Di Lunang ini terdapat keluarga Mande Rubiah yang dipercaya merupakan keturunan Bundo Kanduang, seorang raja perempuan Minangkabau yang menyelamatkan diri dari musuhnya yang menyerang Pagaruyung dari Timur. Ia menyelamatkan diri bersama anak dan menantunya ke daerah ini. Hingga kini masih didapati makam keluarga Kerajaan Pagaruyung di nagari Lunang dan juga sebuah rumah gadang yang tak lain adalah istana Bundo Kanduang yaitu Rumah Gadang Mande Rubiah.
Di Lunang ini mayoritas didiami oleh pecahan Suku Malayu yang secara historis merupakan keturunan dari pendatang dari Sungai Pagu dan daerah lain di sekitar Lunang. Selain itu juga terdapat Suku Caniago di nagari ini. adapun nama-nama suku di Nagari Lunang adalah: Malayu, Malayu Gadang Rantau Kataka, Malayu Gadang Kumbuang, Malayu Durian / Rajo, Malayu Kecik, Malayu Tangah, Caniago Patih dan Caniago Mangkuto.
Mande Rubiah sekarang bernama kecil Rakinah. suaminya bernama Suhardi Sutan Indra (suku Malayu Gadang Rantau Kataka) dan tujuh orang anak (enam putera dan satu puteri) ; Mar Alamsyah Sutan Daulat, Zulrahmansyah Daulat Rajo Mudo, Noval Nofriansyah Sutan Daunu, Marwansyah, Zaitulsyah, Heksa Rasudarsyah, Naura Puti Kabbarasti. Sedangkan keturunan dari Dang Tuanku Remendung yang jejaknya tak terekam oleh pagaruyung atas permintaan bundo kanduang sendiri dengan mengatakan bahwa ia dan keturunannya sudah mengirap ke langit untuk mengelabui raja Tiang bungkuk yang mengejarnya sampai ke pagaruyung (kisah Cindur Mato).[3][4]
Setelah meninggalkan pagaruyung dang menghilang, bundo kanduang kembali ke lunang tempat asal nenek moyangnya, adityawarman. Sementara Cindur Mato putra juru kunci Istana (dan masih keponakannya) diperintahkan untuk naik tahta menggantikan Dang Tuanku Remendung sebagai putra mahkota alam minangkabau. Bundo kanduang mengirap (hijrah) agar tak terjadi pertumpahan darah yang lebih besar karena pertikaiannya dengan raja Tiang Bungkuk yang menewaskan anaknya Rangkayo Imbang Jayo (dalam kisah Cindur Mato). Lunang dan Renah Sekalawi berjarak kira-kira 40 km, Dang Tuanku Remendung, melahirkan dua orang anak yakni Sutan Sarduni dengan gelar Rio Mawang dan Putri Sariduni
Saat dewasa pangeran Sutan Sarduni pergi mencari asal usul keluarganya ke renah sekalawi, dan ia menemukan kakeknya masih hidup dan menjadi raja jang pat petuloi ke I di Sekalawi. Akhirnya kakeknya Rajo Mudo gelar Megat Sutan Saktai Rajo Jonggor turun tahta digantikan oleh cucunya Sutan Sarduni gelar Rio Mawang sebagai Raja Jang Tiang Pat ke II, oleh karena Bundo Kanduang ingin menghapus jejak keturunannya dari kejaran Raja Tiang Bungkuk, seluruh keturunan Dang Tuanku Sutan Remdungpun menggunakan dua bahasa, Melayu Minang, dan bahasa yang berkembang direnah Sekalawi yang penduduknya berasal dari pendatang Serawak Kalimantan, Cina, dan Majapahit. Jadi keturunan Dang Tuanku Sutan Remendung masih berada di Renah Sekalawi (Lebong sekarang) bisa dilihat dari tambo-tambo yang turun temurun yang terdapat di Suku VIII (Azhari Moeis, Desa Semelako dan Suku IX Muara Aman.
Sebelum tahun 70 an daerah ini menutup diri dari dunia luar. Tahun 1971, wali nagari dan tokokh2 Masyarakat kampung dan perantau mengusulkan kepada bupati Pessel waktu itu Drs. Abrar, daerah ini diusulakan ke pemerintah pusat sebagai penerima Transmigrasi dari pulau Jawa. usulan tersebut tereleasasi pada tahun 1973. Semenjak itu terjadi akulturasi antara suku jawa dan minang yang saling menghargai. Secara berangsur perekonomianpun mulai membaik. kebudayaan pun ikut berkembang.[5][6]
Di zaman kekuasaan Kesultanan Inderapura, nagari Lunang berada dibawah penguasaan Kesultanan Inderapura.
Lunang berpotensi menjadi daerah tujuan wisata sejarah dan budaya di Sumatera Barat dengan dijadikannya rumah gadang Mande Rubiah sebagai museum oleh Pemerintah Daerah Pesisir Selatan pada 8 Maret 1980 oleh Muskala Kanwil P&K Provinsi Sumatera Barat dan lebih dikenal dengan nama Rumah Gadang Mande Rubiah.[7]
Rumah Gadang yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14 dan pemiliknya memiliki hubungan dengan Kerajaan Pagaruyung ini menjadi potensi besar pariwisata Lunang. Juga dilakukan pemugaran terhadap situs-situs sejarah di Lunang.
Selain itu dari segi ekonomi, Lunang berpotensi karena lahan perkebunan kelapa sawit di daerah transmigran Lunang dan Silaut. dengan luas perkebunan sebesar 6 378,00 Hektar pada tahun 2020.[8] Lunag merupakan wilayah yang berpotensi besar untuk meraup kesuksesan melalui niaga komoditas kelapa sawit. Namun, saat ini Lunang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. oleh sebab itu, Lunang dapat dikatakan sebagai Macan Minang yang sedang tertidur. Namun, tahun demi tahun Lunang menunjukkan progresnnya dalam membangunkan jiwa Macam Minang tersebut.
Selain itu dibangunlah Sentra IKM Minyak Atsiri untuk menunjang produksi minyak serai dari komoditas serai yang dihasilkan oleh petani-petani serai harum di Lunang, yang bertujuan agar menghasilkan serta memperluas lapangan pekerjaan di Lunang, dan Nagari Lunang terkhususnya.
Usulan pemekaran telah masuk dan dibahas oleh DPR RI, namun sampai saat ini belum juga disahkan. Saat ini masyarakat masih menunggu RUU tentang pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Renah Indojati disahkan menjadi UU sehingga Renah Indojati menjadi kabupaten sendiri dan terpisah dari Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan Ibu kota Kabupaten berada di Bukit Buai, Nagari Bukit Buai Tapan, Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan.[10][11]