Sejak kedatangan orang-orang Portugis pada abad ke-16, pelabuhan Porto-Haria makin ramai. Masyarakat Haria yang masih tinggal di pegunungan ramai turun ke pantai dan bergaul serta berniaga dengan orang Portugis.[2] Kemudian terjadilah perintahh untuk merelokasi negeri-negeri di pegunungan ke pantai pada masa VOC, maka semua penduduk Haria di gunung turun dan mendirikan permukiman baru. Permukiman itu disebut sebagai aria yang dalam bahasa Tana berarti pergi ke pantai. Pendapat lain mengatakan, ada kemungkinan nama Haria berasal dari orang Portugis yang menyebutkan daerah pelabuhan itu sesuai dengan daerah asal mereka di Haria, Portugal.[3]
Negeri haria dalam bahasa portugis
Menurut F.Souisa nama Negeri Haria berasal dari kata aria yang dalam Bahasa Portugis bermakna tali. Pada suatu masa, orang-orang Portugis membuang sauh (berlabuh) akibat cuaca dan gelombang yang keras. Ketika mereka mencoba memaksa kembali berlayar kapal mereka kandas. Untuk melepaskan kapal tersebut mereka harus bekerja keras dan sering kali mengucapkan kata aria yang didengar oleh penduduk setempat. Mereka mendengarnya sebagai haria. Oleh karena itu, sejak saat itu daerah pesisir yang sekarang menjadi Negeri Haria dinamakan sebagai Haria.[4]
Sejarah
Nusa hanjo
Negeri Haria yang pertama bernama Nusahunjo dan negerinya letak di tempat lain. Kapitan Loupatty datang dengan 4 fam dari Seram ke gunung Hatu-Hahul. Empat fam tersebut yakni Loupatty sendiri, Parinussa, Sarimolle, dan Tamaela. Pada suatu waktu, kapitan Loupatty yang bernama Pattiiju berjalan-jalan di Nusa Hanjo dan bertemu dengan seorang berpakaian kapitan. Kapitan Loupatty berhadapan dengan orang itu dan keduanya mulai berkelahi. Dalam perkelahiannya kapitan Loupatty tidak mampu mengalahkan lawannya. Kedua-duanya sama kuat. Sehingga kapitan itu disebut sebagai Kapitan Hattu yang artinya keras seperti batu. Tempat pertarungan mereka dinamai sebagai Apapa yang berasal dari kata apa, kata yang dipakai oleh kedua kapitan untuk saling berseru saat mereka bersua dan bersiap untuk bertarung. Kemudian keduanya mulai berkawan dan mengadakan aliansi. Mereka lantas berpisah di tempat bernama Patae. Kapitan Loupatty memerintahkan kapitan Hattu untuk pergi ke Nusa Hanjo. Sedangkan ia sendiri berjalan terus guna berjumpa dengan pendatang dari Pulau Seram. Dalam perjalanan dia beristirahat untuk makan bekal yang ada. Sementara mau makan, ternyata tidak ada ikan. Tiba-tiba ada burung yang bernama goheba dengan seekor ikan di mulutnya. Tiba-tiba ikan itu jatuh dari mulutnya dan ikan itu diambil oleh Kapitan Loupatty. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamai Yano yang berarti ikan.
Negeri amano
Ketika marga sudah mulai banyak, maka mereka pergi ke tempat yang kedua yang bernama Amano. Amano ini dianggap sebagai salah satu negeri lama Haria yang artinya tempat yang aman. Negeri lama digunung ini disebut dengan nama Teo (nama adat) yaitu Leiwaka Amapati. Leiwaka artinya datang jaga; Ama/aman artinya Negeri (desa); Pati artinya Raja atau pemimpin. Jadi Leiwaka Amapati artinya Negeri yang dijaga dan diperintah oleh seorang Pati (Raja). Di sana sudah tinggal Kapitan Bastian Latupeirissa. Pada saat itu mereka menyangka bahwa Kapitan Latupeirissa telah memakan babi yang mereka buru. Kapitan Latupeirissa merasa malu lalu lari bersembunyi dekat kolam di sekitar Tanjung Hatualani. Oleh karenya Kapitan Latupeirissa dijuluki sebagai Kapitan Lahuni. Dikisahkan bahwa pada suatu masa masyarakat Amano diserang wabah penyakit. Kapitan Loupatty berinisiatif mencari Kapitan Latupeirissa dengan bantuan seekor anjing. Anjing itu kehausan dalam perjalanan. Dengan kesaktiannya, Kapitan Loupatty menikamkan tombak ke tanah dan secara ajaib muncullah mata air yang memancar. Mata air tersebut sekarang bernama Waehuhu.
Negeri haria
Pada zaman Portugis, kapitan Loupatty dan kawannya yaitu Patih Sakaroni turun ke pantai cari tempat kediaman yang baru. Mereka turun dari Amano dan bermukim di tempat yang sekarang menjadi Negeri Haria. Negeri Haria itu pula mereka sematkan nama adat atau teon yang berbunyi Leawaka Amapatti. Leawaka Amapatti sebagai negeri yang baru di tepi pantai diperintah oleh Patih Sakaroni dan nanti oleh keturunannya. Patih Sakaroni menurunkan fam Manuhutu. Salah seorang keturunan beliau yang bernama Narayai menyusun sturktur pemerintahan adat bagi negeri yang baru itu. Menurut struktur tersebut, Kapitan Loupatty berkuasa sebagai raja di hutan atau gunung, sedangkan Patih Sakaroni berkuasa di pantai.Ketika Negeri Leawaka di pantai sudah siap untuk dihuni, maka batas-batas antara Haria dengan negeri tetangga diperjelas. Kapitan Loupatty menikam tanah yang menjadi batas antara Haria dengan Porto. Kapitan Hattu menikam tanah di sekitar Air Salobar, tak jauh dari negeri lama.
Bergabungya pulau molana
Setelah itu batu pamali negeri dipindahkan dari Amano dan di depan batu tersebut diadakalah pembangunan rumah adat atau baileu. Baileu Haria sendiri dinamai Palapesi Ruma Toru. Menurut cerita baileu itu dibangun tahun 1571. Pada masa yang bersamaan dengan innaugurasi baileu Haria, Kapitan Loupatty memanggil tiga fam yang berdiam di Pulau Molana. Mereka adalah Souissa, Kaya, dan Kainama. Atas panggilan dari kapitan Loupatty mereka turun dari Molana ke Negeri Haria dan bergabung menjadi orang Haria. Setelah negeri Haria sudah mempunyai kedudukan yang tetap, maka kapitan Loupatty berjalan di wilayah Negeri Haria, lalu dia tiba di satu tempat yang disebut Sempurna yang artinya "Selesai", menandakan selesainya upaya pembangunan negeri yang baru di pesisir.
Geografi
Secara geografis, negeri Haria terletak pada 30
29’17” -303739” LS dan 1280 32’43”-128043’49”.
Negeri Haria memiliki
luas 1.900Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 6.607 jiwa dari
1.400 kepala keluarga.
Negeri Haria memiliki wilayah yang sangat strategis sebab
merupakan kota pelabuhan, menjadi titik penghubung antar pulau
yang dilengkapi dengan sarana penyeberangan dan juga merupakan
jalur perdagangan antara pulau Saparua dan pulau-pulau lain di
Maluku.[5]
Keadaan iklim negeri Haria sama dengan yang umumnya
berlaku di daerah Maluku, yakni beriklim tropis. Dengan keadaan
atau kondisi iklim yang demikian maka negeri Haria dipengaruhi
oleh dua musim yakni musim barat atau utara yang berlangsung
dari bulan Desember - Maret dan musim timur atau tenggara yang
berlangsung dari bulan Mei - Oktober. Kedua musim ini silih
berganti yang diselinggi oleh musim transisi yang terjadi pada
bulan April (Peralihan Musim Barat ke Musim Timur) dan bulan
November (Peralihan Musim Timur ke Musim Barat).
Pela-gandong
Pela-Gandong adalah ikatan antara dua atau lebih negeri (desa) yang disertai sumpah dan janji yang tidak boleh dilanggar oleh warga Negeri yang mempu-nyai ikatan tersendiri. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata Pela dan Gandong. Kata Pela berasal dari kata “Pila” yang artinya buatlah sesuatu untuk kita bersama. “Pila” dalam kehidupan sehari-hari ditambah dengan kata “tu” menjadi “Pilatu”. Pilatu artinya menguatkan, mengamankan, dan mengusahakan agar sesuatu tidak mudah rusak dan pecah.[6]
Sejarah hubungan pela dengan Sirisori Islam
Saat Peristiwa " Perang Pattimura " semua Negri di Maluku dengan para Kapitano/ Malesio, mengirim pasukan kabaresinya masing - masing di mulai dari Negri - negeri yang ada di pulau Saparua, Nusa laut, banda, Amarima nusa hatuhaha, Haruku, Leitimur, Leihitu, ambon, pulau seram dan sekitarnya. Sedangkan untuk wilayah Seram dan sekitarnya yang di beri mandat sebagai Koordinasi Pasukan saat itu adalah " salah satu " Moyang dari negri latu dan Hualoi yaitu Kapitan Ahmad lussy menuju ke Nusa iha Pulau Saparua. Di Pulau Saparua inilah semua kapitano/malesio berkumpul di negeri Tuhaha tepatnya adalah di GUNUNG SANIRI " yang berbatasan dengan negri Siri - Sori Islam / Sarane ". untuk " BERMUSYAWARA " bersama2 dalam mengatur strategi penyerangan ke Benteng durstede. Satu - satunya Pemberontak dari MUSLIM yang membawa Pasukan untuk menyerang bangsa Penjajah Belanda dari arah zasirah tenggara Honimua " Siri - Sori Islam " hanyalah " Sayyid Perintah ( Tuan Pemimpin ) atau memiliki nama asli adalah " Sarasa Sanaky Tepasiwa " dan telah dikisahkan Bahwa sang Pahlawan Legendaris ini, semasa hidupnya selalu menjadi Target untuk di cari oleh pihak Perusahaan Hindia Timur Belanda namun sampai akhir hayatnya Belanda tidak pernah menemukannya, Sayyid Perintah selama hidupnya selalu berpindah tempat dan bersembunyi di wilayah Benteng Ampatal Saillo, kemudian ke Hatumete dan ke puncak Elhau untuk mengatur strategis dalam penyerangan ke Benteng Durstede bersama Thomas Matulessy. Kenapa semua Kapitano/malesio Kabaressy, harus berkumpul di gunung Saniri negeri Tuhaha? karena wilayah tuhaha dan wilayah siri - sori islam merupakan wilayah yang luas dan sangat strategis dalam memantau secara langsung dari ketinggian pergerakan kaum penjajah Bangsa Belanda yang ada di benteng Durstede dan sekitarnya. Kemudian di wilayah gunung saniri ini juga susah untuk Belanda melakukan patroli kearah gunung, karena penuh dengan resiko, hampir semua pos pejuang tersebar di hutan - hutan Tuhaha, siri sori islam/sarane, itawaka, Ulat dan Ouw. sehingga belanda harus berfikir 1000 X , dalam melakukan Patroli/pengawasan saat itu. Kapitang Said Perintah dari Louhata merupakan otak dari penyerangan itu. Dia merupakan satu diantara penggagas untuk mengumpulkan para kapitang menyerang benteng Derustede yang dijaga ketat ratusan tentara kompeni saat itu. Sebelum penyerangan itu dilakukan, Said Perintah menjalankan sebuah ritual ibarat “Saimbara” guna mencari siapa kapitang yang bakal memimpin pasukan melakukan infasi ke pertahan Belanda. “Saimbara” itu dilakukan dengan menanam sebuah tombak yang ujungnya terhunus mengarah keatas. Para kapitan yang berkumpul diminta untuk bisa berdiri di atas tombak. Siapa yang mampu menaklukkan permintaan itu akan ditunjuk menjadi pemimpin pasukan. Satu per satu kapitan yang berkumpul kemudian mencoba menunjukan kebolehan
Saimbara pun berlangsung. Tapi belum ada yang mampu memenuhi permintaan itu. Hingga salah satu kapitan dari Leawaka Haria mampu melakukannya Kapitan itu adalah Thomas Matulessy. Kapitan itu naik ke ujung tombak. Saat berdiri di ujung tombak yang terhunus, kaki sang kapitan berdarah karena tertikam ujung tombak. Darah segar pun mengalir, setelah itu sang kapitan turun dari tombak, disambut kapitan Said Perintah dan pada tahun 14 Mei 1817 Thomas Matulessy dipilih sebagai pemimpin pasukan perang pattimura. Said Perintah kemudian mengusap darah segar yang mengalir di kaki Kapitang asal Leawaka itu dan menjilat darah-nya yang tersisa ditangannya, sambil mengucapkan kata “Pela” yang artinya habis. Tentunya yang dimaksud, adalah darah yang keluar dari kaki sang kapitan, tidak lagi keluar atau habis. Mereka pun bersumpah akan menjalin hubungan persaudaraan itu sampai ke anak cucu mereka. Sejarah ikatan Pela inilah yang tertanam hingga sekarang. Anak cucu kedua datuk yang kini merupakan penghuni Negeri Siri –Sori Islam dan Haria diingatkan untuk tetap saling mengasihi, tidak boleh ada yang membuat sesama menjadi tersinggung, apalagi sampai mengawini sesamanya. Sumpah itu dilakukan dengan ditandai ikrar “Sei Leli Hatulo, Hatulo Eleli Esepei,” yang artinya siapa yang melawan atau berbuat melanggar sumpah ini akan mendapatkan petaka.
Sejarah hubungan pela dengan Lilibooi
( Negeri Haria ) 🐬
MAE NUSU ANAI LEAWAKA AMALATU
Di atas tanah para kapitan
beta Badiri yang paleng atas
untuk Kasi kanal beta pung Negeri
Pusaka Leawaka itu Haria
Dengan Gagah dan Perkasa
mengalir dari darah lautan
seng pernah taku omba
seng pernah taku aros
lautan buka arus par katong
Matahari panggel pulang
basudara yang jauh di kampong
jang lupa katong pung sodara
jang lupa Pela deng Gandong
Angin seng bisa patah kapata seng bisa ero
adat tetap adat negeri tetap negeri
kasih tarang mata rumah Kas manyala ini
obor dari Gunung saniri
Palapesi ruma toru jang sampe lupa
itu katong pung rumah tampa kumpul sodarah
tampa biking adat tampa kumpul cinta
dalam rumah adat
Di bawah langit negeri ribuan aksara tertulis
dengan sejarah dengan kapitan dengan tombak
dengan pela darah karna itu Jang lupa akan sejarah
Jang lupa ade deng kaka
Jang Lupa mangnte negeri Inga hati
inga gunung deng tanah inga Tanjong hatuhalani
Inga Haria anyer, Itu katong sudah Leawaka Amapatti
Tanah dari datuk datuk yang turung par anak cucu negeri
Pada zaman dahulu kala telah terjadi peperangan jang sangat dahsyat antara dua negeri di jazirahLeitimur yaitu antara negeri Soya dan negeri Hative Kecil. Prerangan ini terjadi karena mongare Soya yang bernama Rehatta membawa lari jujaro Hative Kecil yang bernama Muriani. Akibat peristiwa ini, maka terjadilah peperangan antara kedua negeri ini, dimana sebagai alat senjata yang dipakai oleh negeri Hative Kecil adalah mata kailcakalang dengan talinya yang diikat pada sebuah bambu (yang biasa dipakai-oleh kita di Ambon untuk menangkap kelelawar). Senjata dari negeri Soya ini sangat berbahaya bagi pasukan dari negeri Hative Kecil, dimana dalam pertempuran itu negeri Hative Kecil banyak yang mengelami korban, dan tempat yang menjadi korban adalah di air Tantui yang banyak megalirkan darah. Akibat hebatnya pertempuran itu maka dua soa dari negeri Hative Kecil banyak yang melarikan diri ke Rumah Tiga dan terus ke negeri Hative Besar dan menetap disana. Karena peperangan ini terus berlangsung maka, negeri Hative Kecil merasa kecewa dan putus asah, maka terpaksa mereka ke negeri Haria untuk minta bantuan dari kapitan Haria dan pasukannya dimana mereka dengan rela mau membantu negeri Hative Kecil.Disini kapitan Haria dan pasukannya telah siap untuk berangkat menyeberangi lautan untuk ke teluk Baguala (Passo), untuk membantu negeri Hative Kecil, tapi dalam perjalanan itu maka mereka telah mencari tahu (Mawe-Mawe) dan alhasil dare mawe tadi mengatakan bahwa apabila mereka menyeberang dan singgah di Passo maka mereka akan diserbu oleh kapitan Soya dan pasukannya, akhirnya mereka mengalihkan perjalanannya melalui negeri Waai dan Liang untuk terus melalui tanjung Alang dan kemudian ke negeri Hative Kecil. Tetapi dalam perjalanannya menuju Hative Kecil maka perbakalan mereka habis dan terpaksa singga di negeri Lilibooy untuk meminta bantuan dan dengan rela penduduk negeri Lilibooy membatunya, tetapi sebelum pulang mereka telah mengangkat pela dengan negeri Lilibooy, yang mana hubungan pela ini terus sampai sekarang masih ada hubungannya.
Sejarah hubungan pela dengan Hative Besar
Sesudah itu mereka berangkat untuk menuju Hative Kecil dengan melalui pesisir pantai, tetapi perbakalan mereka juga habis dan terpaksa mereka singah di negeri Hative Besar untuk minta bantuan. Masyarakat negeri Hative Besar dengan rela hati bersedia untuk membantunya dalam bentuk apa saja, utuk itu karena bantuan yang diberikan oleh penduduk negeri Hative Besar ini sangat berfaedah untuk menhadapi pasukan Soya, maka sebelum berangkat mereka telah mengangkat pela sebagai orang bersaudara dengan negeri Hative Besar. Pela Darah pada Tahun 1750 Tempat yang menjadi terbentuknya hubungan pela adalah Tanjung Batukubur diatas sebua batu yang telah disediakan sebuah sempe yang berisi minuman (arak), dimana kapitan dari Haria dengan pasukannya bersama kapitan dari Upu Latu telah menyentuh dan termasuk pula semua yang berkepentingan dalam negeri Hative Besar, bersama-sama naik keatas Batukubur dimana minumannya dengan berbagai barang tajam telah diisi/ditaruh didalam sempe tadi, kemudian bersama-sama memasukan ujung jarinya yang telah ditusuk duri agar darah masing-masingnya keluar kemudian decelup dalam minuman tadi antara kedua negeri ini, yaitu; negeri Hative Besar dengan Upu Latu dan semua pasukan dari negeri Haria dengan pimpinannya kemudian mereka berjanji bahwa; tidak boleh dirombak oleh turun temurun yaitu; selama dunia ini masih ada tidak diperbolehkan terjadi perkawinan antara kedua negeri ini, dan siapa yang melanggar titah ini akan masuk ke kubur. Akibatnya tanjung ini dinamakan tanjung Batukubur, dan juga dari kedua negeri ini dapat saling membantu dalam bentuk apa saja. Sesudah pejanjian ini selesain (Pela) maka mereka sudah siap untuk ke Hative Kecil, tetapi sebelum mereka tiba disana maka pertempuran telah selesai/berakhir antara Soya dan Hative Kecil. Sebagai tanda untuk perdamaian itu maka negeri Soya telah menyerahkan Bia Asusengnya yang terdapat pada pelabuhan Hinipupu sebagai penhasilannya, sedangkan negeri Hative Kecil menyerahkan hutan damarnya sebagai penghasilan mereka pada negeri Soya.
Konflik & penyelesaian konflik
Sejarah konflik dengan negeri porto
Konflik kepemilikan air raja
Negeri Haria bertetangga dengan Negeri Porto. Keduanya seakan hampir tidak memiliki batas yang jelas satu sama lain. Bagi keduanya, Haria dan Porto mungkin sangat dekat, tapi juga sangat jauh. Hal ini berkaitan dengan permusuhan dan perbantahan antardua negeri berkaitan dengan sumber air bersih yang dikenal sebagai "Air Raja".[7] Baik Haria maupun Porto sama-sama mengklaim kepemilikan. Meskipun begitu, klaim Negeri Porto lebih kuat karena mereka pernah memenangkan persidangan soal sengketa tanah terhadap beberapa negeri di Saparua pada masa kolonial.
Buntut dari perebutan "Air Raja" adalah kedua negeri sering baku hantam dan saling serang dengan bom dan senjata api. Bahkan baileu Haria pernah terbakar habis dalam konflik tahun 2002.[8] Permasalahan keduanya makin runyam tatkala Porto mengungkit soal status tanah di daerah alang-alang dekat Gunung Kerbau. Menurut Raja Porto, Haria yang berpenduduk padat, tapi sempit tidak punya lahan lagi untuk meluaskan wilayahnya. Sehingga satu-satunya cara untuk memperluas wilayah permukiman adalah dengan meminjam tanah dari negeri lain, dalam hal ini Porto.[9]
Penyelesaian konflik Negeri Porto & Haria
Sepuluh butir kesepakatan damai yang telah ditandatangani kepala negeri (raja) Porto dan Haria, Kecamatan Saparua di Kabupaten Maluku Tengah diharapkan tidak hanya sebatas simbol belaka untuk menghentikan pertikaian antarwarga. "Butir-butir kesepakatan damai itu tidak boleh menjadi simbol semata tetapi dia mesti terimplementasi baik yang dilakukan pemerintah dan tim mediasi atau pun juga tim-tim yang lain yang merasa bertanggungjawab dan tertlibat atas persoalan ini," kata anggota DPRD Maluku, Lucky Wattimury di Ambon, Harus diakui bahwa langkah ini positif dan merupakan cara untuk menyelesaikan persoalan dan menciptakan suasana hidup yang penuh damai, aman dari sisi ketertiban masyarakat.[10]
Julukan
Haria raja laut
Melalui lomba perahu manggurube yang rutin diadakan di Ambon dalam Festival Teluk Ambon 2018. Memang negeri kelahiran Thomas Matulessy itu beberapa kali tidak ada di posisi pertama. Namun nama Haria mendominasi di hampir tiap lomba tersebut.Total ada sebanyak tujuh kali kemenangan diraih Haria sendiri maupun bersama saudara dari Negeri tetangga dalam lomba serupa. Dan kali ini Haria membuktikan, merekalah “sang raja lautan” itu. Dari kejahuan perahu bernomor 05 terpaut jauh dari dua perahu di depannya. Riuh suara ribuan warga memberi semangat bagi tim yang tengah beradu di lautan. Suasana makin spaneng manakala tim Haria melambung perahu milik tim Nolloth yang berjarak sekitar 600 meter dari garis finish. Gemuruh genderang makin meninggi, seperti membakar semangat 29 pendayung. Menjelang finisih perahu tim Haria mengambil jalur membelok, menyusul tim Nohas yang sudah nyaris menyentuh finis. “Katong ambe kanan, Nohas perahu lari lurus, katong potong supaya bakudapa di muka dan akhirnya masuk finis,” ungkap Frans Matulessy, penggebuh tifa Tim Haria dengan penuh semangat.[11]
Demografi
Mata pencaharian
Pada umumnya masyarakat Haria Banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Alat transportasi yang digunakan
pun beragam untuk mengambil hasil laut ini misalnya: transportasi
tradisional (bodi dan perahu) maupun juga motor ikan. Dari
pengamatan hasil tangkapan tersebut sebagian besar hasil
penangkapan dijual kepada ibu-ibu papalele atau jibu-jibu13 namun
juga dipasarkan langsung ke pasar-pasar di kecamatan Saparua dan
juga di pulau Ambon. Hasil laut ini memberikan manfaat yang
paling besar bagi tingkat pendapatan masyarakat.
^profilbaru.com. "Haria Saparua Maluku Tengah". profilbaru.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-17. Diakses tanggal 2023-01-17.
^RI, Kemdikbudristek. "Jalur Rempah Nusantara". jalurrempah.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-20. Diakses tanggal 2023-01-24.