Degradasi lingkungan

Delapan puluh tahun lebih setelah tambang Wallaroo di Kadina, Australia Selatan ditinggalkan, hanya lumut yang tetap mejadi satu-satunya tumbuhan di beberapa tempat di permukaan tanah.

Degradasi lingkungan adalah kerusakan terhadap lingkungan melalui penipisan sumber daya seperti udara, air dan tanah. Juga kerusakan ekosistem, habitat dan kepunahan kehidupan liar serta polusi. Hal ini didefinisikan juga sebagai perubahan atau gangguan terhadap lingkungan yang merusak atau tidak diinginkan.[1] Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rumus Ι=ΡΑΤ (Ι=ΡxAxT), dimana (Ι) adalah dampak lingkungan atau degradasi yang disebabkan oleh kombinasi peningkatan jumlah populasi manusia (Ρ), pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita (Α) dan penerapan teknologi yang menghabiskan sumber daya dan tingkat polusi (Τ).[2][3]

Degradasi lingkungan adalah salah satu dari sepuluh ancaman yang resmi diperingatkan oleh High-level Panel on Threats, Challenges and Change atau panel tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang ancaman, perubahan dan tantangan. United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) atau Kantor PBB untuk Pengurangan Bencana juga mendefinisikan degradasi lingkungan sebagai "pengurangan kapasitas terhadap lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan tujuan ekologis". Jenis-jenis degradasi lingkungan diantaranya adalah kerusakan habitat alami, habisnya sumber daya alam dan rusaknya lingkungan. Upaya-upaya untuk mengatasi hal ini meliputi pengelolaan sumber daya dan perlindungan terhadap lingkungan.

Beberapa contoh kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia diantaranya adalah kebakaran hutan Brasil 2019. Rusaknya Hutan Amazon sebagai paru-paru Bumi, merupakan ancaman yang besar bagi lingkungan dan seluruh dunia. Efek deforestasi dan penebangan pohon secara terus menerus akan menimbulkan dampak yang besar bagi lingkungan di sekitar kita dengan berkurangnya suplai oksigen dan penyerapan karbon dioksida, sehingga berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Masalah lain terkait hal ini adalah konsumsi berlebih dan pemborosan penggunaan kertas yang bahan bakunya berasal dari hutan tersebut. Sejumlah besar limbah yang tidak dapat didaur ulang juga menyebabkan penimbunan limbah dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan degradasi tanah. Penebangan hutan secara terus menerus juga mengurangi unsur hara dalam tanah sehingga tanah menjadi tidak dapat diberdayakan.

Hilangnya keanekaragaman hayati

Deforestasi di Bolivia, tahun 2016.
Deforestasi di Eropa, 2016.

Ilmuwan menyatakan bahwa aktivitas manusia telah mendorong Bumi kedalam peristiwa kepunahan massal yang keenam.[4][5] Hilangnya keanekaragaman hayati dikaitkan secara khusus dengan kelebihan populasi manusia, pertumbuhan populasi manusia dan konsumsi sumber daya alam yang berlebihan oleh orang-orang kaya dunia.[6][7] Laporan WWF tahun 2020 menemukan bahwa aktifitas manusia, pertumbuhan populasi, pertanian intensif dan konsumsi yang berlebihan, telah memusnahkan 68% satwa liar vertebrata sejak tahun 1970.[8] Laporan penilaian global tentang layanan keanekaragaman hayati dan ekosistem, yang di publikasikan oleh Layanan Platform Kebijakan Sains Antar Pemerintah Tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem atau Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) PBB tahun 2019 bahwa kira-kira satu juta spesies tumbuhan dan hewan mengalami kepunahan yang diakibatkan oleh antropogenik, seperti perluasan lahan untuk industri pertanian, pemeliharaan ternak dan penangkapan ikan yang berlebihan.[9][10][11]

Implikasi dari hilangnya mata pencaharian dan kesejahteraan manusia ini telah menimbulkan kekhawatiran yang serius. Misalnya dalam kaitannya dengan sektor pertanian, Laporan Keadaan Keanekaragaman Hayati Dunia yang dipublikasikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian tahun 2019 menyatakan bahwa "Negara-negara melaporkan banyak spesies yang berkontribusi pada ekosistem vital, termasuk penyerbuk, musuh alami hama, organisme tanah dan spesies tumbuhan liar, menurun sebagai akibat dari degradasi dan perusakan habitat, eksploitasi berlebihan, polusi dan ancaman lainnya" dan "Ekosistem utama yang memberikan banyak jasa penting bagi pangan dan pertanian, termasuk pasokan air tawar, perlindungan terhadap kondisi berbahaya dan penyediaan habitat untuk spesies seperti penyerbuk dan ikan, sedang menurun".[12]

Degradasi air

Langkah Etiopia untuk mengisi Bendungan Hidase, dapat mengurangi aliran sungai nil hingga 25% dan menghancurkan lahan-lahan pertanian Mesir.[13]

Salah satu komponen utama dari degradasi lingkungan adalah menipisnya sumber daya air tawar di Bumi.[14] Sekitar 2,5% dari semua air di Bumi adalah Air tawar, sedangkan sisanya adalah air asin. 69% dari air tawar dalam bentuk beku di tudung es atau massa es yang terletak Kutub Selatan dan Greenland, sehingga hanya 30% dari 2,5% air tawar tersebut yang dapat di konsumsi.[15] Air tawar adalah sumber daya yang sangat penting, karena seluruh kehidupan di Bumi sangat tergantung dengan air. Air membawa nutrisi, mineral dan kimia didalam biosfer ke semua bentuk kehidupan, menopang flora dan fauna serta membentuk permukaan Bumi dengan transportasi pengendapan materi.[16]

Tiga besar pemberdayaan air tawar saat ini yang menyumbang 95% dari konsumsi yakni sekitar 85% digunakan untuk irigasi lahan pertanian, lapangan golf dan taman, 6% digunakan untuk keperluan sehari-hari dan rumah tangga, 4% digunakan untuk keperluan industri pengolahan, pencucian dan pendinginan di pusat-pusat manufaktur.[17] Diperkirakan satu dari tiga orang di seluruh dunia menghadapi kekurangan air, hampir seperlima dari populasi dunia hidup di wilayah dengan kelangkaan air dan hampir seperempat dari warga dunia hidup di negara berkembang yang kekurangan air dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai untuk pemberdayaan air dari sungai dan sumber air. Kelangkaan air merupakan masalah yang terus meningkat karena masalah-masalah yang diperkirakan dimasa mendatang termasuk pertumbuhan penduduk, meningkatnya urbanisasi, peningkatan standar hidup dan perubahan iklim.[15]

Perubahan iklim dan suhu

Perubahan iklim mempengaruhi pasokan air di Bumi dalam banyak hal. Diperkirakan, suhu global rata-rata setiap tahun akan meningkat di tahun-tahun mendatang karena sejumlah kekuatan mempengaruhi iklim, jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer akan meningkat dan keduanya akan mempengaruhi sumber daya air yakni penguapan yang sangat tergantung dengan suhu dan ketersediaan kelembaban yang akhirnya akan mempengaruhi jumlah ketersediaan air untuk infiltrasi persediaan air tanah. Transpirasi dari tumbuh-tumbuhan juga dipengaruhi oleh CO2 di atmosfer, yang dapat menurunkan penggunaan air tetapi juga dapat meningkatkan penggunaan air dari kemungkinan perluasan bidang daun. Kenaikan suhu dapat mengurangi salju di musim dingin dan dapat meningkatkan intensitas salju mencair yang mengarah ke puncak limpasan ini, mempengaruhi kelembaban tanah, risiko banjir dan kekeringan serta kapasitas penyimpanan tergantung pada areanya.[18]

Suhu musim dingin yang lebih hangat dapat menyebabkan pengurangan tumpukan salju, sehingga mengakibatkan berkurangnya pasokan air selama musim panas. Hal ini sangat penting di wilayah garis lintang tengah dan daerah pengunungan yang bergantung kepada limpasan glasial untuk mengaliri kembali sungai-sungai dan pasokan air tanah, membuat daerah ini menjadi rentan terhadap kelangkaan air dari waktu ke waktu, yakni peningkatan suhu pada awalnya akan meningkatkan pencairan gletser di musim panas, lalu diikuti dengan berkurangnya pencairan sebagai konsekuensi pasokan air setiap tahun dan ukuran gletser yang semakin mengecil.[15] Pemuaian air dan meningkatnya pencairan gletser samudra sebagai akibat dari peningkatan suhu akan menyebabkan naiknya permukaan air laut. Hal ini juga dapat mempengaruhi pasokan air tawar ke wilayah pesisir. Karena muara sungai dan delta sungai dengan tingkat salinitas yang lebih tinggi terdorong jauh ke pedalaman sehingga intrusi air asin akan meningkatkan salinitas cadangan air dan sumber-sumber air.[17] Naiknya permukaan laut juga dapat disebabkan oleh menipisnya permukaan tanah,[19] karena perubahan iklim dapat mempengaruhi siklus hidrologi dengan berbagai cara. Distribusi yang tidak merata dari peningkatan temperatur dan curah hujan diseluruh dunia, menghasilkan surplus dan defisit air,[18] tetapi penurunan air tanah global menunjukkan naiknya permukaan laut, bahkan setelah pencairan glasial dan pemuaian air diperhitungkan,[19] yang dapat memberikan umpan balik atas masalah naiknya permukaan air laut pada pasokan air tawar.

Naiknya suhu udara juga mengakibatkan naiknya suhu air yang juga sangat signifikan dalam degradasi air, sebagaimana air akan menjadi lebih rentan terhadap pertumbuhan bakteri. Kenaikan suhu air juga sangat mempengaruhi ekosistem, karena kepekaan spesies terhadap suhu, juga mendorong perubahan dalam proses pemurnian air dari berkurangnya jumlah oksigen yang larut dalam air karena peningkatan suhu tersebut.[15]

Perubahan iklim dan curah hujan

Peningkatan suhu secara global juga diperkirakan berkorelasi dengan peningkatan curah hujan global pula, tetapi karena peningkatan limpasan, banjir, peningkatan laju erosi tanah dan pergerakan massa tanah, penurunan kualitas air mungkin dapat terjadi, karena air akan membawa lebih banyak nutrisi, juga akan membawa lebih banyak bahan-bahan yang tercemar.[15] Sementara sebagian besar perhatian tentang perubahan iklim diarahkan pada pemanasan global dan efek rumah kaca, beberapa efek perubahan iklim yang paling parah kemungkinan besar berasal dari perubahan curah hujan, evapotranspirasi, limpasan, dan kelembaban tanah. Secara umum diharapkan bahwa, rata-rata curah hujan global akan meningkat, dengan beberapa daerah menerima kenaikan dan penurunan curah hujan tersebut.

Model iklim menunjukkan bahwa sementara di beberapa wilayah diperkirakan akan mengalami peningkatan curah hujan,[18] seperti di daerah tropis dan wilayah di garis lintang yang lebih tinggi, daerah lain diperkirakan mengalami penurunan, seperti di daerah sub tropis. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan variasi garis lintang dalam distribusi air.[15] Daerah-daerah yang menerima curah hujan lebih tinggi juga diharapkan menerima peningkatan ini selama musim dingin dan benar-benar menjadi lebih kering selama musim panas,[18] sehingga menciptakan lebih banyak variasi distribusi curah hujan. Secara alami, distribusi curah hujan di Bumi ini sangat tidak merata, menyebabkan variasi-variasi yang konstan dalam ketersediaan air di masing-masing lokasi.

Perubahan curah hujan mempengaruhi waktu dan besarnya banjir serta kekeringan, proses pergeseran limpasan dan mengubah tingkat resapan air tanah. Pola vegetasi dan laju pertumbuhan akan secara langsung dipengaruhi oleh pergeseran jumlah dan distribusi curah hujan yang selanjutnya akan mempengaruhi pertanian dan ekosistem alam. Menurunnya curah hujan akan menghilangkan wilayah air yang menyebabkan turunnya permukaan air dan cadangan air dari lahan basah, sungai dan danau akan menjadi kosong.[18] Selain itu, kemungkinan peningkatan evaporasi dan evapotranspirasi akan terjadi, tergantung pada kenaikan suhu yang menyertainya.[17] Cadangan air tanah akan habis dan air yang tersisa akan memiliki peluang lebih besar untuk memiliki kualitas yang lebih buruk dari garam atau bahan-bahan kontaminan di permukaan tanah.[15]

Pertumbuhan penduduk

Grafik populasi manusia dari 10.000 SM sampai 2.000 M. Yang menunjukkan peningkatan eksponensial populasi dunia yang telah terjadi sejak akhir abad ke-17.

Populasi manusia di Bumi berkembang secara eksponensial yang sejalan dengan degradasi lingkungan pada skala besar. Nafsu umat manusia akan kebutuhannya mengganggu keseimbangan alam dan lingkungan. Industri produksi, mengeluarkan asap dan membuang bahan kimia yang mencemari sumber daya air. Asap yang dipancarkan ke atmosfer mengandung gas yang merusak seperti karbon monoksida dan sulfur dioksida. Tingginya tingkat pencemaran di atmosfer membentuk lapisan yang akhirnya terserap kembali ke atmosfer. Senyawa organik seperti klorofluorokarbon (CFC) menyebabkan terbukanya lubang yang tidak diinginkan di lapisan ozon, memancarkan radiasi ultraviolet tingkat tinggi yang menempatkan dunia pada ancaman besar.

Ketersediaan air tawar yang dipengaruhi oleh iklim juga menyebar ke seluruh populasi global yang terus meningkat. Diperkirakan bahwa hampir seperempat populasi global, tinggal di wilayah yang memberdayakan lebih dari 20% pasokan air terbarukan, yakni penggunaan air akan meningkat seiring dengan bertambahnya populasi, sementara persediaan air juga diperparah oleh penurunan aliran sungai dan air tanah yang disebabkan oleh perubahan iklim. Meskipun di beberapa daerah mungkin terdapat peningkatan pasokan air tawar karena distribusi curah hujan yang tidak merata, peningkatan pemberdayaan pasokan air juga diharapkan.[20]

Peningkatan populasi berarti peningkatan konsumsi dari pasokan air untuk keperluan rumah tangga, pertanian dan industri. Konsumsi air terbesar adalah lahan pertanian,[21] yang diyakini sebagai penyebab utama dari perubahan lingkungan non-iklim dan kerusakan air. Pada periode 50 tahun yang akan datang, kemungkinan akan menjadi periode terakhir dari ekspansi pertanian yang pesat, tetapi populasi yang lebih besar dan lebih kaya dalam periode ini akan menuntut lebih banyak pertanian.[22]

Peningkatan populasi selama dua dekade terakhir, setidaknya di Amerika Serikat juga telah diikuti dengan pergeseran ke peningkatan populasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan,[23] yang memusatkan permintaan air ke daerah-daerah tertentu dan memberikan tekanan pada pasokan air tawar dari kontaminasi industri dan manusia.[15] Urbanisasi menyebabkan kondisi kehidupan yang padat dan semakin tidak sehat terutama di negara-negara berkembang, yang pada gilirannya membuat semakin banyak orang terpapar penyakit. Sekitar 79% dari populasi dunia berada di negara berkembang yang tidak memiliki akses air bersih dan sistem saluran pembuangan yang baik, sehingga menimbulkan penyakit hingga kematian akibat air yang tercemar dan peningkatan jumlah serangga pembawa penyakit.[24]

Pertanian

Polusi air karena peternakan sapi perah di Wairarapa, Selandia Baru.

Lahan pertanian bergantung kepada ketersediaan kelembaban tanah yang secara langsung dipengaruhi oleh iklim yang dinamis, dimana dalam sistem ini, curah hujan sebagai proses input dan berbagai proses menjadi output-nya, seperti evapotranspirasi, aliran permukaan, drainase dan perkolasi air tanah. Proses infiltasi air tanah, aliran permukaan dan kelembaban tanah secara langsung dipengaruhi oleh perubahan iklim, terutama perubahan curah hujan, evaportanspirasi yang diprediksi oleh model iklim.

Wilayah dengan penurunan curah hujan sebagaimana yang diprediksikan oleh model iklim, kelembabannya akan berkurang secara substansial.[18] Dengan pemikiran seperti ini, lahan-lahan pertanian di sebagian wilayah yang memerlukan irigasi akan menghabiskan pasokan air, baik pemberdayaan air secara fisik maupun secara degradasi pertanian. Irigasi akan meningkatkan kadar garam dan unsur hara di wilayah yang biasanya tidak terpengaruh dan rusaknya aliran sungai dari proses pembendungan dan pembuangan air. Pupuk mengikuti aliran limbah manusia, juga ternak yang akhirnya akan terserap kedalam air tanah, sementara nitrogen, fosfor dan kimia lainnya akan meningkatkan tingkat keasaman tanah maupun air.

Tingkat kebutuhan pertanian tertentu, dapat meningkat lebih dari kebutuhan lainnya, seiring dengan meningkatnya populasi global yang semakin sejahtera, tingkat permintaan daging sebagai salah satu komoditas yang akan diperkirakan menjadi dua kali lipat dalam kebutuhan pangan global pada tahun 2050,[22] yang akan mempengaruhi secara langsung pasokan air bersih secara global. Hewan ternak membutuhkan air dan kebutuhannya akan meningkat apabila suhu tinggi dan tingkat kelembabannya rendah serta membutuhkan air lebih banyak lagi jika sistem produksinya secara ekstensif. Air juga diperlukan dalam proses pengolahan daging dan produksi pakan ternak. Pasokan air bersih dapat tercemar dari kotoran dan rumah potong hewan, tergantung sebagaimana baik pengelolaannya, air bersih juga dapat tercemar melalui darah, lemak dan limbah hewan lainnya.[25]

Proses pemindahan air dari daerah pertanian ke daerah perkotaan dan sekitarnya, menimbulkan kekhawatiran akan proses keberlangsungan pertanian, penurunan sosial ekonomi pedesaan, ketahanan pangan, peningkatan jejak karbon dari makanan impor dan penurunan neraca perdagangan luar negeri.[21] Menipisnya cadangan air bersih sebagaimana yang diterapkan di daerah khusus dan padat penduduk, dapat meningkatkan kelangkaan air bersih dan membuat kerentanan konflik sosial, ekonomi dan politik diantaranya yakni proses migrasi penduduk dari daerah pesisir ke daerah pedalaman atau perkotaan karena naiknya permukaan air laut, yang menyebabkan naiknya tingkat populasi di suatu daerah hingga melanggar batas-batas wilayah dan pola geografis lainnya serta surplus pertanian dan defisit ketersediaan air bersih juga mengakibatkan masalah perdagangan dan ekonomi di daerah tertentu.[20] Perubahan cuaca juga menjadi penyebab penting atas terjadinya proses migrasi dan perpindahan penduduk secara paksa.[26] Bahkan menurut FAO PBB, emisi gas rumah kaca global dari peternakan melebihi emisi transportasi.[27]

Pengelolaan air

Sebuah sungai di kota Amlwch, Anglesey yang terkontaminasi oleh drainase asam tambang dari bekas tambang tembaga, dekat Gunung Parys di Inggris.

Masalah dari menipisnya cadangan air bersih telah mendorong upaya-upaya pengelolaan air.[16] Sementara pengelolaan air bersih umumnya bersifat fleksibel karena adaptasi terhadap kondisi hidrologi baru, kemungkinan akan sangat mahal.[18] Pendekatan pencegahan dilakukan untuk menghindari biaya-biaya tinggi yang tidak efisien dan kebutuhan untuk melakukan proses rehabilitasi air serta inovasi-inovasi yang untuk mengurangi permintaan secara keseluruhan yang mungkin penting untuk perencanaan keberlangsungan air.[21]

Sistem pasokan air yang ada sekarang, yang didasarkan pada asumsi iklim saat ini dan dibangun untuk memenuhi kebutuhan aliran sungai dan frekuensi banjir yang ada. Reservoir atau waduk-waduk penampungan air dikelola berdasarkan catatan uraian hidrologi masa lalu dan sistem irigasi berdasarkan uraian suhu secara historis, ketersediaan air serta kebutuhan air untuk tanaman, bukanlah acuan yang dapat diandalkan untuk bagi masa yang akan datang. Memeriksa kembali disain teknis, operasional, optimasi dan perencanaan serta evaluasi pendekatan sisi hukum, teknis dan ekonomis untuk mengelola sumber daya air sangatlah penting untuk pengelolaan air dalam rangka menanggulangi degradasi air. Pendekatan-pendekatan lain adalah melalui privatisasi air, terlepas pengaruhnya terhadap ekonomi dan budayanya sehingga kualitas layanan dan kualitas air mudah dikontrol dan didistribusikan dengan rasionalitas dan keberlangsungan yang sesuai serta memerlukan batasan-batasan terhadap eksploitasi berlebihan, polusi dan upaya-upaya dalam konservasi.[16]

Lihat juga

Sumber

 Artikel ini mengandung teks dari karya konten bebas. Licensed under CC BY-SA IGO 3.0 License statement: The State of the World's Biodiversity for Food and Agriculture − In Brief, FAO, FAO. Untuk mengetahui cara menambahkan teks berlisensi terbuka ke artikel Wikipedia, baca Wikipedia:Menambahkan teks berlisensi terbuka ke Wikipedia. Untuk informasi tentang mendaur ulang teks dari Wikipedia, baca ketentuan penggunaan.

Referensi

  1. ^ Johnson, D.L.; Ambrose, S.H.; Bassett, T.J.; Bowen, M.L.; Crummey, D.E.; Isaacson, J.S.; Johnson, D.N.; Lamb, P.; Saul, M.; Winter-Nelson, A.E. (1 Mei 1997). "Meanings of Environmental Terms". Journal of Environmental Quality (dalam bahasa Inggris). 26 (3): 581–589. doi:10.2134/jeq1997.00472425002600030002x. ISSN 0047-2425. 
  2. ^ Chertow, Marian R. (2000). "The IPAT Equation and Its Variants". Journal of Industrial Ecology (dalam bahasa Inggris). John Wiley and Sons. 4 (4): 13–29. doi:10.1162/10881980052541927. ISSN 1088-1980. 
  3. ^ Huesemann, Michael; Huesemann, Joyce (4 Oktober 2011). "Sustainability or Collapse?" (Bab 6). Techno-Fix: Why Technology Won't Save Us Or the Environment (dalam bahasa Inggris). New Society Publishers. ISBN 0865717044. Diakses tanggal 15 Desember 2020. 
  4. ^ Kolbert, Elizabeth (2014). The Sixth Extinction: An Unnatural History (dalam bahasa Inggris). Henry Holt and Company (dipublikasikan tanggal 11 Februari 2014). ISBN 0805092994. 
  5. ^ Ripple WJ, Wolf C, Newsome TM, Galetti M, Alamgir M, Crist E, Mahmoud MI, Laurance WF (13 November 2017). "World Scientists' Warning to Humanity: A Second Notice". BioScience (dalam bahasa Inggris). 67 (12): 1026–1028. doi:10.1093/biosci/bix125alt=Dapat diakses gratis. Moreover, we have unleashed a mass extinction event, the sixth in roughly 540 million years, wherein many current life forms could be annihilated or at least committed to extinction by the end of this century. 
  6. ^ Pimm, S. L.; Jenkins, C. N.; Abell, R.; Brooks, T. M.; Gittleman, J. L.; Joppa, L. N.; Raven, P. H.; Roberts, C. M.; Sexton, J. O. (30 May 2014). "The biodiversity of species and their rates of extinction, distribution, and protection" (PDF). Science (dalam bahasa Inggris). 344 (6187): 1246752. doi:10.1126/science.1246752. PMID 24876501. The overarching driver of species extinction is human population growth and increasing per capita consumption. 
  7. ^ Ceballos, Gerardo; Ehrlich, Paul R.; Dirzo, Rodolfo (23 May 2017). "Biological annihilation via the ongoing sixth mass extinction signaled by vertebrate population losses and declines". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (dalam bahasa Inggris). 114 (30): E6089–E6096. doi:10.1073/pnas.1704949114. PMC 5544311alt=Dapat diakses gratis. PMID 28696295. Much less frequently mentioned are, however, the ultimate drivers of those immediate causes of biotic destruction, namely, human overpopulation and continued population growth, and overconsumption, especially by the rich. These drivers, all of which trace to the fiction that perpetual growth can occur on a finite planet, are themselves increasing rapidly. 
  8. ^ Greenfield, Patrick (9 September 2020). "Humans exploiting and destroying nature on unprecedented scale – report" [Laporan: Manusia mengeksploitasi dan merusak alam dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya]. The Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 15 Desember 2020. 
  9. ^ Plumer, Brad (6 Mei 2019). "Humans Are Speeding Extinction and Altering the Natural World at an 'Unprecedented' Pace" [Manusia Mempercepat Kepunahan dan Mengubah Alam dengan Kecepatan yang 'Belum Pernah Ada Sebelumnya']. The New York Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 15 Desember 2020. “Human actions threaten more species with global extinction now than ever before,” the report concludes, estimating that “around 1 million species already face extinction, many within decades, unless action is taken.” 
  10. ^ Vidal, John (March 15, 2019). "The Rapid Decline Of The Natural World Is A Crisis Even Bigger Than Climate Change" [Penurunan Pesat Dari Alam Adalah Krisis Yang Lebih Besar Dari Perubahan Iklim]. The Huffington Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 21 June 2019. "The food system is the root of the problem. The cost of ecological degradation is not considered in the price we pay for food, yet we are still subsidizing fisheries and agriculture." - Mark Rounsevell 
  11. ^ Watts, Jonathan (6 Mei 2019). "Human society under urgent threat from loss of Earth's natural life" [Manusia berada di bawah ancaman mendesak dari hilangnya kehidupan alam Bumi]. The Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 15 Desember 2020. 
  12. ^ "The status and trends of biodiversity for food and agriculture" (Bab 4). In brief − The state of the World's Biodiversity for Food and Agriculture [Secara singkat - Keanekaragaman Hayati Dunia untuk Pangan dan Pertanian] (PDF) (dalam bahasa Inggris). Organisasi Pangan dan Pertanian. 2019. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 October 2019. Diakses tanggal 15 Desember 2020.  Situs alternatif
  13. ^ Samantha Raphelson (27 Februari 2018). "In Africa, War Over Water Looms As Ethiopia Nears Completion Of Nile River Dam" [Di Afrika, Perang Perebutan Air Mengemuka Saat Ethiopia Mendekati Penyelesaian Bendungan Sungai Nil]. National Public Radio (dalam bahasa Inggris). 
  14. ^ Warner, K.; Hamza, H.; Oliver-Smith, A.; Renaud, F.; Julca, A. (December 2010). "Climate change, environmental degradation and migration". Natural Hazards. 55 (3): 689–715. doi:10.1007/s11069-009-9419-7. ISSN 1573-0840. 
  15. ^ a b c d e f g h "Water" [Air] (dalam bahasa Inggris). Climate Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Desember 2011. Diakses tanggal 15 Desember 2020. 
  16. ^ a b c Young, Gordon J; Dooge, James C.I.; Rodda, John C. (1994). Global Water Resource Issues [Masalah Sumber Daya Air Global] (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. xv. ISBN 0521461537. 
  17. ^ a b c Frederick, Kenneth D.; Major, David C. (1 September 1997). "Climate Change and Water Resources" (dalam bahasa Inggris). 37: 7–23. doi:10.1023/A:1005336924908. 
  18. ^ a b c d e f g Ragab, Ragab; Prudhomme, Christel (1 Januari 2002). "Soil and Water: Climate Change and Water Resources Management in Arid and Semi-Arid Regions: Prospective Challenges for the 21st Century" (dalam bahasa Inggris). 81 (1). Biosystems Engineering: 3–34. doi:10.1006/bioe.2001.0013. 
  19. ^ a b Konikow, Leonard F. (2011). "Contribution of global groundwater depletion since 1900 to sea-level rise" [Kontribusi penipisan air tanah global sejak tahun 1900 terhadap kenaikan permukaan laut]. Geophysical Research Letters (dalam bahasa Inggris). 38 (17). doi:10.1029/2011GL048604. ISSN 0094-8276. 
  20. ^ a b Raleigh, Clionadh; Urdal, Henrik. "Climate change, environmental degradation and armed conflict" [Perubahan iklim, degradasi lingkungan dan konflik bersenjata]. Political Geography (dalam bahasa Inggris). 26 (6): 674–694. doi:10.1016/j.polgeo.2007.06.005. 
  21. ^ a b c MacDonald, Glen M. "Water, climate change, and sustainability in the southwest" [Air, perubahan iklim, dan keberlanjutan di barat daya] (dalam bahasa Inggris). 107 (50). PNAS: 52–62. doi:10.1073/pnas.0909651107. 
  22. ^ a b Tilman, David; Fargione, Joseph; Wolff, Brian; D'Antonio, Carla; Dobson, Andrew; Howarth, Robert; Scindler, David; Schlesinger, William; Simberloff, Danielle; Swackhamer, Deborah (13 April 2001). "Forecasting Agriculturally Driven Global Environmental Change" [Perkiraan Perubahan Lingkungan Global yang Didorong oleh Pertanian]. Science (dalam bahasa Inggris). 292 (5515): 281–284. doi:10.1126/science.1057544. 
  23. ^ Wallach, Bret (2005). Understanding the Cultural Landscape [Memahami Lanskap Budaya] (dalam bahasa Inggris). The Guilford Press (dipublikasikan tanggal 2 Januari 2005). ASIN B00FOT5ZMA. 
  24. ^ Fannetta, Powell. "Environmental Degradation and Human Disease" [Kerusakan Lingkungan dan Penyakit Manusia]. slideboom (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Desember 2017. Diakses tanggal 15 Desember 2020. 
  25. ^ "Environmental Implications of the Global Demand for Red Meat". Google Sites (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 15 Desember 2020. 
  26. ^ Terminski, Bogumil (2012). "Environmentally-Induced Displacement: Theoretical Frameworks and Current Challenges" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Centre d'Etude de l'Ethnicité et des Migrations, Université de Liège. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 15 Desember 2013. Diakses tanggal 15 Desember 2020. 
  27. ^ Wang, George C. (9 April 2017). "Go vegan, save the planet". CNN. Diakses tanggal 16 Desember 2020. 

Pranala luar