Jenderal Polisi (Purn.) Drs.Hoegeng Iman Santoso[1][2][3][4] (14 Oktober 1921 – 14 Juli 2004) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari tahun 1968 hingga 1971. Hoegeng secara historis dikenal sebagai pejabat polisi yang paling berani dan jujur di negara ini, pada saat mayoritas pejabat pemerintah korup. Beliau terkenal karena tindakan dan upayanya yang terus menerus dalam memberantas korupsi dan permainan kekuasaan dalam kepolisian Indonesia serta mendorong peradilan pidana yang setara. Hoegeng merupakan salah satu Kepala Kepolisian Republik Indonesia dengan masa jabatan terpendek.
Biografi
Kehidupan awal dan pendidikan
Hoegeng lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Nama lahirnya adalah Iman Santoso.[5] Nama Hoegeng diambil dari "bugel" (menjadi "bugeng" dan kemudian "hugeng"; yang berarti gemuk) karena tubuhnya yang gemuk semasa kecil. Ayahnya adalah Soekarjo Kario Hatmodjo dari Tegal, seorang jaksa di Pekalongan; ibunya adalah Oemi Kalsoem. Ia memiliki dua adik perempuan: Titi Soedjati dan Soedjatmi.[6] Hoegeng ingin menjadi polisi karena dipengaruhi oleh teman ayahnya yang menjadi kepala kepolisian di kampung halamannya Ating Natadikusumah.[7] Perwira hukum lain yang merupakan teman ayahnya adalah Soeprapto.[6]
Pada bulan Maret 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. Awalnya, Hoegeng merasa lega dengan kedatangan Jepang. Tapi, kemudian militer Jepang menutup RHS. Hoegeng kemudian kembali ke rumah pada bulan April; ia menggunakan waktu luangnya untuk menjual telur dan buku sekolah bahasa Jepang bepergian dari satu kota ke kota lain termasuk Pati dan Semarang bersama temannya Soehardjo Soerjobroto. Di Semarang, ia bertemu kerabatnya dan ditawari bekerja di stasiun radio Hoso Kyoku. Dia diterima dan mulai bekerja satu bulan kemudian. Saat bekerja di stasiun, ia mendaftar ke pembukaan kursus polisi di Pekalongan. Hoegeng kemudian melamar dan diterima sebagai salah satu dari sebelas anggota kepolisian dari 130 pelamar.[9]
Hoegeng awalnya merasa kecewa ketika mengetahui bahwa output dari kursus tersebut bukan untuk perwira tinggi (inspektur kedua), tetapi dua pangkat lebih rendah. Namun, dia masih melewatinya. Selama pelatihan, Hoegeng menerima Rp32 per bulan, bersih Rp19,50. Setiap hari setelah pelatihan, para taruna ditugaskan sebagai petugas polisi reguler di kota. Rekan-rekannya, para pelatih dan sesama taruna, kemudian menjadi perwira tinggi terkemuka termasuk Soemarto, Soehardjo Soerjobroto, Soerojo, dan Soedjono Parttokoesoemo. Setelah lulus dari kursus tersebut, Hoegeng sempat ragu apakah akan melanjutkan karirnya sebagai polisi atau sedikit beralih sebagai hakim. Saat itu, Soemarto, pelatihnya, mendaftarkan Hoegeng ke kursus perwira polisi di Sukabumi. Hoegeng kemudian diterima, meski tidak terlalu serius dalam seleksi tersebut, antara lain enam orang dari Pekalongan, alumnus kursus tadi.[10]
Di Sukabumi, Hoegeng mendaftar ke kursus Koto Kaisatsu Gakko, kursus bagi siapa saja yang sudah terlatih di kepolisian. Sebelum lulus, Hoegeng dan kawan-kawan mengira akan naik pangkat ke jenjang yang lebih tinggi bernama Junsabucho. Sebaliknya, peringkat mereka harus diturunkan menjadi Minarai Junsabucho. Mereka memprotes keras keputusan itu sampai Jenderal Harada dari Angkatan Darat ke-16 mengunjungi tempat itu untuk menenangkan mereka. Pada tahun 1944, Hoegeng lulus dan bersama ketiga temannya, Soetrisno, Noto Darsono, dan Soenarto, ditugaskan ke Chiang Bu (bagian keamanan) Semarang. Hoegeng dan Soenarto menduduki jabatan Koto Kei Satsuka (bagian intelijen), sedangkan Noto dan Soetrisno masing-masing diberi jabatan di Keimu Ka (urusan umum) dan Keiza Ka (urusan ekonomi). Setelah beberapa minggu di Semarang, Hoegeng dipromosikan menjadi Kei Bu Ho II. Dalam beberapa bulan berikutnya, Hoegeng kembali naik pangkat, kali ini menjadi Kei Bu Ho I. Sesaat sebelum Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, Hoegeng dipindahkan ke Keibi Ka Cho (divisi perwalian) di bawah pimpinan R. Soekarno Djojonegoro dan dipromosikan lagi.[11]
Suatu hari setelah proklamasi, Soeprapto, teman ayah Hoegeng, mengumpulkan anggota polisi, termasuk Hoegeng dan atasannya Soekarno Djojonegoro, dan memberi tahu mereka tentang kemerdekaan Indonesia dan akan ada pemindahan kekuasaan. Pada bulan Oktober, Hoegeng dirawat di sebuah rumah sakit (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi) di Semarang setelah menderita gegar otak selama bertugas menjaga tahanan Jepang. Saat itu, Pertempuran Lima Hari antara pejuang Indonesia dan tawanan Jepang terjadi. Pagi hari sebelum rumah sakit diserbu oleh Jepang, Hoegeng kabur karena tidak suka dengan suasana rumah sakit dan kabur dari tempat dia dirawat. Setelah pertempuran mulai berhenti, Hoegeng disarankan oleh dokter untuk beristirahat. Ia lalu pamit dan beristirahat di Pekalongan.[12]
Selama di Pekalongan, Hoegeng dikunjungi Komodor M. Nazir yang kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Laut pertama. Nazir tertarik pada Hoegeng karena dia ingin membentuk polisi militer angkatan laut dan menawarkan yang terakhir untuk menjadi bagian dari angkatan laut. Hoegeng kemudian menerima tawaran itu terutama karena dia ingin tantangan karena kepolisian sudah mapan. Sebagai perwira militer berpangkat Mayor, ia diberi hak untuk tinggal di Hotel Merdeka, Yogyakarta, dan dibayar Rp 400 per bulan. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Darwis, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut di Tegal, tugas pertamanya adalah merumuskan landasan dasar kepolisian militer yang pada mulanya bernama satuan Penyelidik Militer Laut Chusus (PMLC). Selama tinggal di hotel, Hoegeng dibujuk oleh Soekanto Tjokrodiatmodjo, kepala kepolisian, untuk kembali menjadi polisi. Di Yogyakarta, Hoegeng memiliki aktivitas lain sebagai pemeran utama sandiwara radio Saija dan Adinda yang disiarkan oleh radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO) dan RRI Yogyakarta. Ia kemudian menikah dengan lawan mainnya dalam lakon, Merry, pada 31 Oktober 1946 di Jetis, Yogyakarta. Setelah mereka menikah, Hoegeng mengundurkan diri sebagai perwira angkatan laut untuk mengejar impian masa kecilnya menjadi seorang perwira polisi.[13]
Kemerdekaan Indonesia dan pendudukan Belanda
Setelah bergabung kembali, Hoegeng tercatat sebagai mahasiswa Akademi Kepolisian di Mertoyudan, Magelang. Selama liburan di pertengahan tahun 1947, Hoegeng dan istrinya yang sedang hamil mengunjungi keluarganya di Pekalongan. Namun, pada tanggal 21 Juli militer Belanda melakukan operasi militer. Hoegeng dan keluarganya kemudian melarikan diri ke selatan kota. Hoegeng diberitahu oleh Soekarno Djojonegoro, Kepala Kepolisian Pekalongan, bahwa Soekanto telah memerintahkan semua mahasiswa akademi untuk membantu kepolisian setempat. Tugas Hoegeng saat itu adalah mengumpulkan materi intelijen. Kemudian, dia ditangkap oleh petugas polisi yang bekerja untuk Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Saat ditangkap, Hoegeng diperlakukan dengan baik, tidak seperti yang lain. Dia akhirnya mengetahui bahwa orang yang memberi perintah itu adalah de Bretonniere, temannya di RHS. Hoegeng dibujuk untuk bekerja untuk NICA tetapi menolak. Setelah tiga minggu, dia dibebaskan. Hoegeng kemudian memutuskan untuk mengunjungi komando Yogyakarta. Dia, istrinya, dan orang tuanya pergi ke Jakarta pada awalnya. Di Jakarta, Hoegeng bertemu dengan
Soemarto yang saat itu menjabat Wakil Kepala Djawatan Kepolisian Negara dan diminta menjadi bawahannya. Hoegeng diterima tetapi ingin mengunjungi Yogyakarta. Dia dibantu oleh Soemarto dan meninggalkan istrinya dan pergi sendiri pada bulan September. Di Yogyakarta, Hoegeng melaporkan tugasnya kepada Soekanto dan meminta izin sebagai bawahan Soemarto di Jakarta; Soekanto memberikan izin. Pada bulan November, Hoegeng bekerja sebagai asisten Soemarto dan diberi tugas untuk mengamati tahanan politik Indonesia dan membantu mereka jika memungkinkan. Di Jakarta, ia berkorespondensi dengan Sudirman, Hamengkubuwono IX, Oerip Soemohardjo, Suryadi Suryadarma, dan M. Nazir.[14]
Ia pernah menjadi Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 1952. Ia menjadi kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Medan, Sumatera Utara pada tahun 1956. Pada tahun 1959, ia mengikuti sekolah pelatihan Mobile Brigade (Mobrig) dan menjadi staf direktorat II di Markas Besar Polri pada tahun 1960, ia menjadi Kepala Djawatan Imigrasi pada tahun 1960, menjadi Menteri Iuran Negara pada tahun 1965, dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti pada tahun 1966. Setelah Hoegeng mengundurkan diri sebagai kepala polisi, ia tampil di TVRI bermain gitar Hawaii bersama dengan band "The Hawaiian Seniors", dan menjadi pembawa acara musik The Hawaiian Seniors (aslinya Irama Lautan Teduh) dari tahun 1968 sampai 1979. Kadang ia tampil bersama istrinya, Merry Hoegeng dan putrinya, Reny Hoegeng atau Aditya Hoegeng.[15]
Karier
Sewaktu pendudukan Jepang, ia mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Setelah itu ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika Serikat. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Dari situ, dia menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan Operasi juga masih dalam 1966.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Hoegeng mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971 dan digantikan oleh Drs. Mohamad Hasan.
Saat menjadi Kapolri Hoegeng Iman Santoso melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Pada masa jabatannya terjadi perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol).
Perubahan itu membawa sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya, sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Kehidupan pribadi
Di luar dinas kepolisian Hoegeng terkenal dengan kelompok pemusik Hawaii, The Hawaiian Seniors, selain ikut menyanyi juga memainkan ukulele. Kegiatan Hoegeng tersebut sempat ditampilkan di TVRI, namun kemudian dicekal oleh Menteri PeneranganAli Moertopo dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Setelah pencekalan itu, Hoegeng lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkebun di kebunnya yang kecil di seputaran Jonggol, Bogor. Selain berkebun ia juga kerap menghabiskan waktunya untuk melukis, hobi yang sudah ia lakukan sejak ia masih muda. Gaya lukisannya cenderung naturalis. Mulanya ia gemar melukis potret manusia, namun lama kelamaan lebih sering melukis pemandangan dan bunga. Semasa masih menjabat sebagai Kapolri, ia menolak menjual lukisanya. Namun setelah pensiun, Hoegeng baru mau menjual karya-karyanya untuk keperluan pribadi atau untuk keperluan sosial.[16]
Meninggal dunia
Hoegeng wafat di Jakarta pada tanggal 14 Juli 2004[17] dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Penghargaan
Atas semua pengabdiannya kepada negara, Hoegeng Iman Santoso telah menerima sejumlah tanda jasa baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya;
^Hendrowinoto, Nurinwa Ki S.; Penulis, Tim (2007). Bahasa, Tim Penyunting, ed. Ensiklopedi Kapolri: Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santoso. Jakarta: Panitia Penulisan Ensiklopedi Kapolri. hlm. 31–32. ISBN978-979-16296-0-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Santoso, Aris; Sutrisno, Ery; Sirait, Hasudungan; Hasibuan, Imran (2014). Hoegeng: Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Bentang Pustaka. ISBN9786027888005.