Mande Rubiah

Mande Rubiah VII kecil

Mandeh Rubiyah, Mande Rabiyah, atau Mande Rubiah, hanya penulisan dan penyebutannya saja yang berbeda pada hal maksudnya sama. Untuk selanjutnya dipakai saja nama Mande Rubiah. Dalam perjalanan riwayatnya, baik yang terdapat dalam kisah-kisah kaba atau hikayat, maupun yang hidup ditengah-tengah masyarakat tradisi, khususnya di kalangan masyarakat tradisi pesisir pantai Sumatera Barat.

Mande Rubiah, adalah gelar kehormatan yang cukup terpandang untuk seorang wanita seperti juga gelar Bundo Kandung bagi seorang raja atau pemimpin wanita di Minangkabau pada masa dahulu.

Dalam versi Istana Basa Pagaruyung menoktahkan bahwa Puti Indo Jalito adalah Bundo Kanduang yang sebenarnya. Namun dalam versi Dharmasraya, Dara Jingga ibu Aditiyawarman adalah Bundo Kandung yang sebenarnya. Kemudian ada lagi versi Lunang yang mengklaim bahwa Mande Rubiah adalah Bundo Kandung yang sebenarnya. Versi kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu juga turut meramaikan bahwa keturunan Puti merekalah yang Bundo Kandung (tapi versi ini dapat dibedakan dengan kalimat nan naiek ateh jambangan-jambangan di Sungai Pagu).

dapat disimpulkam bahwa Bundo Kanduang adalah personifikasi etnis sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan sulung atau yang dituakan dalam suatu suku di Minangkabau. Jadi, Bundo Kanduang adalah gelar, bukan personal orang. Sah-sah saja semuanya kalau begitu, bahkan Rahmah El Yunisiah dan Rohana Kudus juga mendapatkan gelar ini.[1]

oleh sebab itulah dapat dikatakan bahwa, Mande Rubiah adalah personifikasi etnis sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan sulung atau yang dituakan dalam suatu suku di Minangkabau dalam versi Lunang yang sekaligus merupakan gelar Ratu Kerajaan Minangkabau Terakhir (Lunang).

Latar Belakang Gelar

Rumah Gadang Mande Rubiah memiliki hubungan dengan kerajaan Pagaruyuang, Sekitar tahun 1520 M Raja Perempuan Minangkabau yaitu Bundo Kanduang beserta keluarga dan pengikutnya mengirab (hijrah) dari Pagaruyuang ke Tanah Menang (Nagari Lunang). Gelar Bundo kemudian berganti menjadi Mande Rubiah. Nama-nama suku, gelar raja dan ratu pun ikut berganti. awal mulanya ialah pada Kaba Cindua Mato

Kaba Cindua Mato

Di dalam kaba Cindua Mato, kedua orang tokoh utama Rio Depati dan anaknya Rio Agung Muda disebut dengan nama Tiang Bungkuk dan anaknya Imbang Jayo, yang menyerang Pagaruyung karena keinginan Imbang Jayo untuk mempersunting anak Tuanku Bagindo Rajo Mudo adik Bundo Kandung dari Ranah Sekelawi yang telah bertunangan dengan Dang Tuanku digagalkan oleh Cindua Mato.

Menurut A. Chaniago Hr,(alm) (Singgalang Minggu, l989) menuturkan bahwa Puti Panjang Rambut juga disebut dengan nama Putri Linduang Bulan. Ia menikah dengan Bujang Salamat dan lahirlah Raja Sri Mandul, di dalam cerita Raja Muda. Sedangkan dalam kaba Cindua Mato disebut Puti Tuo dengan gelar Bundo Kanduang. Seperti di dalam cerita Raja Muda, Puti Tuo juga menikah dengan Bujang Sala mat yang dituturkan melalui cerita kias memanjat pohon nyiur gading. Sedangkan dalam Ceritera Poyang Prahmata (Curito Poyang Peghahmato) disebut Puti Panjang Rambut yang menikah dengan Hyang Indojati bergelar Anggun Nan Cendai. Adiknya disebut Raja Megat yang jadi Raja Muda di Ranah Sikalawi.[2]

Cerita Poyang Peghahmato ataupun Kaba Cindua Mato dan cerita Raja Muda merupakan cerita yang mengisahkan mulai suramnya Wangsa Malayu (Malayupura) pada pertengahan abad ke 15. Namun di masa pemerintahan Puti Panjang Rambut masih berhasil dipatahkan suatu penyerbuan yang dilakukan bajak laut Cina yang memisahkan diri dan bergabung dengan kelompok bajak laut lainnya yang berada di Kiu Lang (Pelabuhan Lama Palembang) yang waktu itu dipimpin Ch’en Tsu Yi. Pemimpin besarnya adalah Liang Tau Ming.

Bajak laut Cina itu ditundukkan oleh tentara Cina sendiri, atas permintaan para pembesar Palembang. Pemimpin tentara Cina waktu itu adalah Laksamana Cheng Ho, seorang penganut Islam yang taat. Sekelompok bajak laut Cina menyingkir ke Pasemah dengan pasukan nya, sementara seorang pemimpinnya bersama putranya meninggal kan kawasan itu terus masuk ke Ranah Sikalawi. Dari sini ia terus ke Ulu Rawas, tempat sebuah kerajaan kecil yang bernama Sungai Ngiang. Disini pemimpin bajak laut Cina yang lari itu dikenal sebagai Rio Depati ( (Tiang Bunkuak) sedangkan putranya Rio (Agung) Muda dikenal sebagai Imbang Jayo

Dan di Sungai Ngiang pulalah Tiang Bungkuk dan Imbang Jayo tampil menggagalkan perampokan yang dipimpin Rio Jenang, bersama kakak nya Rio Centang. Rio Jenang menyerah, dan saat itu Tiang Bungkuk bersama putranya Imbang Jayo diminta oleh Raja Sungai Ngiang untuk menetap di negerinya. Bahkan Tiang Bungkuk diambil jadi menantunya, dinikahkan dengan putrinya bernama Putri Sabuni Burung Berkicau. Dari perkawinan ini lahirlah Putri Ratna Intan Patidewi

Di dalam Kaba Cindua Mato disebut Putri Ranit Jintan, sedang kan dalam Cerita Raja Muda adalah putri dari Raja Muda sendiri dengan Putri Bungsu yang dilahirkan oleh Putri Ratna Kuntum Sari. Rio (Agung) Muda di dalam Kaba Cindua Mato disebut Imbang Jaya, sedangkan di dalam cerita Raja Muda disebut Imbangan Jajar dari negeri Cempaka Sari. Rio Centang disebut Lalat Tuo atau Si Jelatang Sirah, di dalam kaba Cindua Mato, Rio Jenang dan Rio Centang dise but Si Langkaneh. Rio Depati kemudian berperanan penting setelah wafatnya Raja Sungai Ngiang. Karena tidak adanya putra lelaki, maka takhta menjadi hak Putri Sabuni Burung Berkicau.

Atas dasar inilah Tiang Bungkuk menguasai takhta kerajaan, dan sebagai putra mahkota adalah Imbang Jayo yang bertekad mengimbangi kejayaan Minangkabau, sehingga dalam Kaba Cindua Mato disebut namanya sebagai Imbang Jaya, dan dalam Cerita Raja Muda, disebut dengan Imbangan Jajar, yakni mengimbangi sehingga sejajar dengan Minangkabau. Rio Depati kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada putranya dan ia sendiri bersunyi diri ke Gunung Gedang. Imbang Jayo dengan mengandalkan pasukan Rio Jenang dan Rio Centang kemu dian melakukan perluasan wilayah, merebut Sialang Koto Rukam ibu kota Ranah Sikalawi. Imbang Jayo memaksa Raja Megat untuk mengawinkan putrinya Putri Ratna Kemala Selendang Dunia yang disebut juga Putri Maharani, dengan dirinya.

Kerajaan Tiang Bungkuk pun menjadi-menjadi hingga mengusik wilayah Tanah Minangkabau.

disisi lain, Cindua Mato dan Dang Tuangku adalah dua sahabat yang tumbuh bersamaan. Dang Tuangku adalah putra pewaris kerajaan Pagaruyuang, sedangkan Cindua mato tumbuh menjadi kesatria yang kelak menjadi hulubalang di kerajaan sekondannya tersebut.

Beranjak dewasa, keduanya tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan gemar bermain di gelangang. Suatu ketika, keduanya hadir di gelanggang perhelatan Datuk Bandaro. Dang Tuangku hadir mewakili Bundo Kanduang, yang memimipin kerajaan Pagaruyuang masa itu. Saat Dang Tuangku tengah bertemu dengan yang punya helat, Cindua Mato mendengar berita miring tentang Puti Bungsu di Renah Sekalawi, tunangan tuannya (Dang Tuangku) akan dipersunting oleh Imbang Jayo.

Dang Tuangku bukan tak mendengar bisik-bisik di gelanggang, Ia pulang dengan marah memuncak. Kabar itu ternyata benar adanya, setelah Bundo Kanduang menerima undangan kenduri Imbang Jayo dan Putri Bungsu, tunangannya.

Cindua Mato kemudian diutus Bundo Kanduang untuk mengantarkan seserahan dan hadiah pernikahan, mengingat anaknya Dang Tuangku tentu tidak mungkin bisa mengantarkan hadiah untuk pernikahan tunangannya sendiri. Dengan berat hati Cindua Mato menaati perintah kerajaan, Ia tak sampai hati akan nasib mandan-nya, Dang Tuangku.

Sampai di pesta pernikahan, Cindua Mato menggunakan ilmunya dan memanipulasi cuaca. Terjadilah badai besar membawa hujan lebat sehingga membanjiri perhelatan tersebut. Momen tersebut digunakan Cindua Mato untuk menculik Putri Bungsu, kemudian dibawa lari ke Pagaruyuang.

Tindakan Cindua Mato tentu mengundang peperangan. Benar saja, kemudian Imbang Jayo dan pasukannya datang mengepung Pagaruyuang. Dang Tuangku, yang merencanakan penculikan dari awal pun sudah siap menunggu pasukan perang tersebut.

Terjadilah peperangan antara dua kerajaan tersebut. Singkat cerita, Imbang Jayo tewas dalam gencatan senjata tersebut. Kemudian untuk sama-sama meenghindari pertumpahan darah, peperangan akan digantikan dengan duel oleh pendekar masing-masing pihak. Jadilah kemudian Cindua Mato mewakili kerajaan Pagaruyuang berhadapan dengan Tiang Bungkuak.

Naas, kemudian Cindua Mato kalah. Ia harus membayar mahal kekalahannya, Ia kemudian diseret menjadi budak Tiang Bungkuak, Pagaruyuang dibakar habis rata dengan tanah, Dang Tuangku dan Bundo Kanduang lari dari Pagaruyuang.

Menjadi budak ternyata adalah salah satu trik Cindua Mato. Ia sebenarnya ingin mengetahui kelemahan tuannya, Tiang Bungkuak. Benar saja, kemudian, dengan bantuan air sirih penanya, diketahui bahwa satu satunya senjata yang bisa melukai Tiang Bungkuak adalah keris milik tuannya tersebut.

Saat tuannya tidur, Cindua Mato mencuri keris tersebut. Kemudian menghabisi nyawa tiang bungkuak dalam sebuah duel. Kematian tiang bungkuak membebaskan status budak yang melekat pada dirinya, sehingga ia bisa kembali ke kerajaan Pagaruyuang.

Pewarisan Gelar

Mande Rubiah VII

Gelar Mande Rubiah ini disematkan pada orang yang menjabat sebagai Ratu di Lunang. Yang menjabat saat ini adalah keturunan ke-7 yang diberi gelar Mande Rubiah. Mande Rubiah yang sekarang bernama Rakinah. Oleh karena itu, kepemilikan dan pengelolaan Museum Mande Rubiah beserta Rumah Gadang Mande Rubiah (Kerajaan Lunang) saat ini dipegang oleh Keluarga Mande Rubiah. Koleksi yang ada di museum berupa benda-benda peninggalan para pewaris Rumah Gadang Mande Rubiah terdahulu.[3]

Mande Rubiah sekarang bernama kecil Rakinah. suaminya bernama Suhardi Sutan Indra (suku Malayu Gadang Rantau Kataka) dan tujuh orang anak (enam putera dan satu puteri) ; Mar Alamsyah Sutan Daulat, Zulrahmansyah Daulat Rajo Mudo, Noval Nofriansyah Sutan Daunu, Marwansyah, Zaitulsyah, Heksa Rasudarsyah, Naura Puti Kabbarasti.

Referensi

  1. ^ Sumbar, Top (2022-01-30). "Mande Rubiah: Tokoh Kontroversi Minangkabau". Top Sumbar. Diakses tanggal 2023-12-12. 
  2. ^ "Beberapa Versi Tentang Kaba Cindua Mato: Bagian Dari Tulisan "Kaba dari Pasisie : Anak Bayang Maanta Angin"". Boy Yendra Tamin. Diakses tanggal 2023-12-12. 
  3. ^ Rusmiyati, dkk, Rusmiyati, dkk (2018). Katalog Museum Indonesia Jilid I (PDF). Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. hlm. 76. ISBN 978-979-8250-67-5.