Benteng Erbil, yang disebut masyarakat lokal sebagai Qalat Erbil (Kurdi: قەڵای ھەولێر, Qelay Hewlêr; Arab: قلعة أربيل Qal'ah Arbīl) adalah sebuah tel atau bukit yang diduduki dan pusat kota historis Arbil di Irak.[1] Benteng ini telah masuk ke dalam Daftar Situs Warisan Dunia sejak 21 Juni 2014.
Bukti paling awal dari pendudukan bukit benteng bertanggal pada milenium ke-5 SM, dan kemungkinan terjadi lebih awal. Peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam sumber sejarah yang tertulis dalam prasasti Ebla pada sekitar 2300 SM, dan meraih kejayaan selama periode Asiria Baru. Selama periode Sasaniyah dan Kekhilafahan Abbasiyah, Erbil menjadi pusat penting bagi agama Kristen. Setelah Kekaisaran Mongol merebut benteng pada 1258, peran Benteng Erbil merosot. Selama abad ke-20, tata ruang kota berubah secara signifikan, dengan banyaknya rumah dan bangunan publik yang dihancurkan. Pada 2007, Komisi Tinggi Revitalisasi Benteng Erbil (High Commission for Erbil Citadel Revitalization, HCECR) dibentuk untuk mengawal restorasi benteng. Pada tahun yang sama, semua penduduk, kecuali satu keluarga, dikeluarkan dari benteng sebagai bagian dari proyek restorasi besar. Sejak dulu, usaha penelitian dan restorasi situs arkeologi di dalam dan di sekitar tel oleh beberapa tim internasional dan bekerja sama dengan pakar lokal. Pemerintah berencana memindahkan 50 keluarga ke dalam benteng setelah renovasi.
Bangunan di atas tel mengisi area berbentuk oval berdimensi 430 x 340 meter (1.410 ft × 1.120 ft) dan memiliki luas 102.000 meter persegi (1.100.000 sq ft). Satu-satunya bangunan keagamaan yang bertahan saat ini adalah Masjid Mulla Afandi. Bukit ini memiliki ketinggian antara 25–32 meter (82–105 ft) di atas dataran sekitar. Saat ditempati, benteng ini dibagi dalam tiga distrik atau mahalla: Serai, Takya, dan Topkhana yang terletak dari timur ke barat. Distrik Serai ditempati oleh keluarga bangsawan; distrik Takya berasal dari nama tempat tinggal darwis, yang disebut takya; dan distrik Topkhana dihuni perajin dan petani.
Sejarah
Prasejarah
Situs benteng kemungkinan telah diduduki pertama kali pada periode Neolitikum karena potongan tembikar yang ditemukan di lereng bukit. Bukti jelas pendudukan datang dari periode zaman tembaga, dengan ditemukannya potongan tembikar dari periode Ubaid dan Uruk masing-masing dari Jazirah dan Turkey tenggara.[2] Berdasarkan bukti pendudukan awal, benteng ini disebut sebagai situs tertua yang ditempati secara berkelanjutan di dunia.[1][3]
Catatan sejarah paling awal
Erbil muncul pertama kali dalam sumber literatur pada sekitar 2300 di arsip Ebla. Menurut Giovanni Pettinato, Erbil disebutkan dalam dua prasasti sebagai Irbilum.[4]
Setelah itu, Erridupizir, raja Gutium, merebut kota pada 2200 SM.[5]
Pada akhir milenium ke-3rd SM, Erbil disebutkan dalam catatan sejarah periode Ur III sebagai Urbilum. Raja Shulgi menghancurkan Urbilum pada tahun ke-43 dalam pemerintahannya, dan selama jabatannya diteruskan oleh Amar-Sin, Urbilum dimasukkan ke dalam wilayah Ur III. Pada abad ke-18 SM, Erbil muncul dalam daftar kota yang ditaklukkan oleh Shamshi-Adad dari Mesopotamia Atas dan Dadusha dari Eshnunna selama pertempuran melawan negeri Qabra. Shamshi-Adad menempatkan pasukan di semua kota dalam negeri Urbil. Selama milenium ke-2 SM, Erbil dimasukkan ke dalam wilayah Asiria. Erbil menjadi titik keberangkatan pasukan militer ke arah timur.[6][7]
Dari periode Asiria Baru menuju periode Sasaniyah
Erbil menjadi kota penting selama periode Asiria Baru. Kota ini terlibat dalam pemberontakan besar melawan Shamshi-Adad V yang pecah setelah meneruskan takhta Shalmaneser III. Selama periode Asiria Baru, nama kota ini dituliskan sebagai Arbi-Ilu, yang berarti 'Empat Dewa'. Erbil menjadi pusat keagamaan yang penting yang sebanding dengan kota seperti Babilon dan Assur. Dewi Ishtar dari Erbil adalah salah satu dewa yang penting bagi Asiria, yang sering disandingkan dengan Ishtar dari Nineveh. Tempat sucinya diperbaiki oleh raja Shalmaneser I, Esarhaddon, dan Assurbanipal. Tulisan dari catatan Assurbanipal terinspirasi oleh Ishtar dari Erbil. Assurbanipal mungkin menjalankan pemerintahan di Erbil pada sebagian masa jabatannya dan menerima utusan dari Rusa II dari Urartu setelah kekalahan penguasa Elam, Teumman.[6]
Setelah akhir dari Kekaisaran Asiria, Erbil mulai dikuasai oleh bangsa Mede dan kemudian dimasukkan ke dalam Kekaisaran Akhemeniyah sebelum menjadi bagian dari Kekaisaran Aleksander Agung setelah Pertempuran Gaugamela, yang terjadi di sekitar Erbil pada 331 SM.[8] Kemudian, setelah pembagian wilayah Kekaisaran Aleksander Agung oleh jenderalnya (yang dikenal sebagai Diadochoi), kota ini disebut Arabella atau Arbela dan menjadi bagian dari Kerajaan Seleukia Helenistik. Setelah abad pertama SM, Kekaisaran Romawi dan Parthia merebut kekuasaan Erbil, atau yang dikenal sebagai Arbira pada masa itu. Setelah abad pertama Masehi, Arbela menjadi pusat penyebaran agama Kristen. Selama periode Sasaniyah, Erbil menjadi tempat kedudukan satrap (gubernur). Pada 340 M, penganut Kristen di Erbil dipersekusi dan pada 358 gubernur Erbil menjadi martir setelah pindah ke agama Kristen.[9] Sebuah sekolah Nestorianisme dibangun di Erbil dari Sekolah Nisibis pada c. 521.[10] Selama periode tersebut, Erbil juga menjadi situs dari kuil apiZoroastrianisme.[11]
Penaklukan oleh pasukan Muslim hingga Kesultanan Utsmaniyah
Erbil dikuasai oleh pasukan Muslim pada abad ke-7. Kota ini tetap menjadi pusat agama Kristen hingga abad ke-9, hingga uskup Erbil memindahkan tempat kedudukannya ke Mosul. Dari paruh awal abad ke-12 hingga 1233, Erbil menjadi tempat kedudukan kaum Begteginiyah, suatu dinasti Turk yang terkenal di bawah kekuasaan Zengi, atabeg Mosul. Muzaffar al-Din Gökböri, penguasa kedua dari dinasti Begteginiyah dan pendukung setia Saladin, membentuk kota yang lebih rendah di sekitar kota di atas bukit benteng around the city on the citadel mound serta membangun rumah sakit dan madrasah. Gökburi meninggal pada 1233 tanpa ahli waris dan kekuasaan Erbil diambil alih oleh Khalifah Abbasiyahal-Mustansir setelah merebut kota.[9][12]
Saat pasukan Mongol menginvasi wilayah Timur Dekat pada abad ke-13, mereka menyerang Erbil untuk pertama kali pada 1237. Mereka menjarah kota yang lebih rendah tetapi terpaksa mundur sebelum diserang pasukan kekhilafahan dan mengurungkan usaha perebutan benteng.[13] Setelah jatuhnya Baghdad ke tangan Hülegü dan kekaisaran Mongol pada 1258, mereka kembali ke Erbil dan berhasil merebut benteng setelah pengepungan yang berlangsung selama enam bulan.[14] Hülegü kemudian memilih gubernur dari umat Kristen untuk memerintah kota dan terjadi kedatangan massal dari umat Kristen Yakobus, yang diperbolehkan untuk membangun gereja.
Seiring perjalanan waktu, persekusi umat Kristiani, Yahudi, dan Buddha pada masa Ilkhanat began in pada 1295 di bawah pemerintahan amir Oïrat Nauruz.[15] Peristiwa ini dibuktikan pada awal pemerintahan Ghazan dari Ilkhanat. Pada 1297, setelah pengaruh Ghazan cukup kuat untuk mengalahkan pengaruh Nauruz, dia menghentikan persekusi.
Selama pemerintahan Öljeitü dari Ilkhanat sebagian penduduk Kristiani mundur ke dalam benteng untuk menghindari persekusi. Pada musim semi 1310, Malek (gubernur) wilayah berencana merebut Erbil dengan bantuan dari kaum Kurdi. Meski Mar Yahballaha berusaha yang terbaik untuk mencegah mala petaka yang akan datang, benteng direbut oleh pasukan Ilkhanat pada 1 Juli 1310, dan semua orang yang mempertahankannya dibantai, termasuk penduduk Kristiani yang tinggal di kota yang lebih rendah.[9][16]
Selama periode Utsmaniyah, Erbil menjadi bagian dari provinsi Baghdad, yang dibentuk pada 1535. Pada 1743, kota ini dikuasai dalam waktu singkat oleh penguasa AfshariyahNader Shah setelah pengepungan yang berlangsung selama 60 hari.[9] Sebuah prasasti bertanggal 1820 menunjukkan bahwa pada masa itu bukit benteng dan dataran yang terletak di kaki bukit selatan berhasil direbut.[17] Mohammed Khor, seorang beyKurdi dari Rowanduz, menguasai Erbil dalam waktu singkat pada 1862. Pada 1892, kota ini diperkirakan dihuni oleh 3.200 jiwa, termasuk minoritas Yahudi yang besar.[3]
Periode modern
Selama abad ke-20, benteng ini menjadi saksi perubahan tata ruang kota dan sosial. Sebuah tangki air dari baja setinggi 15 meter (49 ft) dipasang di benteng pada 1924, yang menyediakan air bersih kepada penduduk, tetapi juga menyebabkan kerusakan pondasi bangunan yang disebabkan oleh meningkatnya rembesan air. Jumlah penduduk di dalam benteng perlahan-lahan berkurang selama abad ke-20th saat kota di sekitar benteng berkembang dan penduduk yang kaya pindah ke rumah yang besar dan modern yang disertai taman.[17] Pada 1960, lebih dari 60 rumah, sebuah masjid dan sebuah sekolah untuk membangun jalan lurus yang menghubungkan gerbang selatan dengan gerbang utara.[18] Beberapa upaya rekonstruksi dilakukan pada 1979 di gerbang selatan benteng dan hammam. Pada 2007, 840 keluarga yang tersisa dikeluarkan dari benteng sebagai bagian dari proyek besar untuk mengembalikan dan mempertahankan karakter historis dari benteng. Keluarga tersebut diberikan kompensasi finansial. Satu keluarga diperbolehkan untuk tetap tinggal di dalam benteng untuk memastikan bahwa tidak ada kerusakan di dalam situs pemukiman berkelanjutan yang berusia sekitar 8.000 tahun, dan pemerintah berencana untuk memindahkan 50 keluarga ke dalam benteng setelah renovasi.[19] Pada 2004, Museum Tekstil Kurdi dibuka di sebuah gedung besar di kuartal tenggara benteng.[20]
Arsitektur dan tata ruang
Benteng ini dibangun di atas tel – atau bukit pemukiman – berbentuk oval dengan ketinggian 25–32 meter (82–105 ft). Area di atas bukit berukuran 430 x 340 meter (1.410 ft × 1.120 ft) dan luas 102.000 meter persegi (1.100.000 sq ft). Tanah alami ditemukan pada kedalaman 36 meter (118 ft) di bawah permukaan bukit.[21]Kemiringan tebing bukit benteng sekitar 45°.[3] Tiga lereng, yang berlokasi di lereng utara, timur, dan selatan bukit, memberi jalan menuju gerbang di lingkar luar pemukiman. Gerbang selatan adalah gerbang yang paling tua dan pernah dibangun ulang pada 1860, dan dihancurkan pada 1960. Gerbang terbaru dibangun pada 1979. Gerbang timur disebut Gerbang Harem dan hanya digunakan untuk perempuan. Tidak diketahui pasti kapan gerbang utara mulai dibuka. Salah satu sumber menyebutkan bahwa gerbang tersebut dibuka pada 1924,[17] sementara sumber lain menyebutkan bahwa hanya ada dua gerbang pada 1944 – gerbang selatan dan timur.
Selama awal abad ke-20, terdapat tiga masjid, dua sekolah, dua takya, dan satu hammam di dalam benteng.[22] Terdapat pula sebuah sinagoge hingga 1957.[21] Satu-satunya bangunan keagamaan yang bertahan hingga saat ini adalah Masjid Mulla Afandi, yang dibangun kembali di lokasi masjid yang dibangun pada abad ke-19.[23]Hammam dibangun pada 1775 oleh Qassim Agha Abdullah. Hammam ditutup pada dekade 1970-an dan direnovasi pada 1979, meski banyak detail arsitektur asli yang hilang.[21][24]
Saat masih ditempati, benteng ini dibagi dalam tiga distrik atau mahallas: Serai, Takya, dan Topkhana dari timur ke barat. Distrik Serai ditempati oleh keluarga bangsawan; distrik Takya berasal dari nama tempat tinggal darwis, yang disebut takya; dan distrik Topkhana dihuni perajin dan petani. Penemuan pada 1920 menunjukkan bahwa pada saat itu benteng terbagi dalam 506 blok rumah. Jumlah rumah dan penduduk berkurang secara perlahan setelahnya. Misalnya, pada 1984 terdapat 4.466 jiwa yang tinggal dalam 375 rumah, sedangkan sensus 1995 menunjukkan bahwa hanya 1.631 penduduk yang tinggal dalam 247 rumah.[22] Hingga pembukaan jalan utama utara–selatan, jalanan yang terdapat pada bukti menyebar keluar dari gerbang selatan seperti cabang pohon. Jalanan tersebut memiliki lebar antara 1–2,5 meter (3,3–8,2 ft) dan panjang dari 300 meter (980 ft) untuk jalan utama hingga 30–50 meter (98–164 ft) untuk kuldesak.[25]
Dinding tepi benteng bukanlah dinding kuat bersambung, melainkan terdiri dari façade dari sekitar 100 yang dibangun menghadap satu sama lain. Karena dibangun di detak tebing curam dari bukit benteng, banyak façade yang diperkuat dengan penopang untuk mencegah kerobohan atau subsiden tanah.[26] Terdapat sekitar 30 istana kota; sebagian besar di antaranya berlokasi di sepanjang tepi benteng.[27] Rumah yang bertahan paling lama saat ini diketahui dibangun pada 1893 melalui suatu bukti tertulis. Rumah tertua tersebut dapat ditemukan di sisi tenggara bukit, sedangkan perumahan di tepi utara dibangun sekitar 1930-an hingga 1940-an.[28][29] Sebelum mengenal teknik bangunan modern, sebagian besar rumah dalam benteng dibangun di sekitar halaman. Sebuah gang tinggi dibangun di sekitar halaman, atap datar dan pintu masuk pendek yang menghalangi pemandangan halaman courtyard dan interior rumah merupakan elemen khas dari perumahan di dalam benteng.[27]
Penelitian dan restorasi
Pada 2006 dan 2007, sekumpulan tim dari Universitas Bohemia Barat, bersama dengan Universitas Salahaddin di Arbil, melakukan survei ekstensif dan evaluasi di seluruh benteng. Sebagai bagian dari proyek ini, pengukuran geodetik pada benteng dilakukan dan digabungkan dengan pencitraan satelit, fotografi reguler, dan fotografi udara untuk membuat suatu peta dan model 3D digitalisasi dari bukit benteng beserta bangunan di dalamnya. Prospeksi geofisis dilakukan di beberapa daerah benteng untuk mendeteksi bekas arsitektur kuno yang terkubur di bawah bangunan saat ini. Investigasi arkeologi meliputi survei arkeologi di lereng barat bukit benteng, dan penggalian parit kecil di bagian timur benteng.[30]
Sebuah ruang makam dari periode Asiria Baru ditemukan di kaki bukit benteng selama aktivitas pembangunan pada 2009. Makam tersebut kemudian digali oleh Departemen Peninggalan Purbakala dan pakar arkeologi dari Institut Arkeologi Jerman (DAI). Makam tersebut pernah dijarah tetapi menyisakan tembikar purbakala yang bertanggal abad ke-8 dan ke-7 SM.[31] Kerja sama antara Departemen Peninggalan Purbakala dan DAI berlanjut dengan investigasi lanjutan pada makam dan dengan suatu penggalian kecil dan survei geofisis di daerah sekitar, mahasiswa dari Universitas Salahaddin ikut berpartisipasi. Investigasi tersebut menunjukkan keberadaan arsitektur yang kemungkinan berasal dari periode Asiria Baru, serta pemakaman yang dibentuk pada beberapa abad setelahnya.[32]
Pada 2007, Pemerintah Regional Kurdistan membentuk Komisi Tinggi Revitalisasi Benteng Erbil (High Commission for Erbil Citadel Revitalization, HCECR) untuk mempertahankan dan mengembalikan benteng dengan bantuan dari UNESCO.[1] HCECR mendorong pembentukan zona perluasan hingga sejauh 300–400 meter (980–1.310 ft) dari benteng dengan tinggi bangunan yang harus dikurangi dengan tinggi akhir maksimal 10 meter (33 ft). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pemandangan benteng lebih dominan dari bangunan sekitar.[33]
Status Warisan Dunia UNESCO
Pada 8 Januari 2010, HCECR dan Lembaga Negara di bidang Peninggalan Purbakala dan Warisan Budaya (State Board for Antiquities and Heritage, SBAH) dari Irak mendaftarkan Benteng Erbil ke dalam daftar tentatif situs dari Irak yang memenuhi syarat nominasi sebagai Situs Warisan Dunia. Pendaftaran tersebut menyatakan bahwa "Benteng Citadel adalah salah satu situs budaya yang paling dramatis dan berpenampilan paling menarik tidak hanya di Timur Tengah melainkan juga di seluruh dunia."[1] Dua bentuk kesepakatan lainnya ditandatangani oleh pihak HCECR dan UNESCO pada Maret 2010, dan Kegubernuran Arbil mengumumkan akan mendanai proyek restorasi dengan anggaran sebesar US$13 juta.[34] Upaya restorasi pertama dilakukan pada Juni 2010.[35] Benteng Erbil dimasukkan ke dalam Daftar Situs Warisan Dunia pada 21 Juni 2014. Pada Januari 2017, UNESCO menyatakan bahwa situs tersebut dicoret dari daftar karena program restorasi yang berlangsung lambat.[36]
Cahen, Cl. (2010), "Begteginids", dalam Bearman, P.; Bianquis, Th.; Bosworth, C.E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W.P., Encyclopaedia of Islam (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-second), Brill Online, OCLC624382576
Eidem, Jesper (1985), "News from the eastern front: the evidence from Tell Shemshāra", Iraq (dalam bahasa Inggris), 47: 83–107, ISSN0021-0889, JSTOR4200234
Sourdel, D. (2010), "Irbil", dalam Bearman, P.; Bianquis, Th.; Bosworth, C.E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W.P., Encyclopaedia of Islam (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-2), Brill Online, OCLC624382576
Villard, Pierre (2001), "Arbèles", dalam Joannès, Francis, Dictionnaire de la civilisation mésopotamienne, Bouquins (dalam bahasa Prancis), Paris: Robert Laffont, hlm. 68–69, ISBN978-2-221-09207-1
Woods, John E. (1977), "A note on the Mongol capture of Isfahān", Journal of Near Eastern Studies (dalam bahasa Inggris), 36 (1): 49–51, doi:10.1086/372531, ISSN0022-2968, JSTOR544126
Grousset, Rene (1970), The Empire of the Steppes (Translated from the French by Naomi Walford) (dalam bahasa Inggris), New Brunswick: Rutgers University Press