Sultan Amrullah dari SumbawaSultan Amaroe'llah[1][2][3][4] atau Dewa Masmawa Sultan Lalu Muhammad Amrullah[5][6] atau al-wâthiq billâh al-Sultan Amarullah ibni al-Sultan al-marhum Muhammad Kaharuddin 1262 H (1846 M) الدين الواثق بالله السلطان امر الله ابن السلطان المرحوم محمد قهار الدين [7] adalah Sultan Sumbawa ke-15 (m.1837-20 Agustus 1883).[6][8] Guna menggantikan Sultan Lalu Mesir yang mangkat, diangkatlah sang kakak Lalu Muhammad Amrullah sebagai Sultan Sumbawa. Sultan Amrullah berpermaisuri Lala Rante Patola putri Raja Bicara Bima dari perkawinan tersebut diperoleh 7 orang Putra – Putri, antara lain Datu Raja Muda Daeng Mas Kuncir atau juga dikenal dengan sebutan Mas Kuncir Datu Lolo Daeng Manassa. Serta adiknya yang bernama Daeng Mesir yang menjadi Datu Taliwang. Pada masa pemerintahan Sultan Amrullah, Kesultanan Sumbawa memperoleh kemajuan yang sangat pesat dalam bidang perdagangan. Kesultanan Sumbawa membeli sebuah kapal dagang type Scoognard (Sumbawa: sekonyar) yang diberi nama Mastora untuk mengadakan hubungan perdagangan hingga ke Selat (Singapura). Selain dalam bidang perdagangan, dalam bidang pertanian Sultan Amrullah memasukkan bibit kopi arabika yang ditanam di pegunungan Batulanteh dan Ropang. Dalam bidang peternakan bibit sapi dimasukkan pula untuk dipelihara di Wilayah Pulau Moyo dan pegunungan dalam Wilayah Kesultanan Sumbawa, meskipun akhirnya menjadi berkembang biak dan menjadi liar. Pada masa pemerintahan beliau dapat diatasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut kesetiaan daerah taklukan. Pada bulan Agustus 1872 kembali terjadi peristiwa hebat, kebakaran atas Istana Gunung Setia pusat pemerintahan/kekuasaan serta rumah tinggal Sultan dan keluarga. Kebakaran yang terjadi karena ledakan bibit mesiu. Dimana pada saat kejadian tersebut Sultan Amrullah sedang berada di Makassar sekembali dari Batavia. Datu Raja Muda Daeng Maskuncir yang diserahi tanggung jawab mengendalikan pemerintahan tidak dapat berbuat banyak atas peristiwa yang memakan koban harta benda bahkan jiwa manusia. Sebagai ganti Istana Gunung Setia yang terbakar dibangunnya Istana yang baru yang diberi nama Istana Bala Sawo. [9][10][11][12][13] Sultan Amaroe'llah membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda pada tanggal 2 Agustus 1857.[4][14] Pada bulan April 1880, salah seorang puteri Sultan Amaroe'llah menikah dengan I-To' Patarai Karaeng Pabuadukang (dilahirkan I-Tenri Pada), Tumailalang Tuwa, yaitu putera I-Mallingkaang Daeng Njonri Karaeng Katangka Kulau Paduka Sri Sultan Muhammad Idris ibnu Sultan 'Abdu'l Kadir Muhammad 'Aidid [Tumananga-ri Kalabbirannja], Sultan Gowa.[15] Silsilah Sultan Muhammad AmrullahSultan Muhammad Amrullah dan Raja-raja di Sumbawa menurut naskah Hikayat Raja-raja Banjar dan Kotawaringin dan Majelis Adat - Lembaga Adat Tanah Samawa (LATS) serta Bidang Kebudayaan - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa, memiliki leluhur seorang bangsawan dari Kesultanan Banjar yang bernama Raden Subangsa bergelar Pangeran Taliwang.[9] Selain itu Sultan Muhammad Amrullah dan Raja-raja di Sumbawa juga memiliki leluhur dari Kerajaan Binamu di Jeneponto, Sulawesi Selatan.[10] Pada masa Pemerintahan YM. Dewa Masmawa Sultanah Shafiyatuddin, Sultanah Sumbawa XII ( 1791 – 1795 ), telah datang ke Kesultanan Sumbawa, Permaisuri Raja Kerajaan Bugis Binamu. Kedatangan beliau bersama putra – putrinya serta Dayang dan pengikut setianya. Bermula dari peristiwa mangkatnya sang Suami, Raja Binamu, lalu keputusan adat menetapkan Iparnya menggantikan kedudukan Sang Suami menjadi Raja, hal ini telah menyinggung perasannya sebagai Permaisuri yang menurut hukum adat Binamu, berhak atas tahta yang ditinggal Sang Raja, suaminya. Ketersinggungan ini menyebabkan Beliau membulatkan tekad untuk keluar dari wilayah Kerajaan Binamu, berlayar menuju Kesultanan Sumbawa, karena pada saat itu Kesultanan Sumbawa tengah di perintah seorang wanita bernama Daeng Masiki Sultanah Shafiyatuddin putri Sultan Harunurrasyid II, Sultan Sumbawa XI (1777–1791 ). Daeng Masiki adalah Permaisuri Sultan Abdul Hamid Muhammadsyah Ruma Mantau Asi Saninu Sultan Bima V ( 1767 – 1811 ). Daeng Masiki putri Sultan Sumbawa ini sesungguhnya adalah Buyut dari I Rukkia Karaeng Kanjene Ratu Sidenreng, cucu dari putrinya I Sugiratu Karaeng Bonto Parang Sultanah Siti Aisyah, Sultanah Sumbawa ( 1759 – 1760 ) hasil pernikahan beliau dengan Sultan Amas Madina, Sultan Sumbawa ( 1702 – 1725 ), setelah dinobat sebagai Sultanah Sumbawa bergelar Sultanah Shafiyatuddin. Permaisuri Kerajaan Bugis Binamu mendarat di Labuhan Bontong Sumbawa, setelah perahu yang ditumpanginya menyusuri pelayaran yang cukup melelahkan. Setibanya di Wilayah Kesultanan Sumbawa, rombongan Permaisuri Binamu menetap di Bonto Kemase ( Bonto ), sebuah wilayah yang dekat dengan pesisir ( Labuhan Bontong ). Y.M. Sultanah Shafiatuddin mendengar kabar tentang kedatangan Permaisuri Binamu, Y.M. Sultanah lalu mengutus Adipati Kesultanan Sumbawa yang bernama Lalu Djamelia Mele Habira, guna menemui Permaisuri Binamu untuk menanyakan apakah Beliau beserta putra – putrinya dan pengikut setianya akan menetap di Kesultanan Sumbawa dan bersedia bernaung di bawah syarat empat:
Sebagai bentuk perlindungan dan pengayoman Kesultanan Sumbawa pada rakyat serta kesetiaan dan pengabdian rakyat kepada Kesultanan. Mendengar hal tersebut, Permaisuri Binamu lalu menjawab bahwa demikian pula adat dan hukum di negerinya. Sultanah kemudian mengundang Permaisuri Binamu untuk “ Ngayap “ ke Istana Gunung Setia di Ibu Negeri Kesultanan Sumbawa. pertemuan dua Bangsawan Wanita yang sama – sama Permaisuri ini sangat berkesan, dan Sultanah sebagai Pemimpin Kesultanan berdulat lalu menghadiahkan tanah untuk mendirikan rumah bagi Permaisuri Binamu dan seluruh pengikutnya dan Kesultanan Sumbawa membuatkan sawah untuk penghidupan Permaisuri Binamu dan pengikutnya. Tanah yang dihadiahkan tersebut berlokasi di Tana Pampang Unter Malang, wilayah yang tidak terlalu jauh dari Ibu Negeri Kesultanan Sumbawa. Diantara putra putri Permaisuri Binamu, yang dikenal dalam sejarah Sumbawa adalah Saragialu Karaeng Talebang ( Biasa disebut oleh Tau Samawa; Daeng Talebang ) putri ini mendapat anugerah kebangsawanan dari Kesultanan Sumbawa dengan gelar “ Lala “ sehingga nama lengkapnya Lala Saragialu Karaeng Talebang. Putri cantik ini kemudian dilamar oleh Adipati Kesultanan Sumbawa Lalu Djamelia Mele Habira untuk menjadi Istrinya. Perkawinanpun berlangsung meriah di Kesultanan Sumbawa. dari perkawinan tersebut Lalu Djamelia Mele Habira memperolah Putra / putri antara lain:
Kedua Putra Putri ini melahirkan orang–orang besar di Kesultanan Sumbawa. Dari perkawinan Lalu Tunji Dea Tame lahir Adipati Abdul Jabbar Lalu Tunruang dan Lalu Makasau Mele Banggae yang dikemudian dikenal dengan julukan “ Dea Ranga Rango Berang “ (jika diterjemahkan artinya Perdana Menteri Berparang Besar; Berparang besar artinya memiliki keberanian yang luar biasa). Beliau ini menjadi Ranga atau Perdana Menteri di masa pemerintahan Sultan Muhammad Amrullah ( Sultan Sumbawa 1836 – 1931 ) mengganti Nene Ranga Mele Huzaimah yang mengundurkan diri. Adapun Adipati Lalu Kaidah Mele Habirah alias Lalu Jemelela Dea kuasa Unter Iwes berputra Lalu Tunji Dea Tame berputra Lalu Makasau Dea Ranga Rango Berang berputra Lalu Banggae Dea Dipati Karang Berang berputra Lalu Muhammad Saleh Dea Mele Patongai berputra Lalu Patongai Dea Radan Mangandaralam memiliki anak perempuan Amatollah Dea Sahari. Adapun Lala Intan Ratu Nong Sasir dinikahi oleh Datu Bonto Mangape salah seorang Bangsawan keturunan Sumbawa yang memiliki beberapa orang Putra dan Putri, diantaranya Lala Amatollah. Lala Amatollah dinikahi dan menjadi Permaisuri dari Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin II, Sultan Sumbawa (1795 – 1816), menggantikan Sultanah Syafiyatuddin yang turun tahta, kembali ke Bima mengikuti suami yang masih menjadi Sultan Bima. Keturunan Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin II dan Lala Amatollah, cicit dari Raja Binamu inilah yang kemudian menjadi Sultan–Sultan di Kesultanan Sumbawa hingga kini. Adapun Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin II merupakan Putra dari Sultan Mahmud, buah pernikahannya dari Putri Sarah / Ratoe Laija, saudara perempuan dari Sultan Tahmidillah II alias Sunan Nata Alam bin Sultan Tamjidillah I, Sultan Banjar XVII ( 1761 – 1801 ).[16] Sedangkan ayah (Djaja) beliau, Sultan Mahmud, merupakan putra dari Dewa Masmawa Sultan Muhammad Djalaluddinsyah II, Sultan Sumbawa ( 1762 – 1765 ). Sultan Muhammad Djalaluddinsyah II ini sesungguhnya Pangeran dari Kesultanan Banjar, putra dari Datu Arya bin Sultan Tahmidullah I Panembahan Tengah Sultan Banjar XI (1700–1717), nama asli Sultan Muhammad Djalaluddinsyah II adalah Gusti Mesir Abdurrahman Pangeran Anom Mangkoe Ningrat. KemangkatanSultan Muhammmad Amarullah mangkat pada tanggal 20 Agustus 1883.[5][17] Almarhum Sultan Muhamammad Amarullah dimakamkan di pemakaman Sampar.[18][19] Silsilah kekerabatan dengan Raja-raja Binamu Jeneponto
Lihat pulaRujukan
Pranala luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia