Brigjen TNI (Purn.) Daan Jahja (5 Januari 1925 – 20 Juni 1985) adalah mantan Gubernur (Militer) Jakarta Raya dan Panglima Divisi Siliwangi. Ia memainkan peranan penting dalam menumpas aksi Kapten Westerling yang mau merebut kekuasaan negara karena tidak menerima penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949. Ia meninggal akibat serangan jantung, tepatnya pada hari lebaran atau idul fitri 1405 Hijriyah.
- Komandan Resimen IV TKR Divisi I / Tirtayasa Komandemen Jawa Barat (1945-1946).
- Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi (1946).
- Komandan Brigade III / Kian Santang Divisi Siliwangi (1946-1947).
- Komandan Brigade V / Guntur Divisi Siliwangi (1947-1948).
- Kepala Staf merangkap Pd Panglima Divisi IV / Siliwangi (1948).
- Gubernur Militer dan Komandan KMKB Djakarta Raja (1949-1950).
- Sekretaris Gabungan Kepala Staf (1951 - 1953).
- Atase Militer RI di Mesir, Syria, dan Yordania (1954 - 1956).
Latar belakang
Daan Jahja lahir dari pasangan Jahja Datoek Kajo dan Sjahrizan Jahja, asal Kotogadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya merupakan anggota Volksraad yang cukup vokal, dan orang yang pertama kali berpidato menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad bahkan sebelum sumpah pemuda dicetuskan pada tahun 1928 orasinya disampaiakan dengan berapi-api sehingga membuat orang-orang Belanda yang mendengarnya merasa panas.[2]
Perjuangan
Daan Jahja aktif terlibat pada masa-masa revolusi Indonesia. Dia bergabung dengan kelompok Prapatan 10, satu dari dua kelompok pemuda yang paling menonjol pada masa kemerdekaan Indonesia. Kelompok Prapatan 10 yang bermarkas di Jl. Prapatan 10, Jakarta merupakan pengikut Sutan Sjahrir. Sedangkan kelompok lainnya, yakni Menteng 31 menjadi pengikut Tan Malaka. Daan Jahja menjadi pemimpin dalam kelompok Parapatan 10. Pada peristiwa Rengasdengklok, Daan dan kelompok Prapatan 10 bertugas untuk membawa Mohammad Hatta ke Rengasdengklok. Sedangkan kelompok Menteng 31 pimpinan Chaerul Saleh membawa Soekarno. Kedua kelompok ini menuntut agar Soekarno-Hatta cepat-cepat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.[3]
Ia juga terlibat aktif pada saat rapat raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta.[4] Pada masa Agresi Militer Belanda II, ia ditempatkan di wilayah Sumatra. Kepada menteri pertahanan Mohammad Hatta, ia menyampaikan memorandum agar pemerintah menyiapkan pangkalan cadangan di tempat yang lebih luas yang memungkinkan pemerintah bergerak lebih leluasa untuk perang gerilya. Tempat yang disarankannya adalah Bukittinggi, Sumatera Barat, mengingat ruang gerak di pulau Jawa yang semakin sempit.[5] Saat menjabat gubernur Jakarta, Daan Jahja berhasil menyelesaikan masalah administratif pemerintahan Jakarta yang sebelumnya diatur oleh Belanda.
Meninggal Dunia
Brigjen H. Daan Jahja wafat pada tanggal 20 Juni 1985 tepat pada saat Idul Fitri 1405. Ia wafat sepulang dari Masjid Sunda Kelapa, Jakarta setelah melaksanakan salat Ied.
Catatan kaki