Xenofanes dari Kolofon adalah seorang filsuf yang termasuk ke dalam Mazhab Elea. Menurut tradisi filsafat Yunani, ia adalah pendiri Mazhab Elea dan guru dari Parmenides.[1][2] Selain sebagai filsuf, ia terkenal sebagai seorang penyair.[2] Pemikiran-pemikiran filsafatnya disampaikan melalui puisi-puisi.[2] Selain tema-tema filsafat, ia menulis puisi dengan tema-tema tradisional, seperti cinta, perang, permainan, dan sejarah.[2] Ia juga berani mengkritik Homeros dan Hesiodos, penyair Yunani yang terkenal pada waktu itu.[3][4][5]
Karya filsafatnya dalam bentuk puisi telah hilang.[1] Pada masa kemudian, karya itu diberi nama "Perihal Alam" (Concerning Nature).[1]
Riwayat Hidup
Xenofanes berasal dari Kolophon, Ionia, di Asia Kecil.[2][4] Dikatakan di dalam salah satu fragmen puisinya sendiri bahwa ia meninggalkan kota asalnya pada usia 25 tahun.[2] Ia meninggalkan kota tersebut setelah Kolophon direbut bangsa Persia pada tahun 545 SM.[2][3] Dengan demikian ia lahir sekirar tahun 570 SM.[2] Kemudian dikatakannya pula bahwa ketika ia menulis puisi tersebut, ia telah berusia 67 tahun.[2] Diketahui Xenofanes berusia di atas 100 tahun, Karena itu, tahun kematiannya diperkirakan sekitar tahun 480 SM.[2]
Setelah meninggalkan kota Kolophon, ia melakukan perjalanan ke banyak tempat.[4] Ada beberapa sumber kuno menyebutkan ia pernah menetap di kota Messina dan Katania di pulau Sisilia.[4] Selain itu, ia juga pernah singgah di Malta, Pharos, dan Syrakusa.[3] Akhirnya ia tiba di Elea, Italia Selatan, dan menetap di sana.[3] Diketahui bahwa Xenofanes mengarang suatu syair ketika kota Elea didirikan pada tahun 540 SM.[4]
Pemikiran
Tentang Pengetahuan
Xenofanes menyatakan bahwa manusia tidak dapat mendapatkan pengetahuan yang mutlak.[6] Akan tetapi, di saat yang sama, manusia harus mencari pengetahuan tersebut walaupun hanya berupa suatu kemungkinan.[6] Hal itu ditunjukkannya melalui dua fragmen berikut:
"Dewa-dewi tidak menyatakan segala sesuatu kepada manusia sejak awalnya, tetapi setelah waktu berlalu, manusia menemukan banyak hal dengan cara mencarinya sendiri."(fragmen 18)[7]
"Tidak ada manusia yang pernah melihat ataupun mengetahui kebenaran tentang dewa-dewi serta semua hal yang kukatakan. Karena jika ada orang yang berkata mengetahui semuanya, maka sebenarnya ia tidaklah tahu, melainkan hanya mempercayai tentang segala sesuatu."(fragmen 34)[7]
Fragmen 18 menunjukkan kemungkinan mencari pengetahuan melalui penelitian.[7] Sedangkan fragmen 34 menolak kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan yang mutlak, setidaknya untuk hal-hal yang menurut Xenofanes sulit.[7] Oleh karena itu, perlu dibedakan antara kebenaran, pengetahuan, dan kepercayaan.[7]
Tentang "Satu yang Meliputi Semua"
Xenofanes menentang cara pandang orang Yunani pada waktu itu terhadap dewa-dewi.[4] Ia memberikan kritik terutama kepada Herodotos dan Hesiodos yang memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat Yunani.[2][4] Menurut kedua penyair itu, dewa-dewi melakukan pelbagai perbuatan yang memalukan, seperti pencurian, zina, dan penipuan satu sama lain.[2][4] Di sini, Xenofanes membantah antropomorfisme dewa-dewi, maksudnya penggambaran dewa-dewi dalam rupa manusia.[4] Menurut Xenofanes, manusia selalu menaruh sifat-sifat manusia kepada dewa-dewi sesuai kehendak mereka.[2][4] Misalnya saja, dewa-dewi dilahirkan sebab manusia juga dilahirkan, dan bahwa dewa-dewi memakai pakaian, suara, dan rupa seperti manusia.[2][4] Xenofanes memberikan argumentasi sesuai bukti yang ia temukan:
"Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentunya kuda akan menggambarkan dewa-dewi menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan dewa-dewi menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan menggambarkan tubuh dewa-dewi serupa dengan tubuh mereka."[2][4][7]
"Orang Etiopia mempunyai dewa-dewi yang berkulit hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang-orang Thrake mengatakan bahwa dewa-dewi mereka bermata biru dan berambut merah.""[4][7]
Xenofanes dapat menyimpulkan bahwa antropomorfisme terhadap dewa-dewi tidaklah tepat sebab ia telah melakukan perjalanan ke berbagai tempat dan melihat pelbagai kepercayaan mereka.[5] Karena itu, ia menjadi yakin bahwa semua itu bukanlah konsep dewa-dewi yang tepat.[5] Ia menyatakan bahwa sebenarnya hanya ada "Satu yang meliputi Semua".[3] Maksudnya di sini serupa dengan konsep "Tuhan" namun tidak sama dengan monoteisme sebab ia juga menyebutnya dalam bentuk jamak.[4]
Menurut Xenofanes, "yang Satu meliputi Semua" ini tidak dilahirkan dan tidak memiliki akhir, artinya bersifat kekal.[3][4] Hal ini berbeda dengan konsep dewa-dewi yang dilahirkan dan dapat mati.[4] Ia tidak menyerupai makhluk duniawi mana pun, baik manusia ataupun binatang.[5] Ia juga tidak memiliki organ seperti manusia, tetapi mampu melihat, berpikir, dan mendengar.[3][4][5] Ia juga senantiasa menetap di tempat yang sama namun menguasai segala sesuatu dengan pikirannya saja.[3][4][5]
Tentang Alam Semesta
Xenofanes berpendapat bahwa matahari berjalan terus dengan gerak lurus, dan setiap pagi terbitlah matahari baru.[4] Gerhana disebabkan matahari jatuh ke dalam lubang.[4] Ia juga memandang bintang-bintang sebagai awan-awan yang berapi sehingga bersinar ketika malam.[3] Sinar itu seperti batu bara yang memerah dan ketika pagi hari api dari awan itu padam kembali.[3] Segala sesuatu dipandang berasal dari bumi, dan bumi pula yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu.[2] Manusia berasal dari bumi dan air.[2] Sedangkan laut adalah sumber dari segala air dan juga angin.[2] Samudra yang luas menghasilkan awan-awan, angin, dan juga sungai-sungai.[2] Pelangi dipandang sebagai awan yang berwarna-warni.[2]
Kemudian bumi berada dalam proses peredaran terus-menerus.[2][4] Tanah menjadi lumpur, lalu menjadi air laut.[4] Sebaliknya, laut menjadi lumpur, lalu menjadi tanah.[4] Untuk membuktikan teori ini, Xenofanes menunjukkan bahan bukti empiris, yakni fosil-fosil kerang laut.[2][4][5] Fosil-fosil tersebut berada dalam batu.[4] Hal itu menunjukkan bahwa dulu batu tersebut merupakan lumpur.[2][3][4]
Referensi
^ abcT.V. Smith, ed. 1956. Philosophers Speaks for Themselves: From Thales to Plato. Chicago, London: The University of Chicago Press. P. 14-15.
^ abcdefghijklmnopqrstuvw(Inggris)Jonathan Barnes. 2001. Early Greek Philosophy. London: Penguin. P. 40-47.
^ abcdefghijk(Inggris)Edward Zeller. 1957. Outlines of the History of Greek Philosophy. New York: Meridian Books. P. 57-60.
^ abcdefg(Inggris)Albert A. Avey. 1954. Handbook in the History of Philosophy. New York: Barnes & Noble. P. 13.
^ ab(Inggris)Ted Honderich (ed.). 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford, New York: Oxford University Press. P. 927.
^ abcdefg(Inggris)Richard McKirahan. 2003. "Presocratic Philosophy". In The Blackwell Guide to Ancient Philosophy. Christopher Shields, ed. p. 5-26. Malden: Blackwell Publishing.