Kelenteng Kiem Hien Kiong
Kelenteng Kiem Hien Kiong adalah sebuah Tempat Ibadah Tridharma (Konghucu, Buddha, dan Taoisme) yang terletak di Kampung Pecinan, Kelurahan Pulopancikan, Gresik, Kabupaten Gresik, Jawa Timur; berada disebelah tenggara Alun-alun Gresik dan timur Pendopo Bupati Gresik. Kelenteng ini sebagai salah satu T.I.T.D tertua di Pulau Jawa yang telah berdiri sejak tahun 1 Agustus 1153 Masehi dan menjadi saksi bisu perkembangan Gresik sebagai kota pelabuhan. Arsitek pembangunannya berasal dari Guangdong, Tiongkok, untuk jam buka setiap hari mulai pukul 07.00 pagi hingga 10.00 malam.[1]
Dewi yang dipuja di Kelenteng ini adalah Dewi Ma Co Thian Siang Seng Boo (Dewi Samudra / Dewi Laut / Dewi Pelayaran).[2]Setiap tahun pada hari raya Imlek di kelenteng ini dilakukan dengan ibadah atau sembahyang bersama. Setelahnya ada pertunjukan Barongsai yang akan digelar saat penutupan Tahun Baru Cina atau saat perayaan Cap Go Meh. SejarahMasa Orde BaruSelama era Orde Baru di Indonesia, hanya lima agama (Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, dan Buddha) yang diakui oleh negara. Persyaratan untuk penggunaan tempat ibadah pada masa itu harus sesuai dengan salah satu agama yang diakui. Agama Konghucu, misalnya, tidak diizinkan secara resmi dan seringkali disamakan dengan agama Buddha. Banyak kelenteng (tempat ibadah) ditutup atau diubah menjadi wihara karena dianggap tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Akibat tekanan tersebut di Kota Surabaya masih terdapat kelenteng yang menggunakan unsur Agama Buddha yakni Kelenteng Suka Loka. Namun, angin segar datang pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di bawah kepemimpinannya, pengakuan resmi terhadap Agama Konghucu diberikan pada tahun 2000, sehingga komunitas Konghucu dapat merayakan Imlek secara terbuka. Meskipun begitu, banyak umat Konghucu yang tetap mencantumkan agama Buddha pada KTP mereka karena proses administrasi yang rumit. Struktur KelentengSaat memasuki bangunan utama Kelenteng, pengunjung disambut oleh sepasang patung Qilin di sisi kanan dan kiri pintu. Qilin perempuan di sisi kanan membawa bayi, sementara Qilin laki-laki di sisi kiri membawa sebuah bola. Dalam mitologi Tiongkok, Qilin dipercaya sebagai hewan pelindung dari bahaya. Di tengah ruangan, terdapat sebuah hiolo berwarna keemasan dengan ornamen naga di keempat kakinya. Hiolo ini berbentuk belanga besar dan digunakan sebagai tempat penancapan hio (dupa dari tanah liat yang dibakar). Di belakang patung Qilin, lilin raksasa berwarna merah yang dapat menyala selama beberapa bulan ditempatkan, dengan altar pemujaan yang dihiasi aneka buah-buahan di tengahnya. Di bagian atap, lampion berjajar memenuhi langit-langit, sementara lilin-lilin terus menyala di setiap sudut ruangan. Sisi depan altar ini dikenal sebagai Altar Thian Khong, dengan ukiran yang menunjukkan tahun berdirinya kelenteng yaitu 1 Agustus 1153. Para umat biasanya bersembahyang di altar ini terlebih dahulu sebelum berpindah ke altar lainnya. Memasuki ruangan bagian dalam, terdapat Altar Ma Co Thian Siang Seng Boo di tengah, Altar Dewa Kwan Kong di kanan, dan Altar Dewi Kwan Im Po Sat di kiri. Ketiga altar ini mewakili Tri Dharma: Taoisme, Konghucu, dan Buddha. Dinding ruangan dilapisi keramik yang menggambarkan kisah "Sam Kok," hasil sumbangan umat. Di sisi kiri kelenteng, terdapat panggung Wayang Potehi, peralatan sembahyang, etalase dokumen, kereta tandu, dan halaman luas. Bangunan serbaguna di belakangnya berisi alat musik dan kitab, serta digunakan sebagai tempat istirahat tamu dengan fasilitas lengkap. Bangunan di sisi kanan kelenteng memiliki aroma harum dan menjual peralatan sembahyang. Di sini juga terdapat altar Tri Nabi (Buddha, Lao Tze, Khong Hu Cu), altar Kong Co Toa Pek Kong, altar Pek Ho Ya, dan altar Kong Jai Sen Yak. Tempat ini juga digunakan untuk upacara pernikahan umat.[3] PersembahyanganCiam Si di Klenteng Kim Hin Kiong adalah metode pengobatan dan peramalan nasib dari para dewa, yang dilakukan di altar Ma Co setelah sembahyang. Ritual ini dimulai dengan menyebut nama dan maksud kedatangan, lalu mengocok tabung Ciam Si hingga satu bilah bambu terlempar. Nomor pada bambu tersebut harus dikonfirmasi dengan melempar dua bilah kayu poapoe. Setelah mendapat persetujuan, resep obat dapat diambil dari rak khusus dan ditebus di Surabaya, dikenal sebagai racikan obat dewa dari tanaman herbal. Selain untuk pengobatan, Ciam Si juga digunakan untuk meramal nasib saat Imlek dan meminta pertolongan dalam masalah jodoh, karir, dan keluarga. Pak Cien menceritakan pengalaman saat pamannya sembuh setelah mengonsumsi obat dari resep Ma Co. Meskipun pamor Ciam Si menurun, masih ada orang dari luar kota yang datang untuk memohon petunjuk di Klenteng Kim Hin Kiong.[3] Lihat PulaGaleriReferensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia