidikan yang cukup dan memang mempunyai kecakapan dalam bekerja, Mohamad Hasan mampu berkarier di lingkungan pemerintahan. sebagai pamong praja, Mohamad Hasan pernah menjabat sebagai Candidaat Asisten Demang di Kantor Residen Palembang, kemudian Asisten Wedana di Lematang Ulu dan Acting Bupati Lubuk Linggau-Rawas pada tahun 1949. Pada saat itu, jabatan mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi digabung dengan aparat kepolisian yang ada. Mohamad Hasan pada saat itu mendapat pangkat setingkat Inspektur Polisi. Sejak itulah Mohamad Hasan mengabdikan dirinya di lingkungan kepolisian. Kemudian setelah menjabat sebagai Asisten Wedana di Lematang Ulu, Mohamad Hasan diserahi tugas sebagai Kepala Polisi di Pagar Alam. Jabatan ini dapat dikatakan sebagai awal karier secara formal Mohamad Hasan di kepolisian. Sebagai Asisten II Kepala Kepolisian Negara dan Deputi Kepala Kepolisian NegaraKarier Mohamad Hasan di lingkungan Mabes Polri makin cemerlang dan menanjak dengan cepat. Setelah menyelesaikan tugas sebagai staf pengajar di PTIK, Mohamad Hasan langsung diserahi tugas yang lebih berat tanggung jawabnya yaitu menjabat sebagai Asisten II Kepala Kepolisian Negara. Mohamad Hasan merupakan salah satu perwira tinggi kepolisian yang langsung memperoleh jabatan penting dan cukup terhormat di lingkungan Mabes Polri, tanpa harus melalui jenjang jabatan di daerah. Ia dipercaya untuk menjabat di lingkungan Mabes Polri (ketika itu masih disebut Kepolisian Negara) sebagai Asisten II Kepala Kepolisian Negara ketika masih berpangkat Komisaris Besar Polisi. Pada masa itu Kepala Kepolisian Negara (KKN) dijabat oleh Komsaris Jenderal Polisi Raden Soekarno Djojonegoro. Sejak itulah karier serta kepangkatan Mohamad Hasan makin menanjak, seiring dengan kenaikan pangkat ke jenjang Perwira Tinggi (Pati), yaitu menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi pada 21 Februari 1963. Selanjutnya, lima bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Juli 1963, Mohamad Hasan dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Deputi Kepala Kepolisian Negara/Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Deputi KKN/Menpangak). Berpindah ke Mabes ABRI dan Menjadi Irjen DephankamSetelah menjabat sebagai Asisten II Kepala Kepolisian Negara pada tahun 1962 dan Deputi Kepala Kepolisian Negara/Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Deputi KKN/Menpangak) pada tahun 1963, Mohamad Hasan ditugaskan di lingkungan Mabes ABRI diangkat menjadi Deputi IV Urusan Umum Kepala Staf ABRI pada tahun 1964. Kemudian, karena adanya reorganisasi dalam tubuh ABRI, jabatan tersebut diganti nama menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB) untuk Pembinaan Khusus Pertahanan Keamanan pada tahun 1965. Tidak lama kemudian, Mohamad Hasan dimutasikan lagi ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu sebagai Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan (Irjen Dephankam) pada tahun 1967. Menjadi KapolriPresiden Soeharto dalam surat keputusannya telah menetapkan Komisaris Jenderal polisi Drs. Mohamad Hasan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang baru menggantikan Jenderal polisi Drs. Hoegeng Imam Santoso. Jenderal Polisi Hoegeng telah menjabat sebagai Kapolri dari 15 Mei 1968 sampai dengan September 1971, suatu periode selama tiga tahun lebih yang dimana masa tugas Jenderal Polisi Hoegeng sebenarnya sudah berakhir pada tanggal 15 Mei 1971 namun pergantiannya baru dapat dilakukan akhir bulan September atau permulaan bulan Oktober 1971. pada saat melantik Kapolri Komjen polisi Drs. Mohamad Hasan, Presiden Soeharto yang ketika itu juga selaku Menhankam/Pangab, menyatakan "Kita tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan masih adanya pelanggaran-pelanggaran di bidang hukum dan ketertiban". Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud oleh Presiden/Menhankam tersebut, misalnya seperti penyelundupan, penyelewengan, pelanggaran tertib lalu lintas, masih terdapatnya pos-pos pungutan liar, kenakalan remaja dan anak-anak (adult and juvenile delinguency), serta masuknya ganja dan narkotika. Kalangan pers menanggapi bahwa sikap terus terang tersebut sangat melegakan. sebab, dengan melihat dan mengakui masih adanya kekurangan tentu akan ada usaha dan upaya untuk mengatasinya.
Untuk mengatasi hal tersebut, terutama guna mencapai kualitas yang tinggi, kiranya tidak ada alternatif lain, kecuali Polri harus bekeria lebih keras, teratur, dan efisien. Kapolri Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan juga menekankan bahwa sudah saatnya Polri untuk bekerja lebih keras lagi guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap Polri, peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mencegah dirinya, lingkungannya dan masyarakat yang luas agar tidak menjadi korban atau pelaku dari gangguan, ancaman kejahatan, dan pelanggaran. Kegiatan tersebut memerlukan sistem atau metode yang cocok yang senantiasa dikembangkan serta diteliti. Dalam hal ini, Polri telah merintis beberapa sistem yang masih perlu ditingkatkan, baik sistem personel, materiil, maupun anggaran. Kapolri Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan selalu mengingatkan kepada jajarannya bahwa adanya sistem-sistem tersebut tidak berarti bahwa sistem-sistem tersebut berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya kaitan satu dengan yang lain. semua sistem tersebut harus menggunakan asas pokok yang jelas, yang disebut dengan istilah integratif fungsional. Dengan alasan tersebut akan tercakup kewajiban untuk berkoordinasi dan saling membantu antara sistem yang satu dengan sistem yang lain, dan dalam pengertian integratif fungsional tersebut termuat di dalamnya suatu arah yang jelas bagi keseluruhan sistem. Dikatakan oleh Kapolri Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan bahwa erat dengan sistem dan asas dari sistem yang diuraikan di atas, yang sangat diperlukan adalah adanya pembinaan teknis, baikpembinaan personel, materiil logistik, dan anggaran umum, maupun operasional. Kebijakan, Prestasi dan Kontroversi selama menjadi KapolriPerintah Harian Pertama sebagai KapolriTerhadap pengangkatan dirinya sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Imam Santoso, Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan berpandangan bahwa pergantian pimpinan pada umumnya akan membawa kewajiban bagi pimpinan baru untuk meneruskan, menyempurnakan dan bila perlu memperbaharui apa yang telah dirintis oleh pimpinan (Kapolri) yang lama. Sebagai awal mula masa tugas sebagai Kapolri yang baru, Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan mengeluarkan Perintah Harian selaku Kapoiri baru dengan tujuan agar setiap anggota dan jajaran kepolisian selalu ingat akan tugas pokoknya dalam menjalankan dan melayani masyarakat. Hal tersebut termaktub dalam Perintah Harian pertama kali Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan menjabat sebagai Kapolri, yaitu sebagai berikut.
Anjuran Pemakaian HelmDalam rangka mengatasi dan mengatur ketertiban berlalu lintas, Kapolri Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan mengeluarkan Maklumat No. Pol. Mak/02/X/71 pada 20 Oktober 1971. Isi dari maldumat tersebut, antara lain menganjurkan kepada setiap pengendara sepeda motor, baik pengemudi maupun penumpang, untuk melengkapi diri dengan topi pengaman (helm). Selain itu, juga dikeluarkan anjuran terhadap setiap penumpang sepeda motor yang kendaraannya tidak dilengkapi dengan kereta samping untuk duduk dengan meletakkan kakinya masing-masing di atas injakan yang tersedia di samping kiri dan kanan. Maklumat tersebut didahului dengan pertimbangan Maklumat Kapolri sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Imam Santoso, No. Pol. Mak/01/VIII/71 tanggal 7 Agustus 1971 yang bertujuan menjaga keselamatan pengemudi dan penumpang sepeda motor di jalan umum. Maklumat tersebutperlu disesuaikan dengan kemungkinan pelaksanaannya pada masa lalu. Hal itu bermakna membatalkan atau mengganti kewajiban untuk memakai helm (yang ditetapkan oleh Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso dua bulan sebelumnya) menjadi sebatas anjuran saja. Perlu diingat bahwa ketika itu banyak protes dan keberatan dari masyarakat terhadap kewajiban pemakaian helm. Namun, hal itu bukan berarti bahwa Kapolri Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasan tidak menaruh perhatian terhadap masalah ketertiban berlalu lintas. Perhatian Kapolri Komjen Polisi Drs. Mohamad Hasanterhadap tertib dalam berlalu lintas juga cukup besar. Sejak awal masa jabatannya sebagai Kapolri, pada 25 November 1971 Kapolri telah mengeluarkan instruksi yang menyangkut ketertiban berlalu lintas serta penanggulangan kecelakaan lalu lintas. Pers cukup bersemangat dalam usahanya memublikasikan bahwa dalam rangka mengurangi kecelakaan lalu lintas yang sering terjadi karena kurang ditaatinya atau kurang disiplinnya masyarakat dalam berlalu lintas, Kapolri secara khusus mengeluarkan instruksi untuk penegakan hukum (law enforcement) terhadap peraturan lalu lintas. Keberhasilan Menurunkan Angka Kriminalitas Tahun 1972/1973Kondisi keamanan dan ketertiban pada tahun 1972 dirasakan lebih mantap daripada tahun-tahun sebelumnya. Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan lebih jauh menyatakan bahwa dengan hasil operasional Polri pada tahun 1972/1973 memperiihatkan adanya beberapa bentuk kejahatan yang mengalami peningkatan, seperti perampokan, kejahatan terhadap kesopanan, pemalsuan mata uang dan surat berharga, pencurian ringan, serta perjudian. Namun, angka-angka di bidang kriminalitas untuk seluruh Indonesia memperlihatkan tendensi menurun sebanyak 10,87 %, telapi kejahatan di bidang ekonomi mengalami peningkatan sebanyak 35,27 %. Demikian juga saat menyinggung masalah penyaluran/peredaran narkotika, Kapolri menilai sudah mulai menunjukkan adanya tendensi menurun. Secara global dapat dikatakan bahwa semasa kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan, kondisi keamanan pada saat itu pada umumnya sangat baik. "Walaupun jumlah perbuatan kriminal dalam tahun 1973, misalnya menunjukkan angka yang besar, yaitu 151.556 kasus di seluruh Indonesia, tetapi jika melihat jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan, keadaan keamanan di dalam negeri masih dapat dikatakan baik sekali. Pemberantasan Pengedaran Narkotika dan PenyelundupuanKapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan selalu berusaha dan menekankan kepada segenap anggota dan jajarannya untuk tetap mewaspadai sekaligus memerangi kejahatan dalam bentuk penyelundupan seperti narkotika, ganja, ataupun dalam bentuk lain. Kapolri mengakui bahwa terdapat daerah-daerah yang merupakan titik-titik rawan bagi kegiatan penyelundupan seperti narkotika, yaitu wilayah Riau serta pantai timur Sumatra. Kegiatan penyelundupan itu sukar diberantas, mengingat banyaknya muara sungai dan para penyelundup'melakukan kegiatan dengan perahu-perahu kecil. Kegiatan atau pengembangan pemakaian serta peredaran narkotika wilayah Riau berkembang pesat dan sekaligus menjadikan wilayahnya sebagai penyebab/penyangga utama narkotika bagi orang-orang Tionghoa yang hidup di Riau karena adanya latar belakang/budaya masyarakatnya. Masyarakat Riau beranggapan bahwa memakai narkotika adalah sebuah tradisi. Dari situ akhirnya berkembang, dari hanya sebagai pemakai menjadi penyalur/pengedar narkotika. Selain wilayah Riau, Mohamad Hasan juga menunjuk wilayah lain seperti Sumatera Utara dan Jakarta sebagai daerah rawan peredaran narkotika. Kemudian, khusus tentang kemungkinan banyaknya keterlibatan anggota/oknum Polri dalam masalah narkotika, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan sudah menyiapkan serta merancang peraturan yang berisi, antara lain pemecatan terhadap oknum-oknum Polri yang terlibat. Dengan melihat kondisi yang sedemikian rupa, Kapolri membentuk Direktorat Reserse Narkotika. Latar belakang pembentukan Direktorat Reserse Narkotika tersebut adalah karena semakin meluas serta bertambah besarnyajumlah pengedar dan pemakaiannya di Indonesiayang memungkinkan menjalarnya penyalahgunaan narkotika, terutama di lingkungan remaja yang semakin menunjukkan tendensi yang kontinyu dan perlu segera ditanggulangi. Dalam hal seperti itu, aktivitas pemberantasan peredaran narkotika perlu dipertimbangkan dengan suatu koordinasi dan integrasi pelaksanaan yang lebih sempurna, baik oleh aparat yang sudah ada maupun bersama-sama dengan lembaga lain. Selain narkotika, pada masa kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan juga marak adanya kegiatan penyelundupan dalam bentuk barang-barang purbakala, perdagangan wanita dan lain sebagainya. Semua itu merupakan sasaran operasi yang harus dan akan dilaksanakan oleh Kapolri beserta jajarannya. Menyangkut larinya barang-barang purbakala ke luar negeri, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan menjanjikan bahwa untuk yang akan datang hal tersebut akan lebih diperhatikan. Sudah ada usaha mencegah kejahatan penyelundupan dengan adanya koordinasi antara Polri Departemen Perdagangan, Bea Cukai, dan Imigrasi. Kemudian, menyangkut kejahatan lain seperti pemalsuan uang logam, dikatakan oleh Kapolri bahwa telah diketahui adanya jaringan pembuatan uang palsu di Krawang, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Hongkong. Langkah penanggulangan kejahatan uang palsu tersebut mendapat sambutan dan bantuan yang luar biasa dari Kepolisian Hongkong. Di lain pihak Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan mensinyalir bahwa kejahatan pemalsuan dan penyebaran uang palsu digunakan untuk tujuan subversif dalam bidang ekonomi. Sementara itu, mengenai perdagangan wanita Indonesia ke luar negeri, dikatakan oleh Kapolri bahwa adanya sinyalemen mengenai hal tersebut mungkin disebabkan oleh salah tafsir. Berbondong-bondongnya wanita-wanita cantik Indonesia ke luar negeri merupakan hal yang kompleks dan telah menjadi perhatian Kapolri pada saat itu. Hal yang menyebabkan diberikannya perhatian khusus kepada wanita-wanita Indonesia di luar negeri tersebut adalah karena kondisi pada saat itu sering timbulnya praktik-praktik penipuan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan para wanita itu menjadi korban dan terlantar. Menindak Tegas "Protection Rackets"Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan merasa puas dan bangga atas keberhasilan para anggotanya dalam usaha penanggulangan geng-geng ala mafia, khususnya yang telah dilakukan oleh Komdak VII/Metro Jaya. Berkat kinerja di bawah pimpinan Kadapol VII/Metro Jaya Mayjen Polisi Drs. Widodo Budidarmo, mereka berhasil mengurangi atau menekan kejahatan di bidang ekonomi. Sebagaimana telah berkali-kali disinyalir bahwa di wilayah Jakarta khususnya, terdapat adanya kejahatan yang terorganisir semacam "Protection Rackets", yaitu orang-orang yang dengan memaksa menawarkan jasa-jasanya terhadap keluar masuknya barang, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang terjadi di lingkungan pelabuhan/bandara ataupun dalam perjalanan melalui darat/jalan raya. Sindikat atau komunitas seperti dalam tindakan paksaan, tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan dalam melancarkan kegiatannya sehingga secara tidak langsung menyebabkan kerugian serta keresahan dalam masyarakat. Namun, tindakan-tindakan mereka ataupun geng-geng lainnya, yang oleh Kadapol VII/Metro Jaya dinamakan tindakan ala mafia, sebenarnya tidak perlu ditakuti oleh masyarakat. Akan tetapi, diharapkan ada laporan dari masyarakat sehingga aparat kepolisian dapat menindak mereka. Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan tidak menamakan mereka dengan sebutan geng-geng ala mafia, tetapi cukup diberi predikat "Percentengan Gelap/Liar", sebab dalam kenyataannya, mereka telah berhasil diringkus oleh aparat kepolisian tanpa mendapat perlawanan yang berarti. Selanjutnya, Kapolri Jenderal polisi Drs. Mohamad Hasan memerintahkan, baik kepada Kadapol VII/Metro Jaya maupun Kadapol-Kadapol lainnya di seluruh Indonesia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh memerangi dan menggulung habis sampai ke akar-akarnya sindikat/anggota percentengan liar tersebut, dan menyampaikan penghargaan atas keberhasilan Kadapol VII/Metro Jaya atas upayanya menggulung geng-geng tersebut. "Petisi 13" untuk KapolriSemua prestasi dan kegemilangan yang diraih oleh Kepolisian Republik Indonesia akan sia-sia apabila kinerja aparatnya tidak dilandasi dengan sikap mental yang baik. Prestasi yang baik ternyata tidak dibarengi dengan tumbuhnya sikap mental di kalangan anggota Polri, khususnya yang bertindak di lapangan. Di bawah kepemimpinan Jencieral Polisi Drs. Mohamad Hasan, ternyata masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum Polri di lapangan, yang semua itu terjadi karena tindakan di luar kewenangannya sebagai anggota Polri. "Bermoral rendah seorang polisi yang melakukan praktik lempar batu sembunyi tangan", kata Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan, mengomentari masih terjadinya tindakan-tindakan atau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh jajarannya, khususnya dalam penanganan/pemeriksaan terhadap tahanan. Karena tanpa disadari, tindakan-tindakan atau pelanggaran-pelanggaran mereka akan menimbulkan imagelkesan negatif serta akan menjatuhkan kredibilitas Polri di mata masyarakat. Akhir dari semua itu adalah keluarnya "Petisi 13", yang merupakan tuntutan dari pihak keluarga yang menjadi korban dari tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh oknum kepolisian.6T Keluarnya petisi tersebut dapat dikatakan sebagai akumulasi/puncak kegerahan masyarakat, khususnya keluarga korban terhadap tindakan pelanggaran yang dilakukan beberapa anggota kepolisian. Tiga belas orang/individu yang mewakiii keluarga korban mengajukan petisi yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan. Dinyatakan dalam petisi itu bahwa mereka sebagai manusia biasa yang tak luput dari rasa haru menundukkan kepala untuk almarhum Marta Wibawa yang merupakan salah satu korban yang meninggal dunia akibat tindakan kekerasan terhadap para tahanan yang dilakukan oleh personel Polri. Ini bukan berarti sudah dilupakan peristiwa penyetruman terhadap Tjetjep, kekerasan terhadap Si Boyeh dalam hubungan dengan persitiwa Tony Kartajaya, atau penyiksaan atas pemuda Medan, Azqar Walad. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut mereka, dengan kasus Marta Wibawa sebagai puncak merupakan akibat tindakan di luar hukum dan perikemanusiaan yang tidak memeriukan alasan apa pun tidak dapat ditolerir. Kepada Kapolri mereka berharap agar Polri segera melakukan pengusutan, pemeriksaan, dan membawa para pelaku ke sidang pengadilan terbuka. Polri diharapkan juga untuk mengeluarkan kebijakan berikut sanksinya secara dan mampu memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa perisiliwa serupa tidak akan terulang kembali. Tuntutan lain agar Polri mencari jalan yang terbaik dengan maksud perlakuan serta akomodasi terhadap para tahanan kepolisian dapat disesuaikan dengan prinsip yang berlaku, yaitu presumption of innocence. Selanjutnya, petisi 13 tersebut ditutup dengan harapan Kapoiri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan mewujudkan tanggung jawabnya sebagai Kapolri terhadap korban-korban tindakan kekerasan anak buahnya. Ke-13 individu yang ikut menandatangani petisi tersebut adalah Bunyamin W, Waluya Ds, Asmara Nababan, DA Peransi, Farida Syuman, Juwono Sudarsono, Taufiq Ismail, Ras Siregar, Deddy Sutomo, Syahril Latif, Henk Tombokan, Jopie Lasut, dan Boellie Londa. Atas dasar kondisi tersebut, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan mengambil tindakan tegas terhadap anak buahnya yang melakukan pelanggaran. Polri tidak mau gara-gara ulah segelintir oknum, nama baik dan prestasi Polri jatuh. Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan akhirnya memerintahkan seluruh Kepala Daerah Kepolisian (Kadapol) di seluruh Indonesia untuk mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum terhadap oknum/petugas-petugas polisi yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap tahanan atau yang bertindak di luar kewenangan mereka. Tindakan Kapolri berikutnya adalah menginstruksikan kepada Kadapol agar dalam melaksanakan tugasnya para Kadapol melakukan upaya peningkatan dan menyempurnakan pengawasan atas jalannya penangkapan, pemeriksaan, penggeledahan dan penyitaan. Seiain itu, segala tindakan yang berhubungan dengan suatu pemeriksaan tindak pidana, khususnya pemeriksaan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran/tindak kekerasan terhadap para tahanan agar diberlakukan hukuman berupa tindakan skors atau pemberhentian sementara. Di samping mengambil tindakan terhadap anggotanya yang melakukan tindakan pelanggaran, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan melakukan upaya preventif terhadap penyalahgunaan dalam pemeriksaan suatu tindak pidana, dengan tujuan agar tindakan-tindakan yang memalukan serta mencoreng institusi Kepolisian Republik Indonesia tidak terulang lagi itu. Meninggal duniaIa meninggal dunia pada 23 Februari 2005 karena menderita sesak napas di RSPP dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau meninggalkan seorang istri, Nani Hasan (Nyi Rd Djumanten), sembilan anak.[1][2], dua puluh empat orang cucu dan seorang cicit. Penghargaan dan Tanda jasaAtas segala jasa dan pengabdian sebagai Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, ia mendapatkan sejumlah penghargaan dan tanda jasa, diantaranya;
Referensi
Pranala luar
|