Tahlilullah (ca 1654/55 – 1708), disebut juga sebagai Suriansyah II dan Amrullah, adalah Sultan Banjar yang memerintah Kesultanan Banjar sejak tahun 1663 hingga 1708, pemerintahan pertamanya berlangsung antara tahun 1663 sampai 1679, bertepatan dengan pemerintahan sultan saingannya, Sultan Agung dari Banjar. Setelah terbunuhnya Sultan Agung pada 1679, Tahlilullah kemudian menjadi penguasa tunggal Banjar yang berkuasa hingga kematiannya pada tahun 1708.[2][3][4][5][6]
Kehidupan awal
Raden Bagus merupakan putra dari Saidullah dari Banjar, yang sejatinya mewarisi takhta Banjar. Ketika sultan Saidullah meninggal dunia secara mendadak pada 1660, Pangeran Ratu dilantik sebagai sultan sementara hingga Raden Bagus dianggap cukup umur untuk mewarisi takhta. Menurut Hikayat Banjar, pada saat kematian Sultan Saidullah, Raden Bagus dikatakan telah melewati usia kepinggahan atau lepas gigi susu, sementara Raden Basus baru beranjak usia kepinggahan. Sehingga diperkirakan bahwa Raden Bagus pada saat kematia Saidullah berumur enam sampai tujuh tahun, sehingga kelahirannya diperkirakan berada di antara tahun 1654 hingga 1655.
Memerintah
Pemerintahan pertama
Aksesi
Pada awalnya, Raden Bagus memang merupakan pewaris takta yang sah. Orang-orang Biaju khususnya, merupakan pendukung setia Raden Bagus dan berulangkali meminta Sultan Rakyatullah turun takhta ketika Raden Bagus dirasa cukup umur. Namun, kedekatan antara Sultan Rakyatullah dengan VOC, yang juga diwariskan kepada Raden Bagus, membuat petinggi Banjar lain menaruh curiga dan kekhawatiran. Hal ini kemudian mengakibatkan perselisihan selama proses transisi penyerahan takhta Banjar dari Rakyatullah ke Raden Bagus. Perselisihan dimulai ketika VOC mulai melakukan monopoli lada di Banjar, yang meresahkan petinggi-petinggi Banjar, mengingat hal serupa terjadi pada 1633 dan berakhir dengan pertempuran panjang antara VOC dengan Sultan Mustain Billah dari Banjar.
Sultan Rakyatullah yang pro-VOC, tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, bahkan kelompok Sultan Rakyatullah tetap berusaha memperoleh kekuasaan. Dengan bantuan para bangsawan mengangkat puteranya Pangeran Aria Wiraraja sebagai mangkubumi, Rakyatullah tetap berkuasa. Namun, para petinggi yang kecewa kemudian bergabung dengan Pangeran Dipati Anom II, dan melancarkan pemberontakan. Para petinggi anti-VOC mengangkat Pangeran Dipati Anom II menjadi Sultan dengan gelar "Sultan Agung", dan membangun basisnya di Sungai Pangeran.[7]
Menanggapi hal ini, serta atas desakan orang-orang Biaju sebelumnya, Sultan Rakyatullah mengangkat Raden Bagus yang sudah cukup umur menjadi Sultan dengan nama "Tahlilullah". Menurut Hikayat Banjar, selama pemerintahan pertamanya, Tahlilullah hanya menjadi boneka dari taktik kelompok Rakyatullah dan mangkubumi Pangeran Aria Wiraraja, dan tidak benar-benar memegang kekuasaan secara mutlak.[7]
Perselisihan dengan Sultan Agung
Menurut George Bryan Souza (2004:126) dalam The Survival of Empire: Portuguese Trade and Society in China and the South China Sea 1630-1754, di bawah pengaruh mantan sultan Rakyatullah, Tahlilullah menjalin hubungan dengan Portugis dan mengizinkan intervensi langsung terhadap perdagangan lada di sana. Souza menulis,[8]
Orang-orang Portugis dari Makau sudah berdagang ketika VOC tiba di Banjarmasin pada tahun 1679 dengan maksud mengamankan perdagangan itu dan mengusir pedagang negara Makao dari pasar itu.
Ambisi para pedagang negara Portugis yang terlibat dalam pasar ini lebih besar daripada yang dibayangkan oleh VOC. Kompeni mengetahui bahwa karena perebutan kekuasaan internal, Sultan Dipati Anom ditantang oleh kedua keponakannya, dua putra Sultan Ratu, Suria Angsa dan Suria Negara, dan bantuan Portugis telah didaftar oleh pemberontak melawan Sultan Dipati Anom. Portugis dari Macau memulai upaya pertama mereka untuk memonopoli produksi lada Banjarmasin.
Kebijakan intervensi Portugis dan mendukung penggulingan Sultan Dipati Anom akhirnya berhasil dengan Suria Angsa menjadi Sultan dan Portugis memperoleh hak-hak komersial. Hak-hak komersial ini tidak sama dengan monopoli tetapi cukup mengecewakan VOC, yang sudah tidak senang dengan kerusuhan politik tak berkesudahan Banjarmasin, bahwa Perusahaan berhenti berdagang di Banjarmasin pada tahun 1681; VOC yakin bahwa itu dapat mengamankan stok lada tambahan dari peningkatan produksi di Palembang dan Banten.
Secara khusus, Sultan Agung merupakan seorang orator dan politikus ulung yang memiliki banyak koneksi dengan masyarakat. Perlahan-lahan, para pendukung Tahlilullah mulai meninggalkan sisinya, dan berpindah ke pihak Sultan Agung, bahkan orang-orang Biaju yang dulunya setia dengan Tahlilullah juga perlahan berpindah sisi. Hal ini diperparah dengan kematian mantan Sultan Rakyatullah pada tahun 1666, yang semakin melemahkan posisi Tahlilullah secara politis.
Pemerintahan Sultan Agung yang memusuhi VOC dianggap sebagai ancaman oleh Belanda. Sebagai gantinya, Belanda menawarkan bantuan kepada Tahlilullah untuk merebut kembali takhta. Tahlilullah pada awalnya ragu, namun kemudian menerima dengan syarat ia akan tetap menjadi penguasa tunggal Banjar, dan kesepakatan selanjutnya dengan VOC hanya bersifat ekonomi.
Pengumpulan kekuatan
Dengan bantuan VOC Belanda dan sisa-sisa loyalis mendiang Rakyatullah, Tahlilullah memindahkan basisnya ke Martapura, dan menyiapkan kekuatan besar di sana untuk menyerang Sultan Agung di Sungai Pangeran. Segera setelah kematian Rakyatullah, golongan legitimitas bertambah kuat karena dukungan penuh ke Tahlilullah. Meskipun dengan wilayah yang tampak terisolasi, dibandingkan kekuasaan Sultan Agung yang menguasai sebagian besar lahan lada dan tampaknya dibantu oleh Kesultanan Mataram dan Gowa, namun Tahlilullah tidak sepenuhnya terisolasi, sehingga memungkinkan untuk tetap berhubungan dengan dunia luar.
Kemenangan atas Sultan Agung
Pada tahun 1679, setelah serangkaian persiapan yang matang, pasukan gabungan VOC dan pendukung Tahlilullah menyerbu Sungai Pangeran dengan kekuatan besar, mereka dipimpin oleh Raden Basus. Karena pasukan yang besar dan bersatu tidak sebanding dengan pasukan Sultan Agung yang menerapkan taktik gerilya, maka dengan cepat pasukan Sultan Agung dipukul mundur. Dengan jatuhnya Gowa ke tangan Belanda buntut Perjanjian Bungaya, dukungan Gowa untuk Sultan Agung resmi dihentikan dan kondisi pasukan Sultan Agung tidak siap untuk pertempuran skala besar. Pada sebuah pertempuran di Banjarmasin, Sultan Agung dan putranya terbunuh oleh pasukan Tahlilullah dan Raden Basus. Kemenangan ini menjadikan Tahlilullah sebagai satu-satunya Sultan yang berdaulat di Banjar.
Pemerintahan kedua
Kedatangan pedagang Portugis dan misionaris Katolik
Sumber Portugis menyebut nama Sultan yang memerintah pada saat kedatangannya ke Banjar adalah Sultan Saidillah. Pada masa kekuasaan Sultan Saidillah sekitar tahun 1685, Portugis mengirim seorang pastur bernama Ventigmilia.[9] Jenderal Macau seperti Andrea Coelo Viera, Aloysius Francesco Cottigno, maupun Kapten Kapal Emmanuelle Araugio Graces, sama-sama ingin menjadi sponsor perjalanan pastor Antonio Ventimiglia ke tanah Borneo. Penjelajahannya dimulai per tanggal 16 Januari 1688 dari Macau. Pada tanggal 2 Februari 1688, Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin dengan kapal Potugis (sebagai sekutu Sultan Suria Angsa untuk menggulingkan pamannya Sultan Dipati Anom), untuk menyebarkan agama Katolik di udik negeri Banjar di sepanjang sungai Barito dan akhirnya ia meninggal di udik pada tahun 1691.[10][11][12][13][14]
Hubungan dengan VOC
Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, korespondensi antara Sultan Tahlilullah kepada VOC-Belanda terjadi sejak tanggal 26 Oktober 1664 sampai 20 November 1698. Sebuah surat bertanggal 2 September 1682 dikirim ke Batavia oleh Sultan Tahlillullah dari Mindanao (Maguindanao), suatu tempat yang sangat jauh dari kerajaannya sendiri, menunjukkan adanya hubungan antara Banjar dan Mindanao pada masa itu.[15]
Kematian
Sultan Tahlilullah meninggal dunia pada tahun 1708 di Keraton, Martapura. Ia dimakamkan di Dalam Pagar, Kabupaten Banjar. Posisinya sebagai Sultan digantikan oleh Panembahan Tengah, yang kemudian bergelar "Tahmidullah I dari Banjar".
Adapun Silsilah Sultan Tahlil-lillah (Tahlil-lullah) versi hikayat Tutur Candi, ada satu generasi yang hilang (Sultan Tahmidillah 1).[21][22]
Maka Sultan Hidayatullah pun matilah, maka ditanam di Kuin dekat dengan kubur Rakhmatillah. Adapun Sultan Musta'inbillah berputra Sultan Indallah, dan Sultan Indallah berputra Sultan Sa'idillah, berputra Sultan Tahlilillah, berputra enam orang, yang tuha Sultan Tamjidillah dan Pangeran Nullah jadi mangkubumi, dan Pangeran Dipati dan Pangeran Mas dan Pangeran Istana Dipati dan Pangeran Wira Kusuma. Adapun Pangeran Dipati beristeri Raja Bugis berputra Aji Pangeran, ialah jadi raja di tanah Kusan. Adapun Pangeran Masa beristeri di Banjar, berputera dua orang laki-laki, yang tuha bernama Pangeran Arga, dan yang muda bernama Pangeran Dipati.[21]
5. Pangeran Ismail Ratu Anum Mangku Dilaga Sukma Dilaga Ratoe Anom Mangkoe Boemi Ismail dilantik oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda,ditahan kemudian dibunuh oleh Sultan Sulaiman karena diduga akan melakukan kudeta.Jabatan mangkubumi kemudian dipegang oleh Pangeran Husein dengan gelar Pangeran Mangkubumi Nata putera Sultan Sulaiman sendiri
8. Pangeran Tamjidillah II dilantik oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda berdasarkan besluit per tanggal 13 November 1851 No. 2 untuk menggantikan Pangeran Noch Ratoe Anom Mangkoe Boemi Kentjana
11. Pangeran Muhammad Said adalah mangkubumi Kesultanan Banjar (Pagustian) dan sekaligus seorang pejuang perang Banjar(memerintah: 1862-1875)
12. Pangeran Perbatasari adalah mangkubumi Kesultanan Banjar (Pagustian) dan sekaligus seorang pejuang perang Banjar. (memerintah: 1875-1885)
Hubungan Silsilah dengan Raja Sumbawa
Di bawah ini adalah hubungan silsilah Raja Banjar dengan Raja Sumbawa.
Tertulis dalam buku Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde volume 14 (1864:503):[23]
Omtrent de lans Kaliblah wordt het navolgende verhaald. Zij behoorde vroeger tot de rijkswapens van den Sultan van Sumbawa. Een dezer Sultans nu was in het huwelijk getreden met Ratoe Laija, eene zuster van Sultan Tahmid Ilah II van Bandjermasin. Uit dat huwelijk is de Sulthan Mohamad, die later over Sumbawa geregeerd heeft geboren.[23]
Berikut ini terkait dengan tombak Kaliblah. Tombak ini dulu milik senjata nasional Sultan Sumbawa.
Buah dari pernikahan itu adalah Sulthan Mohamad (Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin II Raja Sumbawa XIII 1795-1816), yang kemudian memerintah atas Sumbawa.
^ abSaleh, Mohamad Idwar (1986). Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. hlm. 150.Parameter |authorlinks= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^A. MEIJER (Jonkheer.) (1872). Militair tijdschrift (dalam bahasa Belanda). Bruining & Wijt. hlm. 554.Parameter |vol= yang tidak diketahui mengabaikan (|volume= yang disarankan) (bantuan)