Tanjung (Minang:TanjuangJawi: تنجوڠ) adalah salah satu pasukuan (klan) pada etnis Minangkabau. Klan ini tersebar hampir di seluruh wilayah Minangkabau dan perantauannya.[1] Diketahui suku ini bersama suku Kampai merupakan pecahan-pecahan dari suku Piliang.
Sejarah
Suku Tanjuang merupakan salah satu suku (klan) dalam rumpun Lareh Koto Piliang yang dicetuskan oleh Datuak Katumangguangan pada era Pariangan. Berdasarkan sumber dari masyarakat yang memiliki relasi dengan suku ini, penamaan 'Tanjuang' berasal dari kata "Sutan Baanjuang" (dibaca: Su-tan Ba-an-juang), sehingga jelas bahwa suku ini memang berasal dari etnis Minangkabau itu sendiri dan bukan seperti anggapan sebagian orang yang mengatakan suku ini berasal dari marga Tanjung yang merupakan bagian dari ruang lingkup etnis Batak, serta tentunya penamaan suku ini harus sesuai dengan nama aslinya yaitu 'Tanjuang' dan bukan seperti yang menjadi kebiasaan dengan menyebut 'Tanjung' dan maka dengan itu bisa menghindari kesalahpahaman. Selain itu Tanjung juga berarti pohon Tanjung, yang mana merupakan pohon suci di zaman Hindu-Budha.
Menurut tambo adat Minangkabau, suku Tanjuang berasal dari Luhak Nan Tigo (Minangkabau daratan) dan merupakan salah satu suku yang terbesar di Minangkabau.[2]. Selain itu, suku Tanjuang merupakan pecahan dari suku Piliang, yang ini berarti jelas suku Tanjuang beserta adatnya merupakan bagian dari Lareh Koto Piliang dengan prinsipnya yaitu "bajanjang naiak, batanggo turun", seperti halnya suku-suku awalnya dari lareh ini yaitu suku Koto dan juga suku Piliang yang merupakan suku induknya.
Sama dengan suku-suku lain di Minangkabau, suku Tanjuang adalah penganut sistem kekerabatan matrilineal yang merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang[3]. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan[4]. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga. Salah satu ciri matrilineal Minangkabau adalah garis keturunan yang ditarik berdasarkan garis ibu, yang secara lebih luas kemudian membentuk kelompok kaum (lineages) dan suku (clans), dan penguasaan harta pusaka ada di tangan kaum ibu yang dipimpin oleh seorang wanita senior yang disebut bundo kanduang.[5]
Suku ini juga menyebar ke berbagai wilayah rantau dan pesisir. Berdasarkan ruang geografis etnisitas yang disusun oleh Collet (1925), Cunningham (1958), Reid (1979) dan Sibeth (1991), di pesisir barat Sumatera Utara terdapat kelompok masyarakat yang bukan merupakan bagian dari etnis Batak[6]. Kelompok ini merupakan para perantau dari Minangkabau yang telah bermigrasi ke pesisir barat Tapanuli sejak berabad-abad lalu[7]. Orang-orang yang bersuku Tanjuang di pesisir barat sumatera menggunakan nama suku di belakang namanya. seperti, dari Barus, Sibolga, Sorkam, Natal, Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Painan, dan Bengkulu, serta di Pulau Nias. Penambahan nama suku di belakang namanya bertujuan untuk menunjukkan identitas diri di tengah masyarakat pesisir yang majemuk. Di pesisir barat Sumatera Utara yang tidak lagi mengikuti adat matrilineal, penambahan suku di belakang nama ini sebagian besar sudah mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal[8] yang dikenal dengan sebutan Marga Tanjung. Namun,beberapa kebudayaan mereka masih dipengaruhi budaya Minangkabau seperti adat sumando[9]
Pemekaran (sub-klan)
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:
Pangulu (kepala desa) ditujukan kepada niniak mamak 'pemangku adat' yang bergelar Datuak (keagungan)[10]. Istilah pangulu berasal dari kata hulu 'hulu' yang kemudian diartikan kepala atau pemimpin[11] Gelar Datuak ini diberikan kepada pemimpin sebuah suku atau korong di wilayah populasi etnis Minangkabau. Gelar datuak disebut juga gelar sako di Minangkabau. Selain gelar datuak ada gelar yang diberikan kepada laki-laki di Minangkabau pada hari pernikahannya dan semenjak itu dianjurkan sekali bagi siapa pun untuk memanggil laki-laki tersebut dengan gelarnya[12]. Jadi bukan lagi dengan memanggil nama kecilnya, sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah dewasa. Bagi masyarakat Minangkabau, pangulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuak[13]. Akan tetapi mengangkat kebesaran adat tidak dikatakan mengangkat datuak, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari kata “ hulu “, artinya kepala[14]. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan. Dengan demikian seorang penghulu sama artinya dengan pemimpin.
Sebagai pemimpin, seorang panghulu (datuak) bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagari[15]. Penghulu (datuak) bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, dan hal ini merupakan kewajiban penghulu“kusuik manyalasai, karuah mampajaniah“ (kusut menyelesaikan, keruh menjernihkan). Menurut Nasroen (dalam diktat LKAAM, 2002:208) menjelaskan bahwa penghulu (datuak) itu “digadangkan mangkonyo gadang” (dibesarkan makanya besar) sebagaimana dikatakan “tumbuahnyo di tanam, tingginyo dianjuang, gadangnyo diamba“ (tumbuhnya ditanam, tingginya disanjung, besarnya disegani). Maksudnya jabatan penghulu (datuak) itu diperoleh oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri[16]
Persyaratan penghulu
Sesuai dengan pepatah masyarakat Minangkabau: dari niniak ka mamak, dari mamak ka kamanakan, jabatan penghulu diwariskan sesuai dengan garis matrilineal. Semua lelaki di Minangkabau dapat menjadi penghulu berdasarkan hubungan pertalian kemenakan. Ada empat jenis kemenakan dalam struktur kebudayaan Minangkabau[17][18]:
Kamanakan di bawah daguak, merupakan kemenakan yang ada hubungan pertalian darah.
Kamanakan di bawah dado, merupakan kemenakan yang ada hubungan karena sukunya sama, walaupun penghulunya berbeda.
Kamanakan di bawah pusek, merupakan kemenakan yang ada hubungan karena sukunya sama tetapi nagarinya berbeda.
Kamanakan di bawah lutuik, merupakan kemenakan yang sebelumnya berbeda suku dan nagari tetapi telah meminta perlindungan dan menjadi warga suku tersebut.
Masyarakat Minangkabau semenjak zaman dahulu dikenal sebagai masyarakat perantau[20]. Tradisi ini menjadi menjadi semacam kewajiban bagi mereka yang mulai beranjak usia dewasa. Tradisi merantau di Minangkabau sudah ada sejak abad ke-7 ketika para pedagang Minangkabau meninggalkan kampung halaman mereka untuk berjualan emas di Jambi dan ikut mendirikan Kerajaan Melayu[21].
Sebagai sebuah tradisi, merantau mengacu pada beberapa ajaran yang terkandung dalam petata petitih, yaitu peribahasa yang dikenal sebagai sastra Melayu. Karya sastra dalam petata petitih dapat berisi nasihat, pandangan, pedoman untuk kehidupan yang lebih baik, dan tuntunan hubungan sosial dalam masyarakat. Masyarakat adat Minangkabau sering menggunakan petata petitih untuk menyampaikan nasihat kepada keturunan mereka[22]
Maka oleh sebab itu, ada sebuah nilai yang terbangun di dalam kultur budaya Minangkabau bahwa merantau adalah bagian dari tanda kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam ungkapan berikut:
Sayang jo anak dilacuik i
Sayang jo kampuang ditinggakan
Ujan ameh di nagari urang
Ujan batu di nagari awak
Kampuang nan jauah dibantu juo
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa pemikiran yang dibangun oleh masyarakat minang kabau adalah bahwa merantau adalah bagian dari usaha untuk membangun kembali kampung halaman. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka orang Minangkabau di rantau memiliki motivasi yang lebih untuk memperbaiki kehidupan mereka[23].
^Perret, Daniel (1995). "Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, École Franc̦aise d'Extrême-Orient". École Franc̦aise d'Extrême-Orient.
^Drakard, Jane. A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom. A Malay Frontier.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)