Masjid Bingkudu (kadang dieja atau ditulis Masjid Bengkudu dan disebut juga dengan Masjid Jamik Bingkudu) adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang didirikan oleh kaum Padri di tengah kecamuk perang Padri di Sumatera Barat pada tahun 1823.[1][2] Masjid dengan arsitektur khas Minangkabau ini terletak di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.[3] Saat mulai didirikan, bangunan masjid ini terbuat dari bahan kayu, mulai dari lantai, tiang, hingga dinding masjid.[4]
Saat ini, selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam dan sarana pendidikan agama bagi pelajar, Masjid Bingkudu juga digunakan sebagai kantor pusat Tim Koordinasi Pemberantasan Kemiskinan Jorong Bingkudu.[5] Bahkan jauh sebelumnya, telah ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Agam sebagai cagar budaya pada tahun 1989.[6] Sehingga pada tahun 1991, masjid ini mulai mengalami pemugaran secara keseluruhan.[7]
Arsitektur
Selain keasliannya yang tetap terjaga, arsitektur pada masjid ini juga sangat mudah untuk dikenali, terutama pada bentuk atap yang terdiri dari 3 tingkatan dengan sedikit cekungan.[8] Saat mulai didirikan, masjid ini memakai sistem pasak, yaitu pola bangunan yang tidak menggunakan paku pada setiap sambungan kayu.[4]
Bangunan masjid yang terletak di kaki gunung Marapi pada ketinggian 1.050 m di atas permukaan laut ini, dibangun di sebidang tanah seluas 60 x 60 meter persegi, dengan luas bangunan 21 x 21 meter.[9] Sedangkan tinggi bangunan dari permukaan tanah sampai ke puncak (atap) adalah sekitar 19 meter. Masjid ini memiliki konstruksi bangunan yang terbuat dari kayu dengan tatanan atap bertingkat 3 berbahan ijuk.[8] Seperti halnya Rumah Gadang, bangunan masjid ini memiliki kandang atau kolong setinggi 1,5 meter.[6]
Ruang utama
Ruang utama masjid ini berbentuk persegi berukuran 21 x 21 meter.[10] Tiang utama terletak di tengah ruang utama berbentuk segi enambelas dengan diameter 75 cm.[11] Sedangkan tiang-tiang di sekeliling tiang utama berbentuk segi duabelas dengan diameter 30 sampai 40 cm.[3] Terdapat pula 5 tiang pada bagian mihrab masjid ini, dengan mihrab terletak di sebelah barat yang sedikit menjorok keluar.[9]
Ruang utama juga dihiasi dengan lampu gantung kuno dan beberapa lampu dinding yang terpasang pada setiap tiang di dalam masjid.[10] Lampu-lampu tersebut berfungsi sebagai penerang sekaligus aksesoris masjid.[12] Selain itu, pada bagian depan ruang utama terdapat mimbar tua yang tahun pembuatannya dapat dirujuk dari tulisan angka 1316 Hijriah (sekitar tahun 1906) pada bagian mahkota mimbar.[9] Mimbar berbentuk huruf "L" tersebut terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan tangga naik dan tangga turun yang sengaja dibuat terpisah, dengan tangga naik dibuat menghadap ke depan sedangkan tangga turun mengarah ke samping.[7]
Pintu masuk ruang utama terdapat di sebelah timur. Di dalamnya terdapat 53 buah tiang berdiameter antara 30–40 cm dengan bentuk segi duabelas dan enambelas, juga terdapat sebuah tiang sebagai tonggak macu yang terdapat di tengah-tengah berbentuk segi enambelas berdiameter 75 cm. Di dalam masjid terdapat sebuah lampu gantung kuno dan beberapa buah lampu dinding kuno yang terpasang pada tiang-tiang masjid. Hiasan ukiran terdapat pada tiang-tiang bagian atas dan pada balok pengikat antara satu tiang dengan tiang lainnya merupakan kekhasan Masjid Bingkudu.
Mihrab masjid terdapat di sebelah barat menjorok keluar dari bangunan utama. Mimbar masjid tidak terdapat di dalamnya, tetapi terletak di depannya. Mimbar terbuat dari ukiran kayu dengan hiasan warna keemasan dibuat tahun 1906, berbentuk huruf 'L.' Memiliki tangga naik menghadap ke depan dan tangga turun mengarah kesamping. Pada bagian kiri dan kanan tangga tersebut terdapat pipi tangga berukir dengan motif sulur-suluran. Pada mahkota mimbar terukir kaligrafi, dan pada bagian atas juga ditemukan tulisan angka 1316 H (1906 M).
Menara
Masjid Bingkudu dilengkapi dengan sebuah menara yang dibangun sekitar tahun 1957.[12] Menara dengan tinggi 11 meter ini terletak di depan masjid yang dirancang seperti kubah dengan bentuk lingkaran persegi delapan.[3] Di dalam menara terdapat 21 anak tangga yang memutar ke arah kiri. Menara tersebut merupakan pengganti menara lama yang letaknya terpisah dari bangunan utama di utara.[10] Sebelum disambar petir, menara lama memiliki 100 anak tangga, kemudian dipotong dan dialihfungsikan sebagai rumah garin dan tempat musyawarah tokoh masyarakat sekitarnya.[11]
Pemugaran
Sebelumnya, atap ijuk pada masjid ini sempat diganti dengan seng pada tahun 1957.[4] Penggantian tersebut dilakukan oleh masyarakat setempat mengingat kondisi atap ijuk yang telah lapuk dimakan usia. Kemudian 2 tahun setelah masjid ini ditetapkan sebagai cagar budaya dan diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Agam pada tahun 1989, masjid ini mengalami pemugaran secara keseluruhan. Sehingga atap masjid yang telah diganti menjadi seng dikembalikan ke ijuk, dan bagian-bagian yang lapuk diganti lalu dicat lagi sebagaimana aslinya.[10]
Pemugaran masjid ini sendiri pada tahun 1989 dilakukan oleh Proyek Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat dengan jenis pekerjaan pembongkaran dan pemasangan kembali atap, plafon, jendela, dan menara.[7] Kemudian dilanjutkan dengan pemugaran 1 makam, tempat wudu, mimbar, mihrab, kolam, pemasangan penangkal petir pada menara, penataan lingkungan, pengecatan ulang, dan pembuatan pintu gerbang.[9]
Bedug
Sebelum pengeras suara ada, masjid-masjid di Indonesia umumnya menggunakan bedug sebagai penananda masuknya waktu salat. Bedug dipukul ketika waktu untuk salat tiba, kemudian akan dilanjutkan dengan kumandang azan. Seperti masjid tua lainnya di Indonesia, masjid ini juga memiliki bedug atau disebut tabuah dalam bahasa Minang. Masjid ini memiliki bedug dengan diameter 60 cm dan panjang mencapai 3,1 meter, terbuat dari pohon kelapa dengan penutup dari kulit sapi.[7] Sebagai salah satu budaya Islam Indonesia, keberadaan bedug di masjid ini masih tetap dipertahankan.
Sarana dan fasilitas
Tempat wudu masjid ini berbentuk persegi panjang yang dibuat terpisah dari bangunan utama di selatan. Di sekitarnya, terdapat 3 kolam ikan.[4] Tidak jauh dari kolam-kolam tersebut, terdapat makam Syekh Ahmad Taher, ulama setempat yang dikenal sebagai pendiri sekolah pendidikan Islam Miftahul Ulumi Syar'iyah[11] yang meninggal pada tanggal 13 Juli 1962.
Selain tempat wudu dan kolam ikan, masjid ini dilengkapi pula dengan fasilitas pendukung lain seperti tempat parkir. Selain itu, beberapa sarung dan mukena juga telah disediakan di dalam masjid bagi jamaah perempuan yang ingin menunaikan ibadah salat namun tidak membawa perlengkapannya.[7]
Referensi
Lihat pula
Pranala luar