Letnan Kolonel Mohammad Moeffreni Moe'min (12 Februari 1921 – 27 Juni 1996) adalah seorang tokoh militer dan tokoh politik pemimpin pejuang terkemuka pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia. Moeffreni adalah putra pertama dari pasangan suami-isteri Mohammad Moe'min dan Aisyah. Ayahnya pernah bekerja sebagai Pangreh Praja yang pernah menjabat sebagai Eks Residen Djakarta.
Riwayat Hidup
Kehidupan Awal
Masa Pergerakan
Ia merupakan putra dari Mohammad Moe'min, mantan residen Jakarta asli Betawi. Ia memiliki kedudukan penting di ibu Kota karena berhasil menyelamatkan sisa-sisa administrasi keresidenan saat terjadi kekacauan di tubuh pemerintahan saat itu. Keresidenan Jakarta yang pada saat itu memiliki ibu kota di Subang dimekarkan menjadi dua bagian. Bagian timur tetap memiliki ibu kota di Subang sementara bagian barat memiliki ibu kota di Purwakarta. Moehammad Moe’min memimpin bagian barat ini. Sejak remaja, Moeffreni aktif dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang merupakan cikal bakal gerakan Pramuka di Indonesia dan sebagai hoofd redactur majalah "Pandu Jakarta".
Pada tahun 1943, ketika Jepang telah berkuasa di Indonesia, Moeffreni berkesempatan mengikuti pendidikan kemiliteran Seinen Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda) angkatan pertama di Batuceper, Tangerang bersama Daan Mogot, Soeprijadi, Kemal Idris, Zulkifli Lubis dan Yono Soewoyo dan kemudian pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA) Boei Gyugun Kanbu Renseitai di Bogor. Kemudian, Moeffreni bertugas sebagai perwira PETA Daidan I Jakarta di bawah kepemimpinan Mr. Kasman Singodimedjo yang menunjuknya sebagai Kepala Bagian Pendidikan PETA Daidan I Jakarta yang melatih dasar-dasar kemiliteran kepada para mahasiswa Prapatan 10 Ika Daigaku dan Sekolah Tinggi Islam, Pemuda Barisan Pelopor, Pemuda Menteng 31 serta tokoh pergerakan di Tjuo Sangi-in. Pada tanggal 1 September 1945, Moeffreni didapuk sebagai Ketua BKR (Badan Keamanan Rakyat) Jakarta Raya yang kemudian membentuk barisan bersenjataan secara mandiri tanpa dukungan logistik, keuangan, dan administrasi dari pemerintah yang baru saja berdiri guna melaksanakan amanat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. BKR sendiri adalah cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Moeffreni dan Peristiwa Rapat Raksasa Lapangan Ikada
Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang telah dikumandangkan secara dramatis di Jakarta pada 17 Agustus 1945. Namun, berita itu tak lantas tersebar ke seluruh Indonesia. Pihak Jepang selalu menutup-nutupi kenyataan bahwa mereka sudah kalah. Sehingga, berita kemerdekaan Indonesia masih dipertanyakan kebenarannya oleh masyarakat. Untuk menyebarluaskan Informasi Kemerdekaan dan menunjukan kedaulatan pemerintah Indonesia, maka dipilihlah jalan mengumpulkan massa dalam jumlah besar dalam suatu rapat raksasa sehingga dirancang suatu rapat raksasa di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), sekarang menjadi Lapangan Monas, pada tanggal 19 September 1945. Saat itu pemerintah Republik Indonesia berhasrat menyampaikan kepada khalayak ramai apa yang telah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945. Moeffreni Sebagai Ketua BKR ditunjuk sebagai ketua panitia atas rencana rapat raksasa Lapangan Ikada dan berperan dalam penyebarluasan informasi dan keamanan. Para anggota BKR, dibantu para pemuda Menteng 31, Prapatan 10, kepolisian, pemuda Kereta Api, Pos/Telegram, aparat Pemerintah Daerah Jakarta, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Jakarta dan Wali Kota Jakarta saling bahu-membahu melakukan koordinasi. Semuanya melakukan satu rantai informasi untuk menyebarluaskan informasi mengenai rapat raksasa Ikada secara getok tular (berantai) kepada rakyat Indonesia. Namun, upaya penyebarluasan informasi tak berlangsung mulus. Rencana rapat sudah bocor. Pasukan Jepang pada malam tanggal 18-19 September 1945 telah memberikan imbauan bahwa rapat raksasa yang akan dilakukan itu dilarang demi ketertiban dan ketenangan umum. Mobil-mobil militer, tank, dan panser telah lalu lalang di jalan-jalan raya di Kota Jakarta, sehingga menimbulkan perasaan yang mencekam. Menghadapi ancaman Jepang, Moeffreni tak tinggal diam. Dia pergi ke kantor Guiseikanbu untuk meminta kepada para perwira tinggi Jepang agar jangan terjadi pertumpahan darah. Namun upayanya menemui para perwira tinggi Jepang yang dikenalnya sejak di PETA gagal karena mereka semua tidak ada di tempat. Kondisi mencengkam dalam pelaksanaan rapat raksasa Lapangan Ikeda berlanjut pada pengorganisiran rakyat dalam rapat raksasa tersebut. Ia memperhitungkan ada sekitar 250.000 orang yang datang ke lapangan Ikada. Dari arah selatan (Merdeka Selatan) merupakan konsentrasi untuk massa yang berasal dari Bogor, Depok, Jatinegara, dan Kebayoran Baru. Sementara, massa yang datang dari Tangerang dan Banten masuk ke lapangan Ikada melalui arah timur, dekat Harmoni sampai tepi Istana Negara. Adapun massa dari Tanah Abang Barat masuk melalui Jalan Museum. Masing-masing rombongan dan laskar yang hadir sudah barang tentu membawa senjata masing-masing. Ada bambu runcing, botol berisi minyak tanah atau “Molotov cocktail” dan sebagainya. Kondisi ini dapat menimbulkan kerusuhan dan pertumpahan dengan pihak Jepang yang berjaga. di sini Moeffreni berusaha menjaga keamanan situasi massa tersebut. Wartawan Rosihan Anwar dalam kesaksiannya di artikel “Suasana Lapangan Ikada” oleh D. Hasan Pulungan mengatakan, “secara berduyun-duyun…merasa situasi semakin serius sambil menunjuk adanya penjagaan ketat dari kesatuan-kesatuan tentara Jepang, diperkuat tank-tank raksasa, ada yang ditempatkan di tengah-tengah jalan raya, ada yang mengambil tempat dalam jarak yang tidak begitu jauh dari Medan Merdeka Utara, dan tidak jauh dari Istana, dari jurusan Merdeka Barat ada pula kelihatan dipersiapkan…” Moeffreni juga tercatat berperan penting dan bertanggungjawab atas keamanan dan keselamatan Presiden dan Wakil Republik Indonesia Soekarno-Hatta. Saat itulah Moeffreni membentuk pasukan pengamanan untuk menjemput Presiden dan Wakil Presiden yang masih berada di Pejambon yang sedang melakukan sidang kabinet. Moeffreni membentuk dua peleton menjemput yang terdiri atas unsur BKR Jakarta, kelompok Pemuda Menteng 31, mahasiswa Prapatan 10, serta mahasiswa Islam di bawah pimpinan Bagja. Peleton ini bertugas menjemput sekaligus mengamankan para wakil rakyat itu. Moeffreni lantas menjemput Bung Karno dan Bung Hatta yang datang melalui batas Jalan Merdeka Timur dan selalu setia mengawal Bung Karno di sampingnya. Moeffreni mengantarkan Bung Karno dan Bung Hatta naik ke mimbar yang sangat sederhana, terbuka, dibikin dari kayu dan bambu. Sejarah telah mencatat pidato Sukarno yang fenomenal di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Moeffreni sendiri menekankan singkatnya pidato Presiden bukan lantaran adanya larangan dari pihak Jepang, melainkan memang situasi yang sedemikian panas. Berkat jasa Moeffreni, penyelenggaraan Rapat Raksasa Lapangan Ikeda dapat berjalan dengan lancar tanpa pertumpahan darah.
Masa Mempertahankan Kemerdekaan
Pada 5 Oktober 1945 Pemerintah Indonesia mengumumkan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) secara otomatis BKR bertransformasi menjadi TKR. Demi kepentingan diplomasi, pada tanggal 19 November 1945 Pemerintah menginstruksikan mengosongan kota Jakarta dari barisan bersenjata untuk ditempatkan di luar kota Jakarta. Pada saat itu, Moeffreni memimpin Resimen VI Cikampek yang melakukan perjuangan bersenjata, menjaga tapal batas atau garis demarkasi, mengkoordinir dan membina para laskar pejuang untuk turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia di front timur Jakarta (Jakarta, Bekasi, Karawang). Terdapat beberapa karya sastrawan yang mengambarkan suasana perjuangan perang kemerdekaan di front timur Jakarta diantara Puisi "Karawang-Bekasi" karya Chairil Anwar, Novel Sejarah "Krandji, Bekasi Jatuh" dan "Di Tepi Kali Bekasi" karya Pramoedya Ananta Toer serta syair lagu "Melati di Tapal Batas" karya Ismail Marzuki. Pada tanggal 13 Februari 1946, Moeffreni memimpin operasi penumpasan pemberontakkan bersenjata Laskar Merah (Komunis) di Cirebon. Operasi tersebut berhasil melumpuhkan kekuatan Laskar Merah dan menangkap pemimpinnya yaitu Mr. M. Joesoeph dan Mr. Suprapto untuk kemudian diadili. Pada bulan Juli 1946, Moeffreni bertugas pada Resimen XII Cirebon. Pada saat itu, pihak Inggris menginginkan terjadinya perundingan dan gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perundingan Linggarjati. Moeffreni mendapat tanggungjawab yang berat memimpin pengamanan perundingan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan perjuangan diplomasi. Pada bulan Mei 1947, Moeffreni bertugas sebagai Direktur Latihan Perwira Divisi Siliwangi di Ngamplang, Cilawu, Garut. Setelah Agresi Militer Belanda I, Moeffreni ditugaskan kembali ke Cirebon. Pada saat itu Cirebon telah dikuasai tentara Belanda suasana mencekam oleh berbagai serangan dari laut, udara dan darat yang mendadak sedangkan tentara republik dan laskar rakyat telah mengungsi kepedalaman dan kepegunungan guna menyusun kekuatan. dalam suatu perjalanan Moeffreni disergap dan ditangkap oleh tentara Belanda di desa Jatitujuh, Majalengka. Selanjutnya, dirinya ditahan di Pulau Nusakambangan sebagai tawanan perang kelas berat Krijgsgevangenen.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada akhir Desember 1949, Moeffreni dibebaskan dan selanjutnya kembali berdinas pada kesatuan asalnya Divisi Siliwangi dalam perjalanan hidupnya setelah pensiun dari dinas ketentaraan banyak dihabiskan dengan mendedikasi diri ikut serta mengisi kemerdekaan Indonesia.
Karier Militer
Dalam menggaungkan kemerdekaan Indonesia, Ia merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam penyelenggaraan Rapat Raksasa Lapangan IKADA[1] yang mewujudkan kewibawaan pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyat Indonesia. Moeffreni adalah orang yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan Presiden dan Wakil presiden, serta menjamin keamanan acara rapat besar IKADA dari intervensi Jepang. Selain menggaungkan, Moeffreni juga turut aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada akhir September 1945, ketika kedatangan tentara sekutu (AFNEI) dan NICA untuk mengambil alih kekuasaan Jepang, Moeffreni memimpin dan melakukan perlawanan bersenjata dalam pertempuran di dalam kota Jakarta (kawasan Tanah Abang, Dukuh Sawah sekarang Jalan M.H. Thamrin, Karet Kubur dan Salemba) dengan tentara sekutu dan Belanda. Selain itu, Moeffreni memimpin Resimen VI Cikampek yang melakukan perjuangan bersenjata, menjaga tapal batas atau garis demarkasi, mengkoordinir dan membina para laskar pejuang untuk turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia di front timur Jakarta (Jakarta, Bekasi, Karawang). Pada peristiwa Linggarjati,[2] Moeffreni mendapat tanggungjawab yang berat memimpin pengamanan perundingan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan perjuangan diplomasi. Pada bulan Mei 1947 Moeffreni bertugas sebagai Direktur Latihan Perwira Divisi Siliwangi di Ngamplang Garut. Setelah Agresi Militer I Belanda,[3] Moeffreni ditugaskan kembali ke Cirebon. Selanjutnya di tahanan di Pulau Nusakambangan sebagai tawanan perang kelas berat Kri'jgsgevangenen.
Masa Setelah Perang Kemerdekaan
Moeffreni dipilih dan diangkat mewakili Golongan Karya Veteran sebagai Anggota DPRD-GR DKI Jakarta dan pada periode 1971 s/d 1977 Moeffreni menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta serta pada periode 1977 s/d 1982 Moeffreni terpilih dan diangkat sebagai anggota MPR RI.
Saat ini terdapat dua sarana monumental yang mengambarkan kepemimpinan Moeffreni Moe'min dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
1) Monumen BKR/TKR Jakarta Raya yang dibangun pada tahun 1985
2) Monumen Resimen Cikampek (Tugu Pemimpin Resimen TKR/TRI Jakarta Raya) yang dibangun pada tahun 1997
Referensi